PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g94 8/12 hlm. 14-16
  • Gereja Katolik di Afrika

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Gereja Katolik di Afrika
  • Sedarlah!—1994
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Peperangan Antar Suku
  • Kelangsungan Hidup yang Konon Dipertaruhkan
  • Gereja dan ”Inkulturasi”
  • Apa yang Hendaknya Anda Lakukan?
  • Gereja—Perubahan dan Kebingungan
    Sedarlah!—1993
  • Agama Berpihak
    Sedarlah!—1994
Sedarlah!—1994
g94 8/12 hlm. 14-16

Gereja Katolik di Afrika

OLEH KORESPONDEN SEDARLAH! DI ITALIA

GEREJA Katolik memiliki puluhan juta penganut di Afrika, dan problem-problemnya di sana cukup besar. Awal tahun ini lebih dari 300 pemimpin gereja berkumpul di Vatikan, Roma, untuk membahas sebagian dari problem tersebut pada sebuah sinode khusus yang berlangsung selama satu bulan.

Sewaktu membuka pertemuan tersebut, paus mengatakan, sebagaimana dilaporkan dalam L’Osservatore Romano, ”Hari ini untuk pertama kalinya berlangsung sebuah Sinode Gereja Afrika yang melibatkan seluruh benua. . . . Semua perwakilan dari Afrika hadir hari ini di Basilika St. Peter. Dengan kasih sayang yang dalam sang Uskup dari Roma memberi salam kepada Afrika.”

Peperangan Antar Suku

Sebagaimana disadari oleh banyak orang, problem-problem Gereja Katolik teristimewa hebat di negeri-negeri Afrika seperti Burundi dan Rwanda, yang mayoritas rakyatnya beragama Katolik. Peperangan antar suku di sana menjadi berita internasional pada musim semi ini ketika ratusan ribu orang dibantai oleh sesama mereka. Seorang saksi mata melaporkan, ”Kami melihat wanita-wanita membunuh sambil menggendong anak mereka di punggung. Kami melihat anak-anak membunuh anak-anak.”

National Catholic Reporter mengatakan tentang kesedihan dari kepemimpinan Katolik. Konon sang paus ”merasakan ’kepedihan yang hebat’ dalam laporan terbaru tentang konflik di negeri kecil Afrika [Burundi], yang penduduknya kebanyakan beragama Katolik”.

Pembantaian di Rwanda bahkan lebih merusak bagi kepemimpinan Katolik. ”Paus Mengutuk Genosida di Negeri yang 70% Penduduknya Beragama Katolik,” demikian bunyi sebuah rubrik surat kabar yang sama. Artikel tersebut menyatakan, ”Peperangan di antara bangsa-bangsa Afrika melibatkan ’suatu genosida sungguhan yang, sangat disayangkan, bahkan orang-orang Katolik bertanggung jawab atasnya’, kata sang paus.”

Karena kekejaman di Rwanda dilakukan bersamaan dengan diselenggarakannya sinode Katolik yang bersejarah di Roma, jelas perhatian para uskup dipusatkan pada situasi di Rwanda. National Catholic Reporter menyatakan, ”Konflik Rwanda menyingkapkan sesuatu yang mengejutkan: Iman Kristen belum berakar cukup dalam di Afrika untuk mengatasi masalah kesukuan.”

Ketika mencatat kepedulian para uskup yang berkumpul, National Catholic Reporter selanjutnya mengatakan, ”Tema ini [tentang kesukuan] diangkat oleh Albert Kanene Obiefuna, uskup dari Awka, Nigeria, yang berbicara kepada sinode tersebut.” Dalam pidatonya, Obiefuna menjelaskan, ”Penduduk asli Afrika menjalani kehidupan keluarga dan juga kehidupan Kristen yang berpusat di sekitar kepentingan sukunya.”

Maka, sambil membayangkan Rwanda tentunya, Obiefuna melanjutkan dalam pidatonya kepada sinode, ”Mentalitas ini begitu umum di kalangan orang Afrika sehingga jika situasinya begitu genting, bukanlah konsep Gereja Kristen sebagai suatu keluarga yang berlaku melainkan ungkapan ’darah lebih kental daripada air’. Air di sini mungkin memaksudkan air Pembaptisan yang melaluinya seseorang dilahirkan ke dalam keluarga Gereja. Hubungan darah lebih penting bahkan bagi orang-orang Afrika yang telah menjadi Kristen.”

Dengan demikian, uskup tersebut mengakui bahwa di Afrika agama Katolik tidak berhasil menciptakan suatu persaudaraan Kristen yang para pemeluknya benar-benar saling mengasihi sebagaimana Yesus ajarkan agar mereka lakukan. (Yohanes 13:35) Sebaliknya, ”hubungan darah lebih penting” bagi orang-orang Katolik Afrika. Hal ini menimbulkan kebencian antar suku di atas segala pertimbangan lainnya. Sebagaimana diakui sang paus, umat Katolik di Afrika harus memikul tanggung jawab atas beberapa kekejaman terburuk yang terjadi belakangan ini.

Kelangsungan Hidup yang Konon Dipertaruhkan

Para uskup Afrika di sinode tersebut mengungkapkan rasa takut atas kelangsungan hidup agama Katolik di Afrika. ”Jika kita menginginkan Gereja tetap ada di negeri saya,” kata Bonifatius Haushiku, seorang uskup Namibia, ”kita harus mempertimbangkan dengan sangat serius masalah inkulturasi.”

Sewaktu menyatakan perasaan serupa, kantor berita Katolik Italia Adista mengatakan, ”Berbicara tentang ’inkulturasi’ Injil di Afrika berarti berbicara tentang nasib dari Gereja Katolik di benua tersebut, tentang kemungkinannya untuk tetap ada atau tidak ada.”

Apa yang dimaksud oleh para uskup dengan ”inkulturasi”?

Gereja dan ”Inkulturasi”

John M. Waliggo menjelaskan bahwa ”adaptasi adalah istilah yang telah lama digunakan untuk menandaskan realitas yang sama”. Secara lebih sederhana, ”inkulturasi” berarti peleburan tradisi dan konsep mengenai agama suku ke dalam upacara dan ibadat Katolik, memberi nama baru dan arti baru pada tata cara, objek, gerak isyarat, dan tempat-tempat di zaman purba.

Inkulturasi memperbolehkan orang-orang Afrika menjadi Katolik dengan reputasi yang baik namun masih berpegang pada praktek, upacara, dan kepercayaan agama suku mereka. Apakah harus ada keberatan terhadap hal ini? Surat kabar berbahasa Italia La Repubblica, misalnya, menanyakan, ”Tidakkah benar bahwa di Eropa Natal ditetapkan berdasarkan perayaan Solis Invicti, yang jatuh pada tanggal 25 Desember?”

Memang, sebagaimana dinyatakan oleh Josef Cardinal Tomko, kardinal dari Persekutuan untuk Penginjilan Masyarakat, ”Gereja misionaris mempraktekkan pekerjaan inkulturasi lama sebelum istilah tersebut mulai digunakan.” Perayaan Natal dengan jelas mengilustrasikan masalah tersebut, sebagaimana dicatat La Repubblica. Semula itu adalah perayaan yang bersifat kafir. ”Tanggal 25 Desember tidak cocok dengan kelahiran Kristus,” New Catholic Encyclopedia mengakui, ”melainkan dengan perayaan Natalis Solis Invicti, perayaan Roma pada waktu matahari berada pada titik baliknya.”

Natal hanyalah salah satu dari banyak kebiasaan gereja yang berdasarkan kekafiran. Demikian juga kepercayaan seperti Tritunggal, kekekalan jiwa, dan siksaan kekal atas jiwa manusia setelah kematian. John Henry Cardinal Newman dari abad ke-19 menulis bahwa ”para penguasa Gereja masa awal telah siap sedia, andaikan timbul kesempatan, untuk mengadopsi, atau meniru, atau mengesahkan upacara dan tradisi yang ada di masyarakat”. Sewaktu mendaftarkan banyak praktek dan hari-hari raya gereja, ia mengatakan bahwa itu ”semuanya memiliki asal-usul kafir, dan disucikan dengan diadopsinya hal-hal itu ke dalam Gereja”.

Ketika orang Katolik memasuki daerah non-Kristen, seperti bagian-bagian Afrika, mereka sering mendapati bahwa orang-orang telah memiliki praktek-praktek dan kepercayaan agama yang serupa dengan praktek dan kebiasaan gereja. Hal ini karena selama abad-abad sebelumnya gereja mengadopsi praktek dan pengajaran dari orang-orang non-Kristen dan memperkenalkannya ke dalam paham Katolik. Praktek dan pengajaran demikian, menurut Kardinal Newman, ”disucikan dengan diadopsinya hal-hal itu ke dalam Gereja”.

Karena itulah, ketika Paus Yohanes Paulus II mengunjungi orang-orang non-Kristen di Afrika tahun lalu, kata-katanya dikutip dalam L’Osservatore Romano, ”Di Cotonou [Benin, Afrika] saya bertemu dengan para penganut voodoo, dan jelas dari cara bicara mereka entah bagaimana dalam mentalitas mereka, mereka telah memiliki upacara agama, simbol dan kecenderungan, sesuatu yang sampai taraf tertentu ingin diberikan Gereja kepada mereka. Mereka hanya menunggu saatnya seseorang datang dan memberi bantuan kepada mereka untuk membuat perubahan melalui pembaptisan untuk hidup menurut apa yang dalam beberapa hal telah mereka jalani dan alami sebelum pembaptisan.”

Apa yang Hendaknya Anda Lakukan?

Kegagalan gereja untuk mengajar kekristenan yang sejati dan tidak ternoda kepada masyarakat Afrika telah mendatangkan akibat-akibat yang merugikan. Sukuisme terus bertahan, begitu pula halnya dengan nasionalisme di mana-mana, saling bantai terjadi di antara umat Katolik. Benar-benar memalukan Kristus! Alkitab mengatakan bahwa pembunuhan keji demikian terhadap satu sama lain menunjukkan bahwa orang seperti itu adalah ”anak-anak Iblis”, dan Yesus mengatakan kepada orang-orang demikian, ”Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!”​—1 Yohanes 3:​10-12; Matius 7:23.

Oleh karena itu, apa yang harus dilakukan orang-orang Katolik yang berhati jujur? Alkitab mendesak orang-orang Kristen untuk waspada agar tidak berkompromi dengan praktek atau kepercayaan apa pun yang akan membuat ibadat mereka najis dalam pandangan Allah. ”Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya,” kata Alkitab. Untuk menikmati perkenan Allah, Anda perlu ’memisahkan diri dan jangan menjamah apa pun yang najis dalam pandangan Allah’.​—2 Korintus 6:14-17.

[Blurb di hlm. 16]

’Perang di Rwanda benar-benar suatu genosida sungguhan yang bahkan orang-orang Katolik bertanggung jawab atasnya,’ kata paus

[Keterangan Gambar di hlm. 14]

Foto: Jerden Bouman/Sipa Press

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan