PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • yb05 hlm. 134-201
  • Guyana

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Guyana
  • Buku Kegiatan Saksi-Saksi Yehuwa 2005
  • Subjudul
  • Air Kebenaran Mencapai Guyana
  • Perang Dunia II dan Kegiatan Pascaperang
  • Para Utusan Injil Menggiatkan Pengabaran
  • Gerobak Suara, Parade Sepeda, dan Keledai
  • Lebih Sering ke Daerah Pedalaman
  • Pelayanan yang ’Seru dan Memuaskan’
  • Para Perintis Lokal ke Gilead
  • Film Menggugah Minat
  • Saudari-Saudari Menjadi Ujung Tombak
  • Mengarungi Sungai dengan Kingdom Proclaimer
  • Seminggu bersama Pengawas Wilayah
  • Orang Amerindian Menyambut Kabar Baik
  • Pertumbuhan Menakjubkan di Baramita
  • Pernikahan Besar-besaran!
  • Sekolah Pelatihan Pelayanan
  • Melayani di Tempat yang Lebih Membutuhkan
  • Melayani di ”Surganya para Perintis”!
  • Balai Sewaan dan ”Kolong Rumah”
  • Pembangunan Balai Kerajaan
  • Balai Kerajaan yang Dibangun dengan Cepat
  • Pembangunan Kantor Cabang
  • Kebaktian Memerlukan Kreativitas
  • Kebaktian-Kebaktian
  • Masa Depan Cerah
Buku Kegiatan Saksi-Saksi Yehuwa 2005
yb05 hlm. 134-201

Guyana

”Negeri Banyak Air”​—itulah arti nama ”Guyana”, negeri di Amerika Selatan yang batas selatannya hanya berjarak 130 kilometer di atas garis khatulistiwa. Nama itu sungguh cocok, karena ada lebih dari 40 sungai dan tak terhitung banyaknya anak sungai yang mendapatkan airnya dari hutan-hutan hujan yang menyelimuti sebagian besar wilayah Guyana yang luasnya 215.000 kilometer persegi! Beberapa sungai berfungsi sebagai batas antara Guyana dan negeri-negeri tetangganya​—Brasil, Suriname, dan Venezuela. Sungai juga menjadi jalur transportasi vital menuju pedalaman, karena ada banyak desa dan perladangan di pinggir sungai. Ya, perdagangan dan sejarah Guyana​—termasuk sejarah umat Yehuwa​—berkaitan erat dengan perairannya.

Dari barat ke timur, empat sungai utama adalah Essequibo, Demerara, Berbice, dan Courantyne. Yang terpanjang adalah Sungai Essequibo, panjangnya 1.000 kilometer dan lebarnya 30 kilometer di muaranya dan memiliki 365 pulau. Salah satu pulaunya, Fort Island, menjadi pusat pemerintahan selama masa kolonial Belanda. Dari mata airnya di pegunungan, yang terletak di pedalaman bagian selatan, sungai-sungai utama ini mengalir ke utara sebelum akhirnya berkelok-kelok melalui dataran pesisir dan tumpah ke Samudra Atlantik. Dalam perjalanan, airnya jatuh menjadi beberapa air terjun yang paling spektakuler di dunia, misalnya Air Terjun Kaieteur. Di sanalah Sungai Potaro yang lebarnya 120 meter terjun sedalam 226 meter sebelum terjun lagi lalu mengalir ke Sungai Essequibo.

Karena memiliki banyak keindahan alam, Guyana adalah surganya para pencinta alam. Perairannya dihuni oleh lingsang air yang besar, buaya kaiman hitam, dan Arapaima, salah satu ikan air tawar terbesar yang pernah ditemukan. Ikan besar pemakan daging yang menghirup udara untuk bernapas ini dapat tumbuh hingga sepanjang 3 meter dan beratnya mencapai 220 kilogram. Jaguar mengendap-endap di hutan-hutan yang rindang, dan monyet Howler berteriak-teriak dari atas pepohonan yang juga dihuni oleh lebih dari 700 spesies burung, termasuk rajawali harpa serta burung bayan dan tukan yang berwarna-warni spektakuler.

Penduduk Guyana berjumlah kira-kira 770.000 jiwa. Mereka antara lain terdiri dari orang India Timur, yang leluhurnya berasal dari India sebagai pekerja kontrak; orang berkulit hitam keturunan budak Afrika; orang Amerindian, atau Indian Amerika (Arawak, Karib, Wapisiana, dan Warrau); dan campuran dari suku-suku itu. Walaupun bahasa kreol digunakan di seluruh negeri, bahasa Inggris adalah bahasa resmi, sehingga Guyana adalah satu-satunya negeri berbahasa Inggris di Amerika Selatan.

Air Kebenaran Mencapai Guyana

Sekitar tahun 1900, ”air” pemberi kehidupan yang memuaskan dahaga rohani mulai mengalir ke Guyana. (Yohanes 4:14) Seorang pria bernama Peter Johassen, yang bekerja di sebuah kamp penebangan kayu di Sungai Courantyne, mendapatkan majalah Zion’s Watch Tower and Herald of Christ’s Presence. Ia menceritakan isinya kepada Tuan Elgin, yang menulis surat kepada Lembaga Menara Pengawal untuk meminta lebih banyak lektur Alkitab, termasuk buku The Divine Plan of the Ages. Meskipun Elgin sendiri tidak berpaut pada kebenaran yang ia pelajari, ia membuat beberapa orang lain berminat akan kebenaran. Akhirnya, terbentuklah kelompok kecil di kota New Amsterdam, yang terletak di muara Sungai Berbice.

Sementara itu, di Georgetown, ibu kota Guyana, Edward Phillips memperoleh lektur yang diterbitkan oleh Siswa-Siswa Alkitab Internasional, sebutan bagi Saksi-Saksi Yehuwa kala itu. Karena sangat ingin menceritakan apa yang sedang ia pelajari, Phillips mengumpulkan kerabat dan teman-teman di rumahnya untuk membahas Alkitab secara teratur dan tidak resmi. Pada tahun 1908, ia menulis surat ke Lembaga Menara Pengawal, meminta agar mereka mengutus seseorang ke Guyana, yang pada waktu itu disebut Guyana Inggris.a Empat tahun kemudian, Evander J. Coward tiba dan menyampaikan ceramah-ceramah Alkitab kepada ratusan orang yang berkumpul di balai kota di Georgetown dan di New Amsterdam.

Anak lelaki Phillips, Frederick, mengingat kunjungan Coward. Ia menulis, ”Dalam waktu singkat, Saudara Coward pun menjadi terkenal di Georgetown, dan karena berita yang ia kabarkan, para peminat mulai bergabung dengan kelompok Siswa-Siswa Alkitab kami. Pada masa itu, kami membahas buku The Divine Plan of the Ages, The New Creation, dan lain-lain. Segera rumah kami menjadi terlalu kecil, maka pada tahun 1913, kami menyewa sebuah ruangan atas di Somerset House di Georgetown. Ruangan itu menjadi tempat perhimpunan sampai tahun 1958.” Pada tahun 1914, Edward Phillips sekali lagi menyediakan rumahnya, kali ini sebagai kantor cabang Guyana yang pertama. Ia dilantik menjadi pengawas kantor, dan tugas ini ia jalankan sampai kematiannya pada tahun 1924.

Pada tahun 1916, ”Drama-Foto Penciptaan”, paduan film dan pertunjukan slide, menjadi daya pendorong bagi pekerjaan pengabaran. ”Pada waktu itu, kami menikmati kemakmuran rohani dan kedamaian,” tulis Frederick. ”Surat kabar setempat bahkan memuat serangkaian ceramah Charles T. Russell, seorang Siswa Alkitab yang terkemuka.”

Pada tahun 1917, suasana di Guyana telah berubah. Negeri itu sedang dilanda histeria perang, dan seorang pemimpin agama yang terkemuka mendesak masyarakat untuk mendoakan Inggris dan sekutunya. Dalam sepucuk surat kepada media cetak, Coward menjelaskan situasi dunia dari sudut nubuat Alkitab. Dan di Balai Kota Georgetown, ia menyampaikan ceramah yang sangat menggugah berjudul ”Merobohkan Tembok-Tembok Babilon”.

”Para pemimpin agama begitu marah,” kata sebuah laporan di Watchtower terbitan 1 Oktober 1983, ”sehingga mereka membujuk kalangan berwenang untuk mengusir Saudara Coward dan melarang beberapa publikasi kita, dan larangan itu berlangsung sampai tahun 1922.” Akan tetapi, Coward direspek banyak orang karena kesaksiannya yang berani. Malahan, pada waktu ia pergi, orang-orang berbaris di dermaga sambil berteriak, ”Cuma dia yang memberitakan kebenaran!” Para pekerja dermaga bahkan mengancam untuk mogok sebagai protes atas pengusiran Coward, tetapi saudara-saudara melarangnya.

Setelah perang dunia pertama, Siswa-Siswa Alkitab menghadapi ujian yang lebih halus yang untuk sementara waktu mengganggu penyebaran kebenaran Kerajaan. Seorang bekas saudara, yang tadinya anggota staf kantor pusat Brooklyn namun murtad, mengunjungi Guyana beberapa kali untuk memalingkan Siswa-Siswa Alkitab di sana dari organisasi.

”Untuk sementara waktu,” kata Watchtower yang disebutkan di atas, ”Siswa-Siswa Alkitab di negeri itu terbagi tiga, ada yang loyal kepada organisasi, ada yang menjadi kelompok oposisi, dan kelompok yang satu lagi tidak tahu harus bagaimana. Akan tetapi, Yehuwa hanya memberkati kelompok yang loyal, dan kelompok tersebut akhirnya berkembang pesat.” Mereka yang loyal antara lain ialah Malcolm Hall dan Felix Powlett, yang masing-masing dibaptis pada tahun 1915 dan 1916. Keduanya hidup hingga lebih dari 90 tahun dan tetap menjadi hamba Yehuwa yang bersemangat.

Untuk lebih menyemangati saudara-saudara yang setia, George Young dari kantor pusat sedunia datang ke Guyana pada tahun 1922 dan tinggal selama kira-kira tiga bulan. ”Ia adalah pekerja yang tidak kenal lelah,” kata Felix Powlett. Pengetahuan Alkitab Saudara Young, suaranya yang lantang, isyaratnya yang luwes, dan berbagai alat peraganya menggerakkan banyak orang untuk lebih banyak menyelidiki Firman Allah. Berdasarkan laporan Young, Watchtower terbitan 1 Januari 1923 menyebutkan bahwa ”minat akan kebenaran meningkat pesat di bagian bumi ini, hadirin di semua perhimpunan umum semakin banyak, rumah-rumah penuh sesak, dan sejalan dengan semua itu, semangat serta pengabdian saudara-saudara bertambah”. Di Somerset House, contohnya, rata-rata 100 orang menghadiri perhimpunan, meskipun pada waktu itu hanya ada kira-kira 25 penyiar Kerajaan.

Pada tahun 1923, saudara-saudara juga berupaya mencapai orang-orang yang tinggal lebih jauh di pedalaman. Sering kali, yang mereka bawa hanya ranjang gantung dan lektur, sedangkan untuk makanan, mereka mengandalkan keramahan penduduk. Jika ada yang menawarkan tempat bermalam, mereka pun akan tinggal di sana. Kalau tidak, mereka akan merentangkan ranjang gantung di bawah dahan pohon dan tidur di sana, sering kali sambil menahan serbuan kawanan nyamuk. Keesokan paginya, mereka membahas ayat dari Daily Heavenly Manna, buku ayat harian yang diterbitkan oleh organisasi Yehuwa, lalu berangkat ke kampung berikutnya lewat jalan setapak atau menumpang perahu.

Upaya untuk mencapai orang-orang di tempat yang lebih jauh terus dilakukan hingga Perang Dunia II ketika bensin dijatah, sehingga sulit untuk bepergian. Sementara itu, Siswa-Siswa Alkitab menerima nama Saksi-Saksi Yehuwa pada tahun 1931. Kelompok-kelompok kecil Siswa-Siswa Alkitab yang tersebar di daerah pesisir dengan antusias menerima sebutan baru itu dan memperlihatkan kegairahan mereka dengan semakin giat dalam pelayanan. Belakangan pada tahun 1930-an, para penyiar mulai mengabar menggunakan fonograf berisi rekaman khotbah-khotbah Alkitab. Frederick Phillips, pengawas cabang pada waktu itu, menulis, ”Pada masa itu, di desa-desa belum ada radio, sehingga kedatangan kami di sebuah desa langsung dikenali dari suara musik lewat pengeras suara yang kami bawa yang memecah keheningan suasana tropis di sana. Musik ini disusul dengan rekaman khotbah-khotbah. Hampir semua orang di desa itu datang mengerumuni kami, bahkan ada yang masih pakai piyama.”

Stasiun-stasiun radio juga digunakan untuk menyebarkan kabar baik. Satu stasiun di Guyana menyiarkan berita Kerajaan setiap hari Minggu dan Rabu. Tentu saja, semua kegiatan ini tidak luput dari perhatian Setan, yang memanfaatkan semangat nasionalistis pada Perang Dunia II untuk menghalangi pengabaran.

Perang Dunia II dan Kegiatan Pascaperang

Pada tahun 1941, selama perang dunia kedua, ada 52 pemberita Kerajaan yang aktif di Guyana. Pada tahun itu, The Watchtower dan Consolation (sekarang Sedarlah!) dilarang. Pada tahun 1944, semua lektur yang diterbitkan umat Yehuwa dilarang juga. ”Bahkan Alkitab yang tidak berisi komentar dari Menara Pengawal dan diterbitkan oleh lembaga-lembaga Alkitab lain pun tidak boleh dimiliki oleh saksi-saksi Yehuwa,” kata sebuah laporan dalam Watchtower terbitan 1 Juli 1946.

Pada bulan April 1946, Nathan Knorr dari kantor pusat sedunia mengunjungi Guyana. Ia ditemani oleh William Tracy, yang baru lulus dari Sekolah Gilead. Mereka bertujuan untuk membesarkan hati saudara-saudara dan mengajukan permohonan kepada pemerintah agar mencabut pelarangan itu. Pada sebuah pertemuan di Georgetown, Saudara Knorr menjelaskan kepada 180 saudara dan peminat yang berkumpul bahwa murid-murid Yesus masa awal tidak mempunyai Alkitab dan buku-buku untuk membantu mereka mengabar. Namun, Yehuwa memberkati mereka dengan pertumbuhan yang sangat pesat. Mengapa? Karena mereka terus mengabar. Jadi, tidakkah Allah akan melakukan hal yang sama bagi hamba-hamba-Nya di zaman modern seraya mereka terus mengabar? Ya, tentu saja!

Sementara itu, saudara-saudara terus mengupayakan cara-cara hukum agar pelarangan dicabut. Misalnya, tidak sampai setahun setelah perang berakhir, mereka memperoleh 31.370 tanda tangan dalam petisi yang memprotes pelarangan itu. Petisi itu kemudian diajukan ke pemerintah. Selain itu, agar rakyat Guyana terinformasi sepenuhnya, organisasi Yehuwa menerbitkan selebaran yang berisikan fakta-fakta sebenarnya. Judulnya, ”ALKITAB DILARANG DI GUYANA INGGRIS​—31.000 ORANG MENANDATANGANI PETISI KEPADA GUBERNUR agar kebebasan beribadat dipulihkan bagi semua penduduk koloni kita, apa pun kepercayaannya.”

Saudara Knorr juga menemui sekretaris pemerintahan kolonial, W. L. Heape, untuk mengupayakan pencabutan pelarangan. Pada akhir pembicaraan mereka yang berlangsung selama 30 menit, Saudara Knorr memberi Tuan Heape sebuah buku ”The Truth Shall Make You Free” dan meminta agar dia membacanya dengan saksama. Tuan Heape menyetujuinya. Selain itu, ia memberi tahu Saudara Knorr bahwa sebenarnya pelarangan atas lektur kita sedang dipertimbangkan kembali oleh sembilan anggota panitia eksekutif pada saat itu juga! Hal ini ternyata benar, karena pada bulan Juni 1946, gubernur mengeluarkan pengumuman bahwa pelarangan itu telah dicabut.

Tidak lama kemudian, 130 karton berdebu berisi 11.798 buku besar dan buku kecil dikembalikan kepada saudara-saudara. Karena gembira bisa menawarkan lektur lagi, para pemberita Kerajaan, yang pada waktu itu berjumlah 70 orang, menghabiskan seluruh persediaan itu hanya dalam sepuluh minggu. Pada bulan Agustus, saudara-saudara juga memulai kesaksian di jalan, dan hasilnya bagus sekali. ”Majalah ditempatkan hampir sama cepatnya seperti koran dijual,” demikian laporan kantor cabang.

Bahkan selama pelarangan, saudara-saudara terus menerima makanan rohani yang berharga, antara lain karena upaya seorang saudara yang bekerja di kantor pos besar di Georgetown. Tulisnya, ”Saya merasa harus memastikan bahwa majalah-majalah Menara Pengawal sampai di kantor cabang. Dengan bantuan saudari-saudari, artikel pelajaran diperbanyak dengan diketik atau distensil dan dibagikan kepada keluarga-keluarga untuk digunakan di perhimpunan.”

Para Utusan Injil Menggiatkan Pengabaran

Sewaktu mobil yang sedang menambah kecepatan berganti gigi, mobil itu akan melaju lebih cepat lagi. Di Guyana, pekerjaan pengabaran ”berganti gigi” pada waktu utusan-utusan injil hasil pelatihan Gilead tiba pada pertengahan tahun 1940-an. Mereka antara lain ialah William Tracy, lulusan kelas ketiga, dan juga John serta Daisy Hemmaway dan Ruth serta Alice Miller, lulusan kelas kelima. Para Saksi yang bersemangat ini tidak segan membagikan hal-hal berharga yang mereka pelajari di Gilead kepada saudara-saudari setempat, dan mereka memberikan teladan di lapangan.

Saudara Tracy merasa prihatin kepada orang-orang yang tinggal di daerah terpencil. ”Saya menjelajahi negeri ini,” tulisnya, ”beberapa kali bolak-balik menyusuri pantai dan pergi ke hulu sungai untuk mengunjungi para peminat di tempat-tempat terpencil dan mencari peminat baru. Saya bepergian dengan kereta pantai, bus, sepeda, perahu sungai yang besar, perahu kecil, dan bahkan kano.”

Para utusan injil juga membantu para perintis setempat agar memiliki rencana yang rapi sehingga dapat mengerjakan daerah secara sistematis dan, jika mungkin, mengerahkan diri untuk melayani di daerah yang belum dikerjakan. Ingatlah bahwa pada tahun 1946, di Guyana hanya ada lima sidang dengan puncak 91 pemberita Kerajaan. Tetapi tidak ada tugas yang terlalu berat bagi orang yang mendapat kekuatan dari roh Allah.​—Za. 4:6.

Pada mulanya, perintis yang bekerja sama dengan para utusan injil banyak yang sudah tua. Namun, tidak soal usia mereka, mereka sangat bersemangat mengabar. Mereka antara lain ialah Isaac Graves, George Headley, Leslie Mayers, Rockliffe Pollard, dan George Yearwood. Saudarinya misalnya Margaret Dooknie, Ivy Hinds, Frances Jordan, Florence Thom, Atalanta Williams, dan Princess Williams (bukan kerabat). Dengan dipersenjatai banyak buku, buku kecil, dan majalah, mereka pergi jauh untuk menyampaikan berita Kerajaan.

Ivy Hinds (sekarang Wyatt) dan Florence Thom (sekarang Brissett) ditugasi ke kota Bartica di tepi Sungai Essequibo, sekitar 80 kilometer dari pantai. Kota itu adalah gerbang menuju tambang emas dan intan di wilayah pedalaman. Ada seorang saudara yang tinggal sendirian di sana. John Ponting, yang melayani sebagai pengawas cabang sekaligus pengawas wilayah pada waktu itu, menulis, ”Belum sampai dua bulan, sudah ada 20 orang yang menghadiri perhimpunan, dan 50 orang yang menghadiri Peringatan.” Salah seorang yang menerima kebenaran adalah pria bernama Jerome Flavius. Ia buta total. ”Tidak lama kemudian, ia sudah bisa berkhotbah tanpa bantuan setelah bahannya dibacakan kepadanya beberapa kali oleh Ivy Hinds,” kata John.

Walaupun sudah hampir berusia 70 tahun, saudari perintis bernama Esther Richmond dan Frances Jordan belajar naik sepeda agar dapat mengerjakan lebih banyak daerah. ”Margaret Dooknie, yang sudah tidak ingat lagi berapa lama ia merintis, sering berjalan kaki hingga begitu kelelahan sampai-sampai ketiduran di bangku taman,” kata Saudara Ponting. ”Kami tidak akan pernah melupakan orang-orang seperti itu.”

Karena tersemangati oleh teladan para utusan injil dan perintis yang lebih tua, banyak anak muda mulai bergabung dengan barisan perintis. Hasilnya, makin banyak orang masuk kebenaran, dan kelompok-kelompok serta sidang-sidang dibentuk di berbagai bagian negeri itu. Pada tahun 1948, ada 220 penyiar di Guyana. Pada tahun 1954, angka itu naik menjadi 434. Sementara itu, kelompok dari Kitty-Newtown yang berhimpun di Somerset House telah berkembang sehingga sidang baru bisa terbentuk​—namanya Newtown​—sidang kedua di ibu kota. Sekarang, ada sembilan sidang di Georgetown.

Gerobak Suara, Parade Sepeda, dan Keledai

Pada awal tahun 1950-an, atas petunjuk kantor cabang, saudara-saudara menyampaikan khotbah umum di tempat-tempat terbuka di seluruh Georgetown, biasanya pada hari Sabtu sore dan Minggu siang. Mereka menggunakan gerobak berpengeras suara buatan sendiri. Gerobak itu membawa amplifier yang kuat, dua speaker besar, penyangganya, dan kabel-kabel. Albert Small, yang dibaptis pada tahun 1949, mengatakan, ”Pada siang hari, di lokasi pertemuan dipasang sebuah papan pengumuman, yang bertuliskan ’Pertanyaan Alkitab Anda Dijawab’ dan juga waktu pertemuannya. Banyak yang hadir untuk mendengarkan khotbah-khotbah itu, dan ada beberapa yang belakangan masuk kebenaran.”

Untuk menunjukkan potensi pertambahan lebih lanjut, Nathan Knorr dan sekretarisnya, Milton Henschel, berkhotbah di Globe Cinema di Georgetown pada awal tahun 1954. John Ponting hadir di sana. Ia melaporkan, ”Dari 1.400 kursi yang ada, semuanya terisi, dan 700 orang lagi mendengarkan di luar melalui pengeras suara tambahan sampai akhirnya hujan deras memaksa mereka berdesak-desakan di dalam. Kami mengumumkan acara itu dengan parade sepeda yang membawa plakat-plakat. Setelah hari gelap, kami menggunakan sebuah papan besar yang diterangi lampu dan ditarik seekor keledai yang digiring oleh seorang saudara yang menyerukan pengumuman dengan pengeras suara.”

Lebih Sering ke Daerah Pedalaman

Sewaktu melayani sebagai pengawas cabang, William Tracy menganjurkan saudara-saudara untuk mengunjungi orang-orang yang tinggal di daerah terpencil. Ia sendiri mengunjungi berbagai daerah di Sungai Essequibo dan Sungai Berbice serta menyelenggarakan kebaktian wilayah untuk kelompok kecil dan sidang di daerah-daerah itu. Kebaktian biasanya diadakan di bioskop dan sekolah. Jarang ada tempat yang lebih besar daripada bioskop. Pada tahun 1949, pada kebaktian di sebuah bioskop di desa Suddie, dekat muara Sungai Essequibo, banyak orang terkesan dengan khotbah umum berjudul ”Neraka​—Untuk Menakut-nakuti”. Beberapa orang mulai menjuluki Saksi-Saksi Yehuwa gereja antineraka.

Pada tahun 1950, William Tracy, yang baru menikah, dipindahtugaskan ke Amerika Serikat. John Ponting menggantikan dia sebagai pengawas cabang dan pengawas keliling. John juga ikut mengerjakan daerah sungai. Saudara-saudara biasanya naik kapal angkutan umum. Apabila di tengah perjalanan ada penduduk desa yang datang mendekat dengan kano untuk bertukar surat dengan kapal yang juga berfungsi sebagai kantor pos keliling ini, saudara-saudara akan meminta untuk ikut ke darat, yakin bahwa ada yang akan memberi mereka makanan dan tumpangan. Mereka memberikan kesaksian di desa itu lalu bermalam di salah satu keluarga di sana. Keesokan harinya, ada yang mengantar mereka ke arah hilir dengan perahu sehingga mereka dapat mengabar ke desa berikutnya. Pada suatu sore, mereka mengunjungi sebuah tempat pemotongan kayu. Sang pengelola berhenti bekerja, mengumpulkan anak buahnya, dan mengizinkan saudara-saudara berkhotbah selama 15 menit. Mereka semua mengambil lektur.

Thomas Markevich, lulusan Gilead kelas ke-19, ditugasi ke Guyana pada bulan Juli 1952. Ia juga menjelajahi daerah-daerah yang belum dikerjakan. Thomas mengatakan, ”Rasanya senang sekali bisa menceritakan berita Kerajaan kepada orang yang belum pernah diberi kesaksian. Tetapi, kadang-kadang ada kejadian yang tidak terduga, seperti yang saya alami. Saya naik perahu di Sungai Demerara lalu berjalan masuk jauh ke dalam hutan, dan menemukan sebuah pondok kecil. Tuan rumah menyambut dan mempersilakan saya masuk, menyuruh saya duduk, dan mendengarkan apa yang saya katakan. Ketika memandang ke sekeliling, saya kaget sekali karena dinding-dinding pondok itu dilapisi halaman-halaman majalah Watchtower, yang semuanya terbitan tahun 1940-an! Tidak tahunya, bapak itu pernah diberi kesaksian, mungkin di perahu sungai atau di Georgetown atau Mackenzie.”

Donald Bolinger-lah utusan injil yang pertama kali melakukan perjalanan sulit lewat darat ke daerah Air Terjun Kaieteur. Sewaktu memberikan kesaksian kepada orang-orang Amerindian, ia bertemu dengan pejabat pemerintah yang bekerja bersama mereka. Akhirnya, pria ini membaktikan diri kepada Yehuwa dan mengurus kelompok yang belakangan terbentuk di sana. Karena alasan pekerjaan, beberapa penyiar pindah ke daerah terpencil, misalnya ke daerah pertambangan intan atau emas. Meskipun tinggal terpencil, mereka sering terlihat mengabar dari pondok ke pondok di permukiman di sana. Apa yang membantu mereka tetap kuat secara rohani? Mereka mempertahankan kebiasaan yang baik untuk belajar dan mengabar.

Pelayanan yang ’Seru dan Memuaskan’

Utusan injil John dan Daisy Hemmaway melayani di Guyana dari tahun 1946 hingga tahun 1961. Kadang-kadang, mereka menggunakan dua minggu cuti mereka di distrik sebelah barat laut, dekat Venezuela, yang dihuni suku Karib, Arawak, dan suku-suku asli lainnya. Pada suatu kali, mereka menempatkan banyak sekali lektur kepada orang-orang Arawak. Hal ini membuat para suster Katolik yang mengelola sekolah di sana tidak senang. Malah, para suster itu menanyai anak-anak apakah orang tua mereka telah memperoleh lektur. Ketika para orang tua mendengar hal ini, mereka pun marah dan memberi tahu sang pastor bahwa mereka bebas memilih bahan bacaan mereka. Sang pastor tidak gentar. Pada hari Minggu, di gereja, ia menjelek-jelekkan buku kecil Can You Live Forever in Happiness on Earth? yang telah ditempatkan kepada banyak orang. Tetapi taktik ini pun menjadi senjata makan tuan, karena pada hari ketika suami istri Hemmaway hendak berangkat, banyak penduduk desa datang justru untuk meminta buku kecil tersebut.

Untuk mencapai daerah itu, yang berjarak sekitar 300 kilometer ke arah pedalaman, John dan Daisy naik feri, kereta api, dan truk. Mereka membawa semua yang diperlukan termasuk lektur dan sepeda, yang sangat penting untuk melewati jalanan tanah menuju jalan-jalan setapak orang Indian. ”Jalan-jalan setapak ini,” kata John menjelaskan, ”menuju ke segala arah, dan orang harus ingat jalan atau mematahkan ranting sebagai tanda di persimpangan kalau tidak mau tersasar. Jika bertemu dengan seekor kucing besar, biasanya orang harus berdiri mematung serta memelototinya, dan hewan itu pun akan pergi dengan tenang. Monyet-monyet berlompatan di antara puncak pepohonan, sambil berteriak-teriak memprotes kedatangan tamu-tamu tak diundang, sementara kungkang menggantung dengan kepala di bawah, dengan malas mengamati orang yang lewat. Di sana-sini, di tempat-tempat yang tidak banyak pohonnya, orang dapat sekilas melihat burung-burung tukan yang berwarna-warni sedang makan buah pepaya.”

Setelah 15 tahun melayani sebagai utusan injil di Guyana, Saudara Hemmaway mengungkapkan segenap perasaannya dengan kata-kata ini, ”Betul-betul seru! Ya, dan sangat memuaskan! Duduk di lantai tanah dalam pondok dari daun kelapa dan berbicara dengan orang Amerindian tentang Kerajaan Allah, mengajar mereka tentang jalan hidup yang baru, memberikan rasa puas yang tidak ada bandingannya. Melihat orang-orang yang rendah hati itu menyambut pengajaran Alkitab lalu membaktikan diri kepada Allah adalah pengalaman yang tak terlupakan.”

Para Perintis Lokal ke Gilead

Beberapa perintis lokal juga menikmati hak istimewa diundang ke Sekolah Gilead, dan beberapa ditugasi kembali ke Guyana. Mereka antara lain ialah Florence Thom (sekarang Brissett), kelas ke-21, 1953; Albert dan Sheila Small, kelas ke-31, 1958; dan Frederick McAlman, kelas ke-48, 1970.

Florence Brissett mengatakan, ”Tadinya saya berharap dikirim ke negeri asing, tetapi tugas ke desa Skeldon di Guyana merupakan berkat dari Yehuwa. Banyak bekas teman sekolah, guru, sahabat, dan kenalan menerima tawaran saya untuk belajar Alkitab karena mereka kenal dengan saya. Bahkan, ada beberapa yang ingin belajar! Di antaranya ialah Edward King, yang istrinya sedang belajar dengan saya. Yang menarik, pendeta Anglikan mendengar bahwa istri Edward sedang belajar Alkitab. Lantas, ia memanggil Edward dan menyuruh dia menghentikannya. Tetapi, bukannya menurut, Edward sendiri malah ikut belajar.”

Setelah suami istri Small kembali dari Gilead, Albert melayani sebagai anggota Panitia Cabang sekaligus pengawas wilayah selama bertahun-tahun. Saat ini, meskipun mengalami problem kesehatan, ia dan Sheila terus melayani sebagai perintis istimewa di sebuah sidang setempat. Dan, Saudara Small melayani sebagai penatua di sana. Tentu saja, tidak semua yang berasal dari Guyana ditugasi kembali ke sana. Lynette Peters, contohnya, lulusan kelas ke-48, ditugasi ke Sierra Leone. Ia masih melayani dengan setia di ladang asing itu.

Film Menggugah Minat

Film yang digunakan secara luas oleh Saksi-Saksi Yehuwa pada tahun 1950-an berjudul The New World Society in Action (Masyarakat Dunia Baru Sedang Beraksi). Film ini menyoroti kantor pusat sedunia di Brooklyn dan kebaktian besar yang diadakan di Yankee Stadium, New York City, pada tahun 1953. Film ini membantu semua​—Saksi dan bukan Saksi​—untuk lebih memahami organisasi Yehuwa dan seberapa besar organisasi itu. Yang pasti, film ini sangat berpengaruh terhadap orang-orang yang tinggal jauh di dalam hutan, yang kebanyakan sama sekali belum pernah melihat film!

Sering kali, film itu dipertontonkan di lapangan besar. Orang mau berjalan berkilo-kilometer untuk melihatnya. ’Tetapi,’ Saudara mungkin bertanya, ’bagaimana caranya saudara-saudara dapat mempertunjukkan film di tempat yang tidak ada listriknya?’ Alan Johnstone, seorang lulusan Gilead yang tiba pada tahun 1957 dan melayani sebagai pengawas wilayah, sudah beberapa kali mempertunjukkan film itu. Ia menulis, ”Kalau tidak ada listrik, penduduk yang baik hati meminjamkan generator, yang biasanya digunakan untuk menerangi toko mereka di malam hari. Sehelai seprai besar yang dibentangkan kuat-kuat di antara dua pohon menjadi layarnya.”

Suatu kali setelah pertunjukan, John dan Daisy Hemmaway pulang naik sebuah kapal uap. Banyak orang di kapal itu telah mendengar tentang film tersebut dan ingin melihatnya. Jadi, atas persetujuan sang kapten, suami istri Hemmaway memasang layar di atas dek dan menaruh proyektor di salah satu kabin yang jendelanya persis menghadap layar. ”Ada pastor Katolik dan Anglikan yang juga naik kapal itu,” tulis John. ”Meskipun mereka tidak pernah mau menonton film itu di darat, sekarang mau tidak mau mereka harus menontonnya di kapal. Malah, dari kabin merekalah kami memutar film itu. Para penumpang belakangan menghujani mereka dengan pertanyaan yang hanya dapat dijawab oleh Saksi-Saksi Yehuwa.”

Ketika mengomentari kuatnya pengaruh film itu, John Ponting menulis, ”Pada tahun-tahun tersebut, film itu khususnya efektif di tempat-tempat yang Saksinya sedikit dan dianggap remeh. Orang-orang yang skeptis jadi bisa melihat organisasi sedunia yang besar dan multirasial sehingga lebih merespek kita. Film itu terbukti menjadi titik balik bagi banyak orang yang pada waktu itu sedang belajar Alkitab. Beberapa dari mereka belakangan menjadi penatua. Hanya dalam dua minggu, seorang pengawas wilayah mempertunjukkan film itu 17 kali, kebanyakan di tempat-tempat terbuka, dengan 5.000 hadirin.

”Dalam perjalanan lain, setelah dua hari mengarungi sungai berarus deras dan kemudian menerobos hutan melalui jalan setapak, seorang pengawas wilayah merasa bahwa upayanya sama sekali tidak sia-sia ketika puluhan orang Amerindian​—yang seumur hidup belum pernah menonton film​—sangat menikmati film itu. Keesokan harinya, banyak penduduk desa, yang kebanyakan beragama Presbiterian, menerima majalah-majalah kita. Sebagai hasil kunjungan ini, sikap seluruh penduduk desa terhadap umat Yehuwa menjadi jauh lebih baik.”

Dari tahun 1953 sampai 1966, terjadi pergolakan politik dan rasial di Guyana. Yang terburuk adalah dari tahun 1961 sampai 1964 ketika terjadi kerusuhan, penjarahan, pembunuhan, dan pemogokan besar-besaran. Transportasi umum terhenti, dan ketakutan meluas ke mana-mana. Saudara-saudara tidak secara langsung dianiaya, tetapi ada juga yang ikut menjadi korban keadaan. Misalnya, dua saudara dipukuli, dan dua yang lain, termasuk Albert Small, terkena peluru nyasar dan harus dibawa ke rumah sakit untuk mengeluarkannya. Situasinya menjadi sangat parah sehingga pasukan Inggris akhirnya turun tangan.

Betapa tepatnya bahwa selama masa penuh gejolak itu, film The New World Society in Action memperlihatkan suatu umat dari segala bangsa yang benar-benar berdamai dan bersatu! Lagi pula, mogoknya transportasi umum tidak membuat saudara-saudara berhenti berhimpun dan berdinas. Mereka hanya perlu berjalan lebih jauh daripada biasanya, atau mereka naik sepeda. Dan yang paling penting, mereka menunjukkan kasih Kristen sejati terhadap satu sama lain. ”Mereka saling memperhatikan dan saling berbagi,” lapor Albert Small.

Saudari-Saudari Menjadi Ujung Tombak

Saudari-saudari juga membawa berita Kerajaan ke tempat-tempat yang jauh dan terpencil. Contohnya, Ivy Hinds dan Florence Thom dilantik menjadi perintis istimewa ke Bartica, di ujung hutan. Mahadeo, seorang penyiar, tinggal terpencil di sana bersama istrinya, Jamela. Seperti kebanyakan gadis India Timur pada waktu itu, Jamela tidak bersekolah dan tidak bisa membaca ataupun menulis. Tetapi, dia ingin membaca Alkitab dan ikut mengajar kedua putranya yang masih kecil. ”Dengan berkat Yehuwa dan bantuan saya,” kata Florence, ”Jamela dengan cepat bisa membaca, menulis, dan memberikan kesaksian kepada orang lain.”

Dua bulan setelah Florence dan Ivy tiba, mereka belum juga menemukan tempat tinggal yang cocok. Mereka juga membutuhkan tempat untuk mengadakan perhimpunan, karena mereka sudah memimpin lebih dari sepuluh pengajaran Alkitab. Situasinya menjadi kritis sewaktu mereka menerima pemberitahuan bahwa pengawas wilayah akan berkunjung. Apalagi, kunjungan itu akan berlangsung pada pekan ketika para buruh dari daerah pedalaman dan rombongan pekerja seks dari Georgetown berduyun-duyun datang ke Bartica, sehingga jumlah penduduk kota bertambah tiga kali lipat!

Tetapi tangan Yehuwa tidak pendek. Florence mengenang, ”Sehari sebelum pengawas wilayah tiba, menjelang sore, kami bertemu dengan pemilik rumah yang setuju untuk menyewakan sebuah pondok kecil dengan dua kamar di pusat kota. Kami bekerja keras, menyikat dan mengecat dinding lalu menggosok lantai. Kami memasang gorden, memasukkan perabot, dan baru selesai pada dini hari. Benar-benar malam yang sibuk! John Ponting, pengawas wilayah kami, hampir-hampir tidak mempercayai cerita kami. Pada malam pertama kunjungannya, ada 22 orang yang datang, menghadirkan harapan akan segera terbentuknya Sidang Bartica.”

Mengarungi Sungai dengan Kingdom Proclaimer

Selama tahun-tahun awal, saudara-saudara memanfaatkan segala macam perahu dan kano yang ada untuk pergi ke permukiman di sepanjang sungai-sungai. Belakangan, mereka mempunyai perahu-perahu sendiri yang dinamai Kingdom Proclaimer I, Kingdom Proclaimer II, dan seterusnya sampai Kingdom Proclaimer V, yang jika diterjemahkan artinya ”Pemberita Kerajaan”. (Yang pertama dan kedua sekarang tidak digunakan lagi.)

Frederick McAlman menceritakan, ”Kami mengabar di tepi timur Sungai Pomeroon dengan mendayung mengikuti arus sampai kami tiba di desa Hackney, 11 kilometer dari muara. Di sana, kami bermalam di rumah Saudari DeCambra, bidan yang sedang bertugas di daerah itu. Esok harinya, pagi-pagi kami akan meneruskan perjalanan sampai ke muara sungai sebelum menyeberang ke tepi barat. Lalu, kami mendayung ke arah hulu sejauh 34 kilometer untuk kembali ke Charity.” Selama lima tahun, saudara-saudara mendayung ke hulu maupun ke hilir Sungai Pomeroon sampai mereka memiliki motor tempel bekas berkekuatan 6 pk.

Berperahu di sungai biasanya tidak berbahaya, tetapi saudara-saudara perlu berhati-hati, karena ada perahu dan kapal lain. Selain itu, Kingdom Proclaimer I dan II adalah perahu dayung, jadi jalannya tidak cepat. Frederick bercerita, ”Sewaktu saya pulang dari berdinas di Sungai Pomeroon pada suatu Sabtu siang, sebuah kapal barang besar yang melaju dengan kecepatan penuh menabrak perahu saya. Kapten dan para awak tidak memperhatikan jalan sebab sedang mabuk karena minum-minum. Saya terpelanting dari Kingdom Proclaimer I, dan tercebur ke bawah kapal mereka. Saya tenggelam dan berjuang menyelamatkan nyawa di dalam kegelapan, sementara kepala saya berkali-kali terbentur bagian bawah kapal, hanya beberapa sentimeter dari baling-baling kapal yang kuat. Karena melihat kesengsaraan saya, seorang pemuda di kapal itu terjun ke sungai dan menyelamatkan saya. Selama berminggu-minggu saya didera rasa sakit akibat cedera yang saya alami, tetapi saya bersyukur masih hidup!”

Kecelakaan itu tidak membuat Frederick kapok. ”Saya bertekad untuk terus mengabar,” katanya, ”karena orang-orang di sepanjang sungai berminat pada Alkitab. Sebelas kilometer dari Charity, di desa Sirikie, ada kelompok Pelajaran Buku Sidang, dan mereka bergantung pada saya.”

Seminggu bersama Pengawas Wilayah

Melayani sebagai pengawas wilayah di pedesaan Guyana benar-benar menguji ketabahan. Selain harus mengadakan perjalanan melalui sungai, jalan tanah, dan jalan setapak di hutan, pengawas wilayah dan istri mereka kadang-kadang harus berhadapan dengan nyamuk dan serangga lainnya, kucing besar, hujan deras dan, di beberapa tempat, perampok. Ada juga risiko terkena malaria, demam tifoid, atau penyakit tropis lainnya.

Seorang pengawas wilayah bercerita tentang kunjungannya ke beberapa penyiar yang tinggal terpencil di tepi Sungai Demerara. Ia menulis, ”Setelah mengunjungi Sidang Mackenzie, kami pergi dengan perahu motor pada hari Senin untuk mengunjungi seorang saudara di desa Yaruni, yang juga terletak di tepi Sungai Demerara, sekitar 40 kilometer dari Mackenzie. Setibanya di sana, kami mengabar di kedua tepi sungai dengan kano, mengikuti arus menuju Mackenzie.

”Orang-orang sangat ramah dan memberi kami buah-buahan, bahkan mengundang kami untuk makan bersama. Pada hari Jumat, kami menggunakan perahu untuk naik ke kapal uap. Di Soesdyke, kami pindah dari kapal uap ke kano untuk merapat ke tepian. Seorang saudara menemui kami dan membawa kami menyeberangi Sungai Demerara ke rumahnya di desa Georgia. Malam itu kami mengadakan perhimpunan dengan keluarga tersebut.

”Esok harinya, kami semua menyeberangi Sungai Demerara menuju Soesdyke, untuk mengerjakan daerah di sana dan juga daerah yang berpenduduk dekat Bandara Timehri. Kami juga pergi ke bukit-bukit pasir, tempat orang-orang memuati truk-truk dengan pasir untuk dibawa ke Georgetown. Pada hari Sabtu malam, kami mengadakan perhimpunan lagi dengan keluarga itu di Georgia. Pada hari berikutnya, sekali lagi kami semua menyeberangi sungai menuju Soesdyke untuk dinas pengabaran pada pagi hari dan khotbah umum pada siang hari di teras kantor pos. Dan, selesailah pekan kunjungan kami.” Kerja keras para pengawas wilayah dan istri mereka yang penuh pengabdian itu tidak sia-sia, karena di Soesdyke sekarang ada sebuah sidang yang berkembang pesat. Saudara-saudara memiliki Balai Kerajaan mereka sendiri, yang rampung pada tahun 1997.

Ada juga kemalangan yang dialami para pengawas wilayah. Ketika mengendarai sepeda motor, Jerry dan Delma Murray sampai di tepi sungai kecil yang jembatannya hanya terbuat dari beberapa papan yang diikat menjadi satu. Delma menunggu Jerry yang melintasi jembatan itu dengan motornya. Tetapi ada yang tidak beres, karena Jerry, motor, dan koper mereka semua jatuh dari jembatan dan tercemplung ke dalam air keruh di bawahnya. Delma menjerit, dan penduduk desa setempat berlarian untuk menolong. Beberapa saat kemudian, kekhawatiran berubah menjadi tawa ketika, sebagaimana diceritakan seorang saudara, ”pria bule itu berjalan terseok-seok ke tepian dengan lalang bergelantungan di badannya dan lumpur belepotan di sepatunya”.

Orang Amerindian Menyambut Kabar Baik

Pada awal tahun 1970-an, sewaktu memberikan kesaksian di pasar di Charity, Frederick McAlman menempatkan majalah Menara Pengawal dan Sedarlah! kepada seorang wanita Amerindian bernama Monica Fitzallen. (Lihat kotak di halaman 176.) Monica, yang tinggal di cagar budaya orang Amerindian, membawa pulang majalah-majalah itu. Suatu kali, ketika sedang sakit, ia membaca majalah-majalah itu dan sadar bahwa inilah kebenaran. Tidak lama kemudian, ia pun menjadi penyiar kabar baik​—satu-satunya di cagar budaya itu​—dan dibaptis pada tahun 1974.

Monica mengenang, ”Dengan penuh semangat, saya mengabar dari rumah ke rumah untuk menceritakan pengetahuan baru saya kepada orang-orang sekampung. Tetapi untuk pergi ke rumah mereka, saya harus mendayung di sepanjang sungai besar dan kecil. Seraya jumlah peminat bertambah, saya mulai mengadakan perhimpunan bersama mereka, membaca dan membahas bahan dari alat bantu pelajaran Alkitab, yaitu buku Kebenaran yang Membimbing Kepada Hidup yang Kekal.”

Apakah kerja keras Monica membuahkan hasil? Ya, tentu, karena ia sekarang ditemani oleh 13 penyiar lain, termasuk suaminya, putra serta menantunya, dan cucu perempuannya. Dahulu, kelompok kecil itu harus mendayung kano selama 12 jam untuk sampai ke Charity, sidang terdekat. Tetapi sekarang, mereka sudah bisa mengadakan perhimpunan di kampung sendiri, dan hadirinnya tiga kali jumlah penyiar!

Sementara itu, sidang di Charity juga bertambah besar. Sekarang ada 50 penyiar di sidang itu, dan banyak dari mereka harus melalui Sungai Pomeroon untuk pergi berhimpun. Rata-rata hadirin perhimpunan melebihi angka 60, dan pada Peringatan tahun 2004, ada 301 orang yang hadir. Sidang Charity juga memiliki Balai Kerajaan yang baru.

Pertumbuhan Menakjubkan di Baramita

Baramita adalah daerah lain di Guyana yang banyak penduduk aslinya menyambut berita Kerajaan. Baramita terletak di bagian barat laut negeri itu dan dihuni oleh masyarakat Indian Karib. Suku ini termasuk penghuni paling awal di Karibia, kawasan yang namanya berasal dari kata Karib. Bahasa mereka juga disebut Karib.

Ruby Smith, wanita Karib asli, tertarik pada kebenaran di tahun 1975 ketika ia menerima risalah dari neneknya. (Lihat kotak di halaman 181.) Pada waktu itu, Ruby berusia 16 tahun. Ia membuat kemajuan rohani dan dibaptis pada tahun 1978 di Kebaktian ”Iman yang Berkemenangan”. Tidak lama kemudian, keluarganya pindah ke Georgetown karena urusan bisnis. Di sana, ia menikah dengan Eustace Smith. Eustace tidak bisa berbahasa Karib, tetapi ia dan Ruby ingin sekali pindah ke Baramita untuk membagikan berita Kerajaan kepada para kerabat Ruby dan orang-orang lain. Ruby berkata, ”Yehuwa melihat isi hati kami dan menjawab doa-doa kami sebab pada tahun 1992, kami berangkat ke Baramita.”

Ruby melanjutkan, ”Begitu tiba, saya langsung memberikan kesaksian di kampung saya. Kami berhimpun di bawah rumah panggung kami yang kecil, yang tingginya kira-kira 1,5 meter di atas tanah. Segera, tempat itu tidak cukup untuk menampung orang yang bertambah banyak, jadi kami meminjam tenda-tenda. Seraya berita tentang perhimpunan tersebar, hadirin bertambah dan akhirnya mencapai kira-kira 300 orang! Karena saya lancar berbahasa Karib, sayalah yang ditugasi menerjemahkan Menara Pengawal. Bagaimana semua orang dapat mendengar? Kami menggunakan mikrofon murah yang memancarkan gelombang FM, sementara banyak dari hadirin membawa radio sendiri dan memutarnya ke frekuensi yang tepat.

”Pada waktu itu, saya dan Eustace merasa bahwa kelompok kami benar-benar memerlukan Balai Kerajaan. Jadi, setelah menghitung biayanya dan membicarakan proyek itu dengan yang lain-lain, kami pun mulai bekerja. Kakak saya, Cecil Baird, menyumbangkan sebagian besar bahan bangunan, dan yang lain-lain menyumbangkan tenaga. Proyek dimulai pada bulan Juni 1992, dan selesai pada awal tahun berikutnya, tepat waktu untuk acara Peringatan. Kami terkejut ketika 800 orang menghadiri khotbah yang disampaikan oleh Gordon Daniels, seorang pengawas wilayah.

”Kelompok Baramita menjadi sidang pada tanggal 1 April 1996, dan Balai Kerajaan ditahbiskan pada tanggal 25 Mei. Sejak itu, balai tersebut sudah diperbesar dan sekarang dapat menampung 500 orang dengan nyaman, sehingga saudara-saudara dapat menggunakannya untuk kebaktian wilayah dan istimewa. Ya, kelompok yang tadinya kecil itu sekarang telah menjadi sidang dengan hampir 100 penyiar dan rata-rata 300 hadirin di Perhimpunan Umum. Hadirin Peringatan telah mencapai 1.416 orang!”

Pernikahan Besar-besaran!

Di distrik Baramita, banyak pasangan yang telah hidup bersama tanpa menikah mengesahkan perkawinan mereka agar selaras dengan standar Alkitab. Namun, ada yang menemui kesulitan untuk melengkapi dokumen yang diperlukan, misalnya akta kelahiran. Tetapi, dengan banyak upaya dan bantuan saudara-saudara untuk memastikan tanggal lahir dan perincian lainnya, pasangan-pasangan ini dapat menikah.

Sekali peristiwa, 79 pasangan dinikahkan pada acara yang sama. Yang menyampaikan khotbah pernikahan adalah Adin Sills, seorang anggota Panitia Cabang. Tiga hari kemudian, 41 orang, yang kebanyakan darinya baru dinikahkan, menyatakan keinginan untuk menjadi penyiar belum terbaptis.

Begitu banyaknya yang berminat akan Firman Allah di Baramita sampai-sampai seluruh kampung merasakan perubahan besar. Pada penahbisan Balai Kerajaan, seorang penatua menyatakan, ”Sekarang, Baramita menjadi tempat yang tenteram dan damai. Ini karena lebih dari 90 persen penduduknya menghadiri perhimpunan secara teratur.”

Pada tahun 1995, distrik Baramita mengalami musibah kekeringan yang parah. Bagaimana keadaan umat Yehuwa? Guru sekolah bernama Gillian Persaud sedang bertugas di Baramita pada waktu itu. Sewaktu ia mendengar sebuah pesawat ringan mendarat di bandara kecil di dekatnya, ia berlari sekencang-kencangnya untuk menemui sang pilot sebelum ia terbang lagi. Ia berhasil membujuk sang pilot untuk membawanya ke Georgetown, dan ia langsung pergi ke kantor cabang untuk melaporkan kesulitan yang dialami saudara-saudara.

James Thompson, seorang anggota Panitia Cabang pada waktu itu, menceritakan, ”Badan Pimpinan mengizinkan kami menerbangkan makanan dan bahan-bahan lain ke Baramita. Kami juga bisa mengatur agar 36 penyiar diterbangkan ke Georgetown sehingga mereka dapat menghadiri kebaktian distrik. Bagi banyak dari mereka, itulah pertama kalinya mereka menghadiri kebaktian.”

Sekolah Pelatihan Pelayanan

Sejak Sekolah Pelatihan Pelayanan (SPP) dimulai pada tahun 1987, banyak negeri telah mendapat manfaat dari pekerjaan para penatua dan hamba pelayanan lajang yang mengikuti sekolah ini. Guyana tidak terkecuali. Setelah mengikuti sekolah ini, yang diadakan di Trinidad yang berdekatan, banyak saudara setempat bisa lebih mendukung pekerjaan Kerajaan di Guyana. Ada yang sekarang melayani sebagai perintis biasa, perintis istimewa, dan penatua sidang. Mereka yang kembali ke sidang asal mereka sangat berperan dalam mengurus domba-domba Yehuwa.

Beberapa lulusan SPP bisa menerima tanggung jawab tambahan. Misalnya, kakak beradik Floyd dan Lawani Daniels ditugasi menjadi perintis istimewa di sidang-sidang yang sangat membutuhkan penatua. David Persaud mendapat hak istimewa untuk melayani sebagai pengawas wilayah. Edsel Hazel, yang juga lulusan SPP, dilantik menjadi anggota Panitia Cabang Guyana. Mengenai beberapa saudara yang telah mengikuti sekolah itu, seorang pengawas wilayah menyatakan, ”Saya telah menyaksikan mereka semua bertumbuh secara rohani, khususnya setelah mereka mengikuti Sekolah Pelatihan Pelayanan.”

Melayani di Tempat yang Lebih Membutuhkan

Pada akhir tahun 1970-an, di Pesisir Atlantik di sebelah barat Sungai Essequibo ada sekitar 30.000 penduduk dan hanya 30 penyiar. Jadi kadang-kadang, kantor cabang menugasi sejumlah perintis istimewa untuk mengerjakan bagian-bagian di wilayah itu selama sebulan. Saudara yang mengawasi sebuah kelompok mengatakan, ”Saudara-saudara dapat menyelesaikan wilayah itu dan menempatkan 1.835 buku, dan mereka mendapat banyak kunjungan kembali serta memulai sejumlah pengajaran Alkitab.”

Saudara lain melaporkan, ”Kami mendayung perahu kecil kami selama dua jam, menempuh jarak 27 kilometer. Adakalanya, kami harus menarik atau mendorong perahu melewati lumpur sedalam lutut, tetapi upaya kami tidak sia-sia karena penghuni rumahnya ramah-ramah. Misalnya, ada seorang guru musik yang menggunakan buku nyanyian kita untuk mengajar. ’Saya sangat menyukai aransemen musiknya,’ kata dia. Lalu dia memainkan dua lagu untuk kami dan menerima enam buku.”

Saudara-saudari lain menyediakan diri untuk membantu daerah-daerah yang lebih membutuhkan. Perhatikan teladan Sherlock dan Juliet Pahalan. Sherlock menulis, ”Pada tahun 1970, saya dan Juliet diundang untuk membantu Sidang Eccles, 13 kilometer di sebelah selatan Georgetown di Sungai Demerara. Di sidang itu ada problem, dan beberapa orang harus dipecat. Akhirnya di sidang itu hanya ada sekitar 12 penyiar aktif beserta anak-anak mereka yang belum dibaptis. Selama suatu waktu, sayalah satu-satunya penatua. Selain itu, sidang tersebut juga mengurus kelompok kecil di Mocha, desa yang terpencil. Setiap Senin malam saya memimpin Pelajaran Buku Sidang di Mocha lalu di Eccles.

”Saya juga memimpin Pelajaran Menara Pengawal. Karena jarang ada cukup majalah untuk setiap orang, biasanya kami membaca setiap paragrafnya terlebih dahulu, baru membaca pertanyaan, padahal pada masa itu yang normal adalah kebalikannya. Kami membawa lilin ke perhimpunan karena listrik sering mati; selama musim hujan, kami harus menghadapi serbuan nyamuk. Pada masa itu, kebanyakan saudara berjalan kaki atau naik sepeda ke perhimpunan dan ke daerah dinas. Para penyiar dari Mocha datang ke Eccles dengan cara yang sama. Maka, setelah perhimpunan, saya memasukkan sebanyak mungkin saudara-saudari ke dalam mobil kecil saya dan mengantar mereka pulang ke Mocha.”

Apakah semua upaya ini ada gunanya? Ketika mengenang masa lalu, Saudara Pahalan menulis, ”Sewaktu di Eccles, ada beberapa orang yang belajar Alkitab dengan saya dan istri, dan banyak di antara mereka, beserta keluarganya, masih berada dalam kebenaran sampai sekarang. Bahkan ada yang sekarang melayani sebagai penatua. Berkat demikian benar-benar tidak ada bandingannya!”

Melayani di ”Surganya para Perintis”!

Selama beberapa tahun terakhir ini, kurang lebih 50 saudara dan saudari​—kebanyakan perintis​—dari Amerika Serikat, Inggris, Irlandia, Kanada, dan Prancis telah datang ke Negeri Banyak Air ini untuk turut mengulurkan undangan, ”Marilah! . . . Siapa pun yang ingin, biarlah ia mengambil air kehidupan dengan cuma-cuma.” (Pny. 22:17) Ada yang bisa tinggal selama beberapa bulan; yang lain selama bertahun-tahun. Jika tabungan mereka menipis, banyak yang pulang ke negeri mereka, bekerja sebentar, lalu kembali lagi. Kebanyakan merasa diberkati karena telah melayani di Guyana. Mereka khususnya senang karena bisa membahas hal-hal rohani dengan orang-orang yang pada umumnya sangat merespek Alkitab. Bahkan banyak orang yang bukan Kristen senang berdiskusi dengan Saksi-Saksi Yehuwa. Belum lagi, penghuni rumah kadang-kadang mengundang makan. ”Jadi tidaklah berlebihan jika Guyana dijuluki surganya para perintis,” kata Ricardo Hinds, koordinator Panitia Cabang yang sekarang.

Arlene Hazel, yang kini melayani di cabang bersama suaminya, Edsel, mengingat beberapa pengalaman mereka di pedesaan Guyana, ”Pada tahun 1997, setelah berkomunikasi dengan kantor cabang, kami menerima tugas untuk melayani di Lethem, kota yang letaknya jauh di pedalaman dekat perbatasan Brasil. Kami melayani di sana bersama Robert dan Joanna Welch yang juga berasal dari Kanada dan seorang saudari Amerika, Sarah Dionne, yang telah tiba di Lethem beberapa bulan sebelumnya. Seorang saudara terbaptis​—Richard Achee, dokter hewan—tinggal di sana pada waktu itu. Kantor cabang memberi kami daftar nama sekitar 20 orang yang pernah belajar, namun kebanyakan dari mereka ternyata tidak benar-benar berminat. Tetapi, ada dua orang yang ingin menjadi penyiar belum terbaptis.

”Perhimpunan pertama kami diadakan di bawah pohon mangga, dan ada 12 orang yang hadir, termasuk kami 6 perintis. Beberapa bulan kemudian, 60 orang menghadiri Perjamuan Malam yang pertama di sana. Sementara itu, jumlah perintis telah berkurang menjadi tiga orang. Namun, kami berupaya untuk memimpin 40 pengajaran Alkitab! Pada waktu pengawas wilayah datang, ia menyarankan agar kami tidak lagi mengajar siapa pun yang tidak mau berhimpun. Saran ini ternyata bagus, karena pelajar-pelajar yang kami pertahankan membuat kemajuan yang pesat.”

Ya, empat tahun kemudian, Lethem menjadi sidang yang terdiri dari 14 penyiar. Hadirin di kebaktian istimewa di Lethem telah bertambah menjadi 100 orang. Hal ini jelas membuktikan bahwa Yehuwa memberkati upaya hamba-hamba-Nya, dan berkatnya jauh melebihi segala kesulitan yang mereka hadapi.

Balai Sewaan dan ”Kolong Rumah”

Sejak dimulainya pekerjaan di Guyana, saudara-saudara selalu mendapat kesulitan untuk menemukan tempat ibadat yang cocok. Pada tahun 1913, sejumlah kecil saudara di Georgetown menyewa ruangan di Somerset House, yang sangat berguna selama 45 tahun. Pada tahun 1970, hanya dua sidang yang memiliki Balai Kerajaan sendiri​—Sidang Charlestown di Georgetown dan Sidang Palmyra di Berbice. Padahal tiga tahun sebelumnya, Guyana telah melewati angka 1.000 penyiar! Jadi, kebanyakan sidang berhimpun di tempat-tempat sewaan, yang sering kali jauh dari ideal.

Pada akhir tahun 1950-an, misalnya, Sidang Wismar, yang terletak di tepi Sungai Demerara, bertambah besar sehingga saudara-saudara merasa harus mencari balai yang cocok. Mereka diperbolehkan menggunakan tempat yang namanya Islander Hall. Mereka berhimpun pada tengah pekan untuk Sekolah Pelayanan Teokratis serta Perhimpunan Dinas dan pada hari Minggu sore untuk Perhimpunan Umum dan Pelajaran Menara Pengawal. Tetapi menyiapkan segala sesuatunya untuk perhimpunan cukup merepotkan. Pertama-tama, saudara-saudara harus menyeberangi Sungai Demerara dari Mackenzie ke Wismar dengan perahu kecil. Seorang saudara membawa satu dos majalah, yang lain membawa satu dos lektur, dan yang ketiga membawa berbagai formulir dan kotak-kotak sumbangan. Tentu saja, semua ini harus disiapkan sebelum perhimpunan. Seusai perhimpunan, seluruh proses ini diulang lagi.

Perhimpunan juga diadakan di tempat yang disebut kolong rumah. Karena kemungkinan banjir, rumah-rumah di Guyana biasanya dibangun tinggi di atas tanah dengan disangga tiang-tiang kayu atau semen. Karenanya, ada ruang yang dapat digunakan, misalnya untuk perhimpunan. Akan tetapi, banyak orang di Guyana menganggap bahwa jika suatu agama tidak punya tempat ibadat yang layak, berarti agama itu tidak diberkati Allah.

Lagi pula, perhimpunan di kolong rumah kadang-kadang mendapat gangguan, yang mengurangi khidmatnya acara. Pernah, ada seekor ayam yang dikejar anjing masuk ke tempat perhimpunan dan hinggap di seorang gadis kecil berusia enam tahun. Ia menjerit kencang, yang mengagetkan semua hadirin. Seusai perhimpunan, kejadian ini membuat orang tertawa tetapi sekali lagi menunjukkan perlunya tempat ibadat yang lebih baik. Selain itu, berhimpun di Balai Kerajaan kolong rumah tidak membuat para peminat terdorong untuk hadir.

Pembangunan Balai Kerajaan

”Selama 32 tahun bergabung dengan Sidang Charity,” kenang Frederick McAlman, ”kami sudah menyewa lima kolong rumah. Karena berada di kolong rumah, kami harus berhati-hati agar kepala kami tidak terbentur balok-balok kayu. Sewaktu menggendong anaknya, seorang saudari salah memperkirakan tinggi sebatang balok sehingga terbenturlah kepala sang anak. Belakangan, ia menceritakan hal ini kepada ayahnya yang tidak seiman. Orang tua saudari itu menyimpulkan bahwa sidang tersebut harus mempunyai tempat ibadat sendiri. Malah, ibunya menawarkan untuk menyumbangkan sebidang tanah buat sidang, dan ayahnya mengatakan bahwa ia akan membiayai pembangunan Balai Kerajaan. Dan itulah yang terjadi. Sekarang, Balai Kerajaan yang mula-mula itu, setelah beberapa kali direnovasi, terus menjadi pusat ibadat sejati di daerah itu. Balai itu juga berfungsi sebagai Balai Kebaktian kecil untuk wilayah setempat.”

Pada masa-masa awal, dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk membangun Balai Kerajaan. Itulah yang terjadi dengan balai di Eccles. Sherlock Pahalan, yang melayani sebagai penatua di Eccles pada waktu itu, menceritakan, ”Perhimpunan kami diadakan di sebuah sekolah. Kami tahu bahwa akan ada pertambahan jika kami memiliki Balai Kerajaan sendiri. Tetapi penyiar yang sedikit jumlahnya di Eccles itu tidak punya banyak uang. Meskipun demikian, mereka mengadakan resolusi untuk membangun balai. Saya mencari tanah yang cocok di daerah sidang, tetapi tidak berhasil.

”Sementara itu, saudara-saudara di Georgetown meminjami kami dua cetakan dan mengajari kami caranya membuat batako. Pada mulanya, untuk membuat 12 batako saja dibutuhkan waktu berjam-jam, tetapi karena terbiasa kami akhirnya menjadi cukup mahir, khususnya saudari-saudari. Tantangan lain adalah mendapatkan semen karena pada waktu itu ada penjatahan semen. Saya harus mengajukan permohonan untuk mendapatkan semen dengan jumlah terbatas. Lalu, untuk memastikan bahwa kami mendapatkan jatah kami, saya harus pergi ke dermaga pagi-pagi sekali dan antre. Berikutnya, saya harus mencari truk yang pergi ke Eccles dan yang mempunyai cukup tempat untuk memuat semen itu. Setiap kali, Yehuwa selalu membantu kami. Tetapi kami masih memerlukan tanah.”

Sherlock melanjutkan, ”Pada tahun 1972, saya dan Juliet cuti ke Kanada dan mengunjungi sepupu saya, yang bukan Saksi. Ia menyebutkan bahwa ia memiliki dua bidang tanah di Eccles tetapi kerabat yang mengurusnya tidak becus kerjanya. Jadi, ia meminta bantuan saya. Saya mengatakan bahwa saya senang membantu, dan juga menambahkan bahwa kebetulan saya sedang mencari tanah di Eccles untuk Balai Kerajaan. Tanpa pikir panjang, ia menyuruh saya memilih salah satu.

”Kami melihat bukti lain dari campur tangan Allah selama pembangunan. Meskipun banyak bahan bangunan lain juga sulit didapat, kami mencari penggantinya serta berimprovisasi dan entah bagaimana, kami selalu bisa menyelesaikan pekerjaan. Lagi pula, hanya sedikit saudara yang memiliki keterampilan yang dibutuhkan, dan harus dibuat jadwal ketat untuk membawa para relawan ke lokasi. Ya, mobil kecil saya berjalan ratusan kilometer untuk mengantar-jemput saudara-saudara. Akhirnya, Balai Kerajaan kami selesai. Khotbah penahbisannya malah disampaikan oleh anggota Badan Pimpinan, Karl Klein. Benar-benar kejutan yang menyenangkan!”

Balai Kerajaan yang Dibangun dengan Cepat

Bahkan sampai tahun 1995, lebih dari setengah sidang-sidang di Guyana masih berhimpun di tempat sewaan, termasuk kolong rumah. Karena itu, cabang mengorganisasi panitia pembangunan nasional untuk mengurus kebutuhan tersebut. Pada bulan Oktober tahun itu, saudara-saudara untuk pertama kalinya mendirikan Balai Kerajaan dengan metode pembangunan cepat di Mahaicony, sekitar 50 kilometer di sebelah timur Georgetown di Sungai Mahaicony. Ketika diberi tahu bahwa Saksi-Saksi Yehuwa akan membangun sebuah Balai Kerajaan selama empat akhir pekan, seorang tetangga mengatakan, ”Kalau kandang ayam, saya percaya, tetapi kalau bangunan tembok, tidak mungkin.” Tentu saja, orang itu segera berubah pendapat.

Di negeri tempat perbedaan rasial kadang-kadang menjadi masalah, proyek-proyek Balai Kerajaan telah mempertunjukkan kepada semua orang bahwa tidak soal suku atau bangsanya, Saksi-Saksi Yehuwa dapat bekerja bersama dalam persatuan Kristen sejati. Seorang wanita tua yang memperhatikan proyek di Mahaicony berseru kepada seorang pengawas wilayah, ”Saya perhatikan ada enam ras bangsa yang bekerja bersama-sama!”

Pembangunan Kantor Cabang

Pada tahun 1914, kantor cabang Guyana yang pertama berlokasi di rumah Phillips, dan tetap di situ hingga tahun 1946. Pada tahun tersebut, ada 91 penyiar. Pada tahun 1959, angka itu telah bertambah menjadi 685, dan pekerjaan terus meluas. Jadi pada bulan Juni 1960, saudara-saudara membeli properti di Jalan Brickdam No. 50, Georgetown. Dengan sedikit modifikasi, bangunan yang ada digunakan sebagai kantor cabang dan juga rumah utusan injil. Tetapi pada tahun 1986, kompleks ini juga tidak memadai lagi. Maka, atas persetujuan Badan Pimpinan, bangunan cabang yang baru dibangun di atas lokasi yang sama. Hamba-hamba internasional membantu saudara-saudara lokal untuk menyelesaikan pekerjaan pada tahun 1987.

Seperti putri-putri Syalum yang membantu ayah mereka membangun kembali sebagian tembok Yerusalem, saudari-saudari terbukti berharga bagi pembangunan cabang. (Neh. 3:​12) Misalnya, 120 saudari, yang dibagi menjadi sekitar sepuluh regu, membuat 12.000 batako yang dibutuhkan proyek tersebut. Dengan menggunakan 16 cetakan, mereka merampungkan pekerjaan itu dalam 55 hari. Dan, itu bukan tugas yang mudah! Campuran semennya harus pas​—cukup lembek sehingga dapat mengeras dengan baik tetapi tidak terlalu lembek sehingga tidak ambrol sewaktu diangkat dari cetakan.

Saudara-saudara lokal bekerja sebagai petugas jaga malam, sering kali langsung ke lokasi setelah bekerja duniawi. Ada juga yang bekerja bersama para hamba internasional, yang mengajari mereka banyak keterampilan berharga. Salah seorang saudara muda, Harrinarine (Indaal) Persaud, mengingat, ”Pekerjaan saya adalah memasang lis profil di dudukan jendela​—dan saya belum pernah melakukannya. Saya mencoba berulang-ulang sampai terpasang dengan benar. Setelah memeriksanya, pengawas saya, yang tampaknya senang dengan pekerjaan saya, mengatakan, ”Nah, sekarang kamu sudah bisa memasang lis di semua jendela.” Kini, saudara muda itu mengajarkan keahliannya kepada saudara-saudara lain dalam proyek-proyek pembangunan Balai Kerajaan.

Karena saudara-saudara harus mengimpor bahan-bahan tertentu, mereka perlu bekerja sama dengan kalangan berwenang. Hasilnya, banyak pejabat datang ke lokasi, termasuk Presiden Forbes L. Burnham beserta rombongan. Semua terkesan dengan pekerjaan tersebut, termasuk seorang perajin kayu setempat. ”Bangunan kalian ini semuanya dikerjakan dengan mutu kelas satu,” katanya. Pada tanggal 14 Januari 1988, Don Adams, wakil dari Brooklyn sebagai pengawas zona, menyampaikan khotbah penahbisan.

Pada tanggal 12 Februari 2001, sekali lagi sebidang tanah dipersiapkan untuk pembangunan​—kali ini di lokasi yang baru. Lagi-lagi, hamba-hamba internasional membantu saudara-saudara lokal mengerjakan proyek ini. Bangunan cabang yang baru itu ditahbiskan pada hari Sabtu, 15 Februari 2003. Richard Kelsey dari cabang Jerman menyampaikan khotbah penahbisan kepada 332 hadirin.

Ada banyak utusan injil masa awal yang datang untuk menghadiri acara ini, beberapa di antaranya untuk pertama kalinya setelah puluhan tahun meninggalkan Guyana! Kemudian pada hari Minggunya, 4.752 orang dari 12 negeri​—lebih dari dua kali jumlah penyiar di Guyana​—menghadiri suatu pertemuan istimewa.

Kebaktian Memerlukan Kreativitas

Untuk kebaktian wilayah dan istimewa, saudara-saudara sering menyewa tempat. Di daerah pedesaan, mereka bahkan mendirikan tempat kebaktian. Thomas Markevich, yang melayani di Guyana dari tahun 1952 hingga 1956, mengatakan, ”Kebaktian kami diadakan sekitar 60 kilometer ke arah hulu Sungai Demerara dari Georgetown. Kira-kira dua ratus Saksi dari kota ingin hadir untuk menyemangati saudara-saudara setempat. Jadi kami memutuskan untuk membangun Balai Kebaktian sementara dengan bahan-bahan yang ada​—bambu untuk tiang penyangga serta bangku dan daun pisang untuk atap.

”Kami mengumpulkan bahan-bahan, mengangkutnya ke sebuah gerbong kecil, dan menuntunnya melewati suatu turunan. Tetapi sialnya, di sebuah tikungan gerbong itu lepas, meluncur, terguling, dan seluruh isinya tumpah ke sungai. Tetapi, apa yang tadinya dikira buntung malah jadi untung, karena barang-barang itu hanyut terbawa arus persis ke lokasi pembangunan! Ketika kebaktian dimulai, saudara-saudara senang sekali karena ada ratusan penduduk desa yang ikut menikmati acara selama tiga hari.”

Thomas menambahkan, ”Setelah kebaktian, kami semua turun mengabar ke daerah yang belum pernah dikerjakan di dekat situ. Di sebuah desa, kami mengadakan khotbah umum, dan seluruh penduduknya hadir​—termasuk seekor monyet piaraan. Ia mendengarkan sebentar lalu memutuskan untuk melihat pemandangan dari arah lain. Jadi, ia melompat beberapa kali dan mendarat di bahu saya. Sejenak ia mengamati keadaan sekitar lalu melompat lagi ke pemiliknya dan tetap di situ sampai khotbah selesai. Oh, betapa leganya saya!”

Kebaktian-Kebaktian

Pada awal abad yang lalu, pertemuan-pertemuan besar biasanya diadakan bertepatan dengan kunjungan wakil-wakil khusus dari kantor pusat sedunia, misalnya Saudara Coward dan Saudara Young. Pada tahun 1954, Nathan Knorr dan Milton Henschel datang ke Guyana untuk Kebaktian Masyarakat Dunia Baru, yang dihadiri 2.737 orang.

Beberapa dekade setelahnya, pada tahun 1999, lebih dari 7.100 delegasi menghadiri dua kebaktian di Guyana. Yang satu di Georgetown, dan yang lain di Berbice. Menjelang kebaktian di Georgetown, saudara-saudara terpaksa melakukan perubahan di saat-saat terakhir, yang benar-benar membuat mereka pusing. ”Seorang bintang film India terkenal datang bersama grup penarinya, dan Komisi Taman Nasional tidak dapat mengubah jadwal pertunjukannya, padahal kamilah yang terlebih dahulu memesan tempat,” tulis kantor cabang.

”Kami segera mengatur untuk pindah ke lokasi lain​—lapangan kriket (permainan mirip kasti)​—dan langsung memberi tahu sidang-sidang. Kebaktian tinggal delapan hari lagi! Tetapi problemnya belum selesai. Di wilayah Karibia, olah raga kriket sangat dipuja-puja, dan lapangannya hampir-hampir dianggap keramat. Jadi pengelolanya mustahil mengizinkan kami berjalan di atas rumput. Kalau begitu, bagaimana kami bisa mementaskan drama? Dan panggungnya akan dipasang di mana?

”Namun, kami jalan terus, percaya bahwa Yehuwa akan membantu kami. Dan memang benar! Kami mendapat izin untuk menggunakan lapangan rumput, asalkan kami membuat panggung dan jalan menuju panggung itu pada ketinggian tertentu di atas tanah. Untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut, kami semua bekerja keras semalam suntuk. Bahkan cuaca pun tidak mau bekerja sama, karena hujan turun hampir sepanjang waktu itu. Meskipun demikian, acara akhirnya bisa juga dimulai sesuai dengan jadwal.

”Kebaktian berjalan lancar, dan cuacanya cerah kecuali pada hari terakhir, hari Minggu. Kami dibangunkan oleh suara hujan. Tidak lama kemudian, lapangan kriket itu tergenang, dan air mulai naik sampai lima sentimeter di bawah jalan dan panggung. Hujan berhenti tepat sebelum acara dimulai. Untungnya, kabel-kabel listrik tidak ditaruh di rumput tetapi ditempelkan di sisi bawah papan-papan panggung dan jalan. Jadi, malah kebetulan kami harus membuat panggung dan jalan!”

Sewaktu drama dipentaskan, seluruh hadirin yang berjumlah 6.088 orang menikmatinya di tengah cuaca yang cerah. Dua minggu kemudian, ada 1.038 hadirin di kebaktian kedua yang diadakan di Berbice. Jadi, jumlah keseluruhan adalah 7.126 dan itu adalah angka hadirin tertinggi yang pernah dicatat di Guyana hingga saat itu. Baru-baru ini, jumlah hadirin hampir mencapai 10.000 orang.

Masa Depan Cerah

Dalam nubuatnya, Yehezkiel melihat bait Yehuwa yang dipulihkan dan dimuliakan. Dari bait itu keluar aliran air, yang semakin lama semakin lebar dan dalam sampai akhirnya menjadi ”aliran deras yang berukuran dua kali lipat”, yang mendatangkan kehidupan bahkan bagi Laut Mati yang asin dan tanpa kehidupan.​—Yeh. 47:1-12.

Dengan perkembangan ibadat yang murni sejak tahun 1919, umat Allah telah menyaksikan tergenapnya nubuat tersebut. Dewasa ini, sungai berisi persediaan rohani yang sejati​—Alkitab, alat bantu pelajaran Alkitab, perhimpunan, dan kebaktian​—sedang memuaskan dahaga rohani jutaan orang di seluruh dunia.

Saksi-Saksi Yehuwa di Guyana merasa mendapat hak istimewa untuk turut menggenapi nubuat tersebut. Selain itu, mereka akan tetap menggunakan sungai harfiah untuk membawa makanan rohani yang mendatangkan kehidupan bagi semua orang yang ”memiliki kecenderungan yang benar untuk kehidupan abadi”, tidak soal di mana mereka tinggal di Negeri Banyak Air ini.​—Kis. 13:48.

[Catatan Kaki]

a Ketika Guyana Inggris merdeka pada bulan Mei 1966, nama negeri itu diganti menjadi Guyana. Kami akan menggunakan nama ini, kecuali atas tuntutan konteks.

[Kotak di hlm. 140]

Sekilas tentang Guyana

Negeri: Daerah pesisir, yang kebanyakan terletak di bawah permukaan laut dan dilindungi oleh tanggul-tanggul sepanjang kira-kira 230 kilometer, terdiri dari tanah endapan sungai. Hutan menutupi sekitar 80 persen negeri ini, termasuk daerah pegunungan di pedalaman, sumber dari kebanyakan sungai di Guyana.

Penduduk: Kira-kira setengahnya berlatar belakang India Timur, lebih dari 40 persen adalah keturunan orang Afrika berkulit hitam atau ras campuran, dan sekitar 5 persen orang Amerindian (Indian Amerika). Sekitar 40 persen mengaku beragama Kristen; 34 persen Hindu; dan 9 persen Islam.

Bahasa: Inggris adalah bahasa resmi, tetapi bahasa kreol juga digunakan di seluruh negeri.

Mata pencaharian: Pertanian menyerap kira-kira 30 persen tenaga kerja. Industri lain mencakup perikanan, perhutanan, dan pertambangan.

Makanan: Tanaman budi daya utama ialah padi, cokelat (atau, biji cokelat), berbagai jeruk, kelapa, kopi, jagung, singkong, tebu, dan buah serta sayuran tropis lainnya. Ternak potong mencakup sapi, babi, ayam, dan domba. Makanan laut yang utama adalah ikan dan udang.

Iklim: Guyana beriklim tropis tanpa banyak perbedaan musim. Curah hujan di daerah pesisir adalah 150-200 sentimeter per tahun. Walaupun dekat dengan khatulistiwa, hawa di Guyana tidak terlalu panas, berkat adanya angin pasat yang terus berembus dari Samudra Atlantik.

[Kotak/Gambar di hlm. 143-145]

Tidak Ada yang Bisa ”Mengunci” Mulutnya

Malcolm Hall

Lahir: 1890

Baptis: 1915

Profil: Penduduk asli Pulau Leguan, ia termasuk orang pertama yang memberitakan kabar baik di daerah itu serta mengurus kelompok yang berkembang di sana.

Sebagaimana diceritakan oleh cucu-kemenakannya, Yvonne Hall.

Seorang petugas pemilu pernah mengatakan kepada Kakek, ”Apa benar kamu tidak ikut memilih? Kalau ya, kami akan mengunci kamu di penjara dan menyita Alkitabmu.” Sambil menatap matanya, Kakek menjawab, ”Tetapi bagaimana dengan mulut saya? Apa kamu bisa mengunci mulut saya supaya tidak berbicara tentang kebenaran yang sudah begitu lama disembunyikan oleh pemimpin agamamu?” Sebagai jawaban, petugas itu hanya dapat mengatakan, ”Awas ya, kita selesaikan urusan ini nanti.”

Kakek dibaptis pada tahun 1915, dan ia adalah salah satu pemberita Kerajaan paling awal di Guyana. Ia adalah ”pejuang sejati demi kebenaran”, kata seorang saudara. Kakek mengenal kebenaran Kerajaan ketika tinggal dan bekerja di Georgetown. Setelah mendengar satu khotbah umum saja di Somerset House, ia langsung mengenali kebenaran. Bahkan begitu pulang, ia memeriksa semua ayatnya dalam Alkitab.

Setelah itu, ia kembali ke tempat asalnya di Leguan dan langsung memberikan kesaksian kepada orang-orang lain. Di antara orang-orang pertama yang menyambut berita Kerajaan adalah kakak serta adik perempuannya dan beberapa kemenakannya. Merekalah cikal bakal kelompok yang berhimpun di rumah Kakek.

Pada masa-masa awal, pemimpin agama memiliki pengaruh yang sangat kuat atas penduduk pulau, dan butuh perjuangan untuk membuat orang-orang menyambut kabar baik. Pendeta sering mengatakan bahwa Kakek itu ”orang sinting, gila Alkitab”. Tetapi hal itu tidak memadamkan semangatnya. Sebagai contoh, pada hari Minggu pagi ia biasa memasang fonograf di serambi depan dan memperdengarkan rekaman ceramah-ceramah Alkitab. Orang-orang sering berdiri di jalanan dan mendengarkan.

Akhirnya, beberapa orang menunjukkan penghargaan. Hal ini khususnya nyata pada malam Peringatan, ketika orang-orang menjejali seluruh loteng di rumah Kakek. Dialah ketuanya, pengkhotbahnya, dan satu-satunya yang ambil bagian. Salah satu pelajar Alkitabnya, Leroy Denbow, terjun dalam dinas perintis dan bahkan pernah melayani sebentar sebagai pengawas wilayah.

Setelah pensiun dari pekerjaannya sebagai bendahara di sebuah kapal di Sungai Essequibo, Kakek mulai merintis dan mengerjakan Pulau Leguan dan Pulau Wakenaam yang berdekatan. Ia bangun pukul 4.30, memerah susu sapi dan mengurus babi. Sekitar pukul 7.30, ia mandi, membaca ayat harian dan suatu bagian Alkitab, sarapan, lalu bersiap-siap untuk berdinas. Masih terbayang dalam ingatan saya, ia memompa ban sepedanya sebelum berangkat. Pada hari-hari tertentu, ia berkeliling paling tidak sejauh 20 kilometer.

Kakek menyelesaikan kehidupannya di bumi pada tanggal 2 November 1985, setelah melayani Yehuwa dengan setia selama kira-kira 70 tahun. Dan selama itu, tidak ada yang bisa ”mengunci” mulutnya. Sekarang, sudah ada sidang di Pulau Leguan maupun di Pulau Wakenaam.

[Kotak/Gambar di hlm. 155-158]

Jawaban atas Pertanyaan Masa Kecil Mengubah Hidup Saya

Albert Small

Lahir: 1921

Baptis: 1949

Profil: Mulai merintis pada tahun 1953. Bersama istrinya, Sheila, ia mengikuti Sekolah Gilead pada tahun 1958 dan ditugasi kembali ke Guyana.

”Allah yang membuat kamu”​—itulah yang selalu diberitahukan kepada saya ketika saya kecil. Jadi, sewaktu Ibu mengatakan bahwa saya adalah yang paling nakal dari keempat anaknya, saya berkesimpulan bahwa Allah membuat tiga anak baik dan satu anak nakal.

Pada waktu saya berumur kira-kira sepuluh tahun, saya bertanya kepada guru sekolah Minggu, ”Siapa yang membuat Allah?” Saya tidak mendapat jawaban. Meskipun demikian, seperti kebanyakan orang pada saat itu, setelah saya cukup besar, saya menjadi anggota gereja​—saya masuk Gereja Presbiterian. Namun, banyak pertanyaan saya tetap tidak terjawab. Misalnya, di gereja kami biasa menyanyikan sebuah himne yang sebagian berbunyi, ”Orang kaya tinggal di istana, orang miskin tinggal di gerbangnya. Allah membuat mereka tinggi dan rendah; Ia menentukan nasib mereka.” ’Apakah Allah memang telah ”menentukan nasib mereka”?’ pikir saya. Sekali waktu saya bertanya kepada seorang pendeta, ”Jika Allah menjadikan Adam dan Hawa, dari mana asalnya berbagai ras suku bangsa?” Secara singkat, ia menjawab bahwa kisah di buku Kejadian itu hanya dongeng.

Lalu, selama Perang Dunia II, kami dianjurkan untuk mendoakan tentara Inggris. Hal inilah yang akhirnya meyakinkan saya bahwa apa yang diajarkan gereja saya bertentangan dengan apa yang saya baca dalam Alkitab. Namun, saya bertanya dalam hati, ’Saya harus pergi ke mana?’ Jadi, saya tetap saja di gereja saya. Ketika berusia 24 tahun, saya menikah dengan Sheila.

Suatu hari, saya baru saja pulang dari gereja ketika ada Saksi yang datang. Kami biasa menjuluki Saksi-Saksi gereja antineraka, dan saya tidak punya waktu untuk mereka. Mereka mengadakan pertemuan di rumah-rumah pribadi dan tidak mengenakan jubah kependetaan. Selain itu, beberapa hal yang telah terjadi dalam hidup saya, termasuk pernikahan saya dengan wanita yang luar biasa, membuat saya berkesimpulan bahwa Allah memperhatikan saya.

Ketika Saksi itu​—Nesib Robinson​—memperkenalkan diri, saya sedang menambal ban sepeda. ”Bannya bocor,” kata saya. ”Kalau Anda orang Kristen, bantu dong.” Lalu saya langsung masuk ke rumah. Minggu berikutnya, sewaktu saya baru saja keluar rumah untuk pergi ke gereja sambil menenteng Alkitab, Nesib datang menaiki tangga rumah saya. ”Saya tidak tertarik dengan agama Anda,” kata saya. ”Istri saya ada di dalam. Bicara saja sama dia.” Dan saya langsung berangkat.

Tetapi saya menyesal juga mengatakannya hal itu, dan di gereja, bukannya mendengarkan khotbah sang pendeta, saya malah berpikir, ’Jika Tuan Robinson itu berbicara dengan istri saya, bisa-bisa dia tidak sempat memasak sup istimewa yang biasa ia buat di hari Minggu.’ Namun ternyata saya tidak perlu khawatir karena setibanya di rumah, sup itu sudah terhidang. Karena penasaran, saya bertanya kepada Sheila, ”Apakah tadi kamu sempat mengobrol dengan si Robinson itu?” ”Ya,” katanya. ”Dia duduk dan berbicara Alkitab sementara saya memasak.”

Tidak lama kemudian, Sheila menerima pengajaran Alkitab. Dia juga melahirkan anak pertama kami, tetapi bayi kami meninggal sewaktu dilahirkan. Saya bertanya kepada Tuan Robinson mengapa hal-hal seperti itu terjadi. Ia menjawab bahwa hal itu bukan salah Allah, melainkan akibat ketidaktaatan Adam dan Hawa serta ketidaksempurnaan yang kita warisi dari mereka. Jawaban ini memuaskan saya.

Nesib sering berkunjung ke toko mebel saya. Percakapan kami biasanya seputar pekerjaan saya, tetapi ia selalu menyisipkan sebuah pokok Alkitab sebelum dia pergi. Akhirnya, pembicaraan kami lebih banyak tentang Firman Allah dan lebih sedikit tentang mebel. Suatu hari, saya memutuskan untuk menanyakan satu atau dua pertanyaan yang selama ini mengganggu saya, dengan berpikir bahwa dia juga pasti akan bingung karena pendeta-pendeta ”hebat” saja tidak bisa menjawabnya.

Sambil mengatakan bahwa jawaban Nesib harus didasarkan atas Alkitab, saya melontarkan pertanyaan pertama, ”Siapa yang membuat Allah?” Nesib membacakan Mazmur 90:2 dari King James Version, yang menyatakan, ”Sebelum gunung-gunung dilahirkan, atau sebelum engkau membentuk bumi dan dunia, bahkan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya, engkaulah Allah.” Sambil menatap saya, ia mengatakan, ”Lihat apa yang dikatakan di sini? Tidak ada yang membuat Allah; Ia selalu ada.” Jawaban yang jelas dan masuk akal ini membuat saya takjub. Dan, runtuhlah tembok yang sudah bertahun-tahun membendung semua pertanyaan yang terkurung dalam benak saya. Jawaban-jawaban Nesib yang didasarkan atas Alkitab, khususnya mengenai maksud-tujuan Allah untuk membuat bumi menjadi firdaus, membuat hati saya bersukacita, yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya.

Kehadiran saya yang pertama kali ke Balai Kerajaan memberikan pengaruh besar bagi diri saya. Mengapa? Karena saya kagum melihat para hadirin berpartisipasi dalam perhimpunan​—sesuatu yang belum pernah saya lihat di gereja. Istri saya, yang belum pernah datang ke perhimpunan, sedang pergi pada saat itu. Ketika saya menceritakannya, ia berkata, ”Ayo, kita pergi sama-sama.” Dan 55 tahun kemudian, kami masih pergi berhimpun!

Saya dan Sheila dibaptis di Samudra Atlantik pada tahun 1949. Pada tahun 1953, saya mulai merintis. Dua tahun kemudian, Sheila bergabung dalam dinas sepenuh waktu yang ternyata menjadi karier kami selama 50 tahun. Pada tahun 1958, kami diundang untuk mengikuti Sekolah Gilead kelas ke-31 dan ditugasi kembali ke Guyana. Kami melayani dalam pekerjaan keliling selama 23 tahun kemudian menjadi perintis istimewa, hak istimewa dinas kami sampai sekarang. Ya, saya bersyukur kepada Yehuwa karena tidak saja memberikan jawaban atas pertanyaan masa kecil saya, tetapi juga memperbolehkan saya dan istri melayani Dia.

[Kotak/Gambar di hlm. 163-166]

”Ini Aku! Utuslah Aku”

Joycelyn Ramalho (dahulu Roach)

Lahir: 1927

Baptis: 1944

Profil: Ia melayani selama 54 tahun dalam dinas sepenuh waktu, termasuk pekerjaan keliling bersama suaminya, yang kini telah meninggal.

Saya lahir di Pulau Nevis di Karibia. Ibu saya adalah orang tua tunggal yang beragama Metodis dan bekerja sebagai perawat. Ia mengajar saya untuk percaya kepada Allah. Karena pekerjaannya, kami pindah ke sebuah desa kecil di pulau itu. Pada hari Minggunya, kami pergi ke gereja Metodis dan duduk di salah satu bangku. Tetapi, beberapa menit kemudian, kami diberi tahu bahwa ”yang punya” bangku itu telah tiba dan kami diminta untuk duduk di tempat lain. Walaupun ada jemaat gereja yang dengan baik hati memperbolehkan kami duduk di bangku ”kepunyaannya”, Ibu tidak pernah mau kembali lagi ke gereja itu. Sebagai gantinya, kami bergabung dengan Gereja Anglikan.

Pada awal tahun 1940-an, ketika sedang berkunjung ke rumah temannya, Ibu bertemu dengan seorang Saksi dari St. Kitts yang memberinya beberapa lektur. Karena suka membaca, Ibu melahap semuanya dan mengenali kebenaran. Tidak lama kemudian, Ibu menikah, dan kami semua pindah ke Trinidad. Pada waktu itu, publikasi kita sedang dilarang di sana, tetapi kami bisa berhimpun di Balai Kerajaan. Tidak lama kemudian, Ibu memutuskan hubungan dengan Gereja Anglikan dan mulai melayani Yehuwa, begitu pula ayah tiri saya, James Hanley.

Di Trinidad, saya bertemu dengan saudari muda bernama Rose Cuffie. Saya tidak menyangka bahwa 11 tahun kemudian, Rose akan menjadi salah satu rekan saya dalam dinas utusan injil. Sementara itu, keinginan saya untuk melayani Yehuwa semakin besar. Saya masih ingat pertama kalinya saya mengabar sendiri. Di rumah pertama, penghuni rumah keluar, dan tiba-tiba lidah saya kelu. Entah berapa lama saya berdiri di sana sebelum akhirnya saya membuka Alkitab, membacakan Daniel 2:44, dan langsung pergi!

Saya mulai merintis pada tahun 1950, dan dua tahun kemudian, saya gembira sekali menerima undangan untuk mengikuti Sekolah Gilead kelas ke-21. Tiga orang dari kelas kami ditugasi ke Guyana: Florence Thom, yang berasal dari Guyana; Lindor Loreilhe, teman sekamar saya; dan saya sendiri. Kami tiba pada bulan November 1953 dan ditugasi ke Skeldon, sebuah kota kecil sekitar 180 kilometer dari Georgetown, dekat muara Sungai Courantyne. Sebuah kelompok yang terpencil di sana sudah menunggu-nunggu kami.

Kebanyakan orang di daerah Skeldon berlatar belakang India Timur dan beragama Hindu atau Islam. Banyak yang buta huruf, jadi sewaktu kami memberikan kesaksian, mereka sering mengatakan, ”Bruck am up, Sista,” yang kalau diindonesiakan kira-kira begini, ”Tolong bicara lebih jelas, Mbak.” Pada mulanya, ada 20 hingga 30 orang yang berhimpun, tetapi jumlah itu melorot sewaktu mereka yang sebenarnya kurang berminat tidak datang lagi.

Seorang wanita membuat kemajuan hingga ia ingin ikut mengabar. Tetapi ketika saya datang ke rumahnya pada waktu yang dijanjikan, yang sudah berpakaian rapi dan sangat ingin pergi bersama saya justru putranya yang berumur 14 tahun. Ibu itu mengatakan, ”Nona Roach, kali ini ajak Frederick dulu ya.” Belakangan kami tahu bahwa ayah wanita itu, seorang Anglikan yang fanatik, telah menentang dia. Akan tetapi, putranya, Frederick McAlman, membuat kemajuan rohani yang sangat bagus dan belakangan mengikuti Sekolah Gilead.​—lihat kotak di halaman 170.

Kemudian saya dipindahtugaskan ke kota Henrietta, dan di sana hanya ada satu penyiar yang tinggal terpencil, seorang saudara. Daerah itu ada di bawah pengawasan Sidang Charity. Rekan perintis saya yang baru adalah Rose Cuffie, yang saya sebutkan di atas. Saya dan Rose menggunakan empat hari dalam seminggu di Henrietta, dan setiap hari Jumat kami berangkat pagi-pagi naik sepeda sejauh 30 kilometer di jalan yang berdebu menuju Charity untuk berhimpun. Kami membawa makanan, seprai, selimut, dan kelambu.

Di sepanjang perjalanan, kami memberikan kesaksian dan singgah ke rumah beberapa penyiar yang tinggal terpencil dan seorang saudari yang tidak aktif, untuk menguatkan mereka. Kami biasanya membahas Menara Pengawal bersama mereka. Pada hari Minggu, kami sudah kembali lagi ke Henrietta, dan memimpin pelajaran kelompok yang membahas Menara Pengawal bersama pelajar-pelajar Alkitab kami. Kami tidak pernah mengalami masalah serius, paling-paling ban pecah atau basah kuyup kehujanan.

Sukacita kami tidak pernah padam. Malahan, seorang wanita pernah berkata kepada kami, ”Kalian kelihatannya bahagia terus; sepertinya kok tidak pernah punya masalah.” Yang menambah sukacita kami adalah Yehuwa memberikan banyak hasil kepada pelayanan kami. Bahkan saudari yang tidak aktif, yang sering kami kunjungi itu, kembali melayani Yehuwa. Sekarang, sekitar 50 tahun kemudian, dia masih tetap setia.

Pada tanggal 10 November 1959, saya menikah dengan Immanuel Ramalho, seorang perintis. Kami melayani bersama di Suddie, 23 kilometer di sebelah selatan Henrietta. Di situ saya hamil tetapi mengalami keguguran. Yang membantu saya mengatasi kesedihan adalah tetap sibuk dalam pelayanan. Belakangan kami mempunyai dua anak. Akan tetapi, kami masih bisa terus merintis.

Pada tahun 1995, Immanuel tidur dalam kematian. Kami berdua telah melayani Yehuwa di banyak daerah. Kami pernah menyaksikan kelompok yang kecil menjadi sidang yang berkembang pesat, lengkap dengan penatua, hamba pelayanan, dan bahkan Balai Kerajaan mereka sendiri! Kami juga menikmati pekerjaan keliling selama sepuluh tahun. Meskipun saya sangat merindukan Immanuel, dukungan Yehuwa yang pengasih dan dukungan sidang terus menjadi penghiburan besar.

Nabi Yesaya menjawab undangan Yehuwa untuk melayani dengan kata-kata, ”Ini aku! Utuslah aku.” (Yes. 6:8) Saya dan almarhum suami berupaya keras untuk meniru sikap bagus sang nabi. Memang, seperti Yesaya, kami mengalami saat-saat yang sulit, bahkan yang mengecilkan hati. Tetapi sukacitanya jauh melebihi itu semua.

[Kotak/Gambar di hlm. 170-173]

Diutus oleh Gilead ke Kampung Halaman Sendiri

Frederick McAlman

Lahir: 1942

Baptis: 1958

Profil: Setelah mengikuti sekolah Gilead, ia ditugasi kembali ke Guyana. Ia dan istrinya, Marshalind, sekarang melayani sebagai perintis biasa.

Pada waktu saya berusia 12 tahun, utusan injil bernama Joycelyn Roach (sekarang Ramalho) mulai mengajarkan Alkitab kepada ibu saya. Saya suka ikut dalam pembahasan. Ibu berhenti, tetapi saya terus belajar dan mulai menghadiri semua perhimpunan. Pada waktu saya berusia 14 tahun, Saudari Roach dan rekan-rekan utusan injilnya, Rose Cuffie dan Lindor Loreilhe, mengajak saya berdinas naik sepeda. Semangat utusan injil mereka mempengaruhi saya lebih dari yang saya sadari pada saat itu.

Ketika mulai belajar dengan Saksi-Saksi Yehuwa, saya juga sedang belajar untuk mengikuti Sakramen Penguatan sebagai seorang Anglikan. Sekali peristiwa, sang pendeta mencoba menjelaskan Tritunggal ”kudus”. Setelah mendengarkan sebentar, saya angkat bicara, mengatakan bahwa saya tidak percaya doktrin ini ada dalam Alkitab. Tukasnya, ”Saya tahu kamu sedang membaca beberapa buku, dan buku-buku itu meracuni kamu. Jangan dibaca. Kamu harus percaya kepada Tritunggal.” Sejak itu, saya tidak pernah kembali lagi ke gereja Anglikan tetapi terus belajar dengan para Saksi. Saya dibaptis pada tahun 1958.

Pada bulan September 1963, saya menerima sepucuk surat dari kantor cabang yang berisi undangan menjadi perintis istimewa. Saya menerima undangan itu. Daerah tugas saya yang baru adalah Sidang Fyrish di Sungai Courantyne, dan rekan saya adalah Walter McBean. Kami melayani bersama selama satu tahun, mengerjakan daerah dari hulu sampai hilir sungai itu. Hal ini menyiapkan kami untuk tugas berikutnya​—Sidang Paradise, yang hanya memiliki sepuluh penyiar sewaktu kami tiba pada tahun 1964. Kami merintis di sana selama empat tahun lebih dan melihat sidang itu berkembang menjadi 25 penyiar.

Pada tahun 1969, saya diundang untuk mengikuti Gilead kelas ke-48. Saya juga gembira sekali bisa menjadi tamu keluarga Betel Brooklyn sehingga saya dapat menghadiri Kebaktian Internasional ”Damai di Bumi” pada tahun itu. Alangkah bersukacitanya saya bisa bertemu dengan begitu banyak saudara-saudari yang setia! Saya tidak akan pernah lupa ketika Frederick W. Franz, salah seorang anggota Badan Pimpinan, mengundang kami ke kamarnya. Bukunya banyak sekali sehingga saya bingung di mana ia menaruh tempat tidurnya! Saudara lain yang hebat dalam mempelajari Firman Allah adalah Ulysses Glass, salah satu instruktur Gilead kami. Ucapannya masih terngiang di telinga saya, ”Kunci menulis dan mengajar yang baik adalah akurat, singkat, dan jelas.”

Harus saya akui bahwa saya kecewa ketika mendengar bahwa saya ditugasi ke Guyana. Bagi saya, Guyana adalah rumah, bukan ladang asing. Akan tetapi, Saudara Glass dengan ramah mengajak saya berbicara secara pribadi dan membantu saya mengubah sudut pandangan saya. Ia mengingatkan bahwa mengikuti sekolah Gilead itu sendiri sudah merupakan hak istimewa yang besar dan bahwa saya kemungkinan besar akan dikirim ke bagian Guyana yang sebenarnya bisa dikatakan asing bagi saya. Ternyata benar, saya ditugasi ke Sidang Charity di Sungai Pomeroon. Pada waktu itu, hanya ada lima penyiar di Charity.

Saya dan rekan saya, Albert Talbot, tidak punya banyak pengalaman dalam mengarungi sungai, sehingga kami harus belajar caranya mengemudikan perahu kami. Kedengarannya mungkin mudah, tetapi prakteknya tidak. Jika kita tidak memperhatikan arus dan angin, kita tidak akan bergerak ke mana-mana atau hanya berputar-putar tanpa tujuan. Syukurlah, kami banyak dibantu, dan salah seorang guru terbaik kami adalah saudari setempat.

Selama sepuluh tahun, kami bergantung pada dayung dan otot untuk bepergian. Kemudian ada penduduk setempat yang menawarkan motornya kepada sidang, tetapi kami tidak punya cukup uang untuk membayarnya. Maka, dapat Saudara bayangkan alangkah gembiranya kami ketika kami menerima cek dari kantor cabang, khusus untuk keperluan itu. Rupanya, beberapa sidang telah mendengar tentang kebutuhan kami dan ingin membantu. Akhirnya, kami dapat membeli beberapa perahu lain, yang semuanya kami namai Kingdom Proclaimer dan diikuti nomor untuk membedakan.

Setelah bekerja bersama beberapa rekan perintis, saya bertemu dengan seseorang yang kelak menjadi rekan seumur hidup saya, Marshalind Johnson, seorang perintis istimewa yang ditugasi ke Sidang Mackenzie. Almarhum ayahnya, Eustace Johnson, cukup terkenal di Guyana, karena pernah melayani sebagai pengawas wilayah selama sepuluh tahun sebelum kematiannya. Saya dan Marshalind sekarang merintis biasa dan jumlah total dinas sepenuh waktu kami berdua adalah 72 tahun, termasuk 55 tahun sebagai perintis istimewa. Selama waktu itu, kami membesarkan enam anak.

Yehuwa juga telah memberkati upaya kami dalam pelayanan. Misalnya, pada awal tahun 1970-an, ketika memberikan kesaksian di sepanjang Sungai Pomeroon, kami bertemu dengan penjahit muda yang mau belajar Alkitab. Ternyata ia adalah pelajar yang baik. Kami menganjurkan dia untuk menghafalkan nama-nama buku dalam Alkitab. Bukan hanya semua nama yang ia hafalkan dalam satu minggu, melainkan nomor halamannya pun dapat ia sebutkan! Ia, istrinya, dan tujuh dari sembilan anak mereka telah masuk kebenaran sejak itu, dan ia melayani sebagai penatua bersama saya di Charity. Berkat seperti ini tidak akan pernah saya alami jika bukan karena teladan luar biasa dari para utusan injil mula-mula yang penuh semangat itu.

[Kotak/Gambar di hlm. 176-177]

Saya Belajar Firman Allah melalui Surat

Monica Fitzallen

Lahir: 1931

Baptis: 1974

Profil: Karena tinggal terpencil, ia belajar Alkitab selama dua tahun melalui surat dan mengabar kepada banyak orang Amerindian sesamanya. Walaupun kini buta, ia hafal ayat-ayat untuk dinas.

Saya tinggal di cagar budaya orang Amerindian yang disebut Waramuri; letaknya di tepi Sungai Moruka, di distrik barat laut Guyana. Pada awal tahun 1970-an, sewaktu saya mengenal kebenaran, sidang terdekat adalah Sidang Charity, di Sungai Pomeroon. Jauhnya 12 jam dengan kano.

Saya bertemu dengan Saksi-Saksi Yehuwa sewaktu berbelanja di Charity. Frederick McAlman menawarkan Menara Pengawal dan Sedarlah! Saya menerimanya, membawanya pulang, menaruhnya di lemari pakaian, dan tidak pernah menyentuhnya lagi selama dua tahun. Kemudian saya jatuh sakit, harus terbaring di ranjang cukup lama, dan merasa sangat tertekan. Ketika itulah saya ingat dengan majalah-majalah tersebut. Saya membacanya dan segera sadar bahwa inilah kebenaran.

Sekitar waktu itu, suami saya, Eugene, mulai mencari pekerjaan dan memutuskan untuk pindah ke arah hilir dekat Charity. Kesehatan saya telah membaik, jadi saya ikut bersamanya. Akan tetapi, alasan utama saya ikut adalah karena ingin bertemu dengan Saksi-Saksi Yehuwa. Saya tidak perlu mencari jauh-jauh; seorang wanita Saksi datang persis ke rumah tempat kami tinggal. ”Apakah kamu orangnya Menara Pengawal?” tanya saya. Ketika ia menjawab ya, saya bertanya tentang pria yang saya temui di pasar dua tahun sebelumnya. Ia langsung mencari Frederick McAlman, yang kebetulan sedang bekerja bersama sekelompok penyiar di daerah yang berdekatan.

Ketika keduanya kembali, Saudara McAlman mempertunjukkan caranya belajar Alkitab menggunakan buku Kebenaran yang Membimbing Kepada Hidup yang Kekal. Saya setuju untuk belajar. Karena saya dan Eugene harus pulang, saya meneruskan pelajaran melalui surat. Saya mempelajari dua buku dengan cara itu​—buku Kebenaran dan buku ”Things in Which It Is Impossible for God to Lie” (’Hal-Hal yang Tentangnya Allah Mustahil Berdusta’). Sewaktu mempelajari buku Kebenaran, saya secara resmi mengundurkan diri dari Gereja Anglikan dan menjadi penyiar belum terbaptis. Sang pendeta menulis surat kepada saya, demikian, ”Jangan dengarkan Saksi-Saksi Yehuwa. Pemahaman Alkitab mereka dangkal. Saya akan datang dan membahas masalah ini dengan Anda.” Tetapi ia tidak pernah datang.

Sebagai satu-satunya penyiar di cagar budaya ini, saya menceritakan pengetahuan baru saya kepada para tetangga. Saya juga memberikan kesaksian kepada suami saya, yang​—syukurlah—dibaptis satu tahun setelah saya. Sekarang, Eugene termasuk di antara 14 penyiar di sini.

Baru-baru ini, saya tidak bisa melihat lagi karena glaukoma dan katarak, jadi sekarang saya menghafalkan ayat-ayat yang digunakan dalam pelayanan. Meskipun demikian, saya bersyukur kepada Yehuwa bahwa saya masih dapat melayani Dia.

[Kotak/Gambar di hlm. 181-183]

Yehuwa Telah Mengabulkan ’Permohonan Hati Saya’

Ruby Smith

Lahir: 1959

Baptis: 1978

Profil: Ia adalah wanita Karib asli, yang berperan penting dalam pemberitaan kabar baik di Baramita, sebuah cagar budaya orang Amerindian di pedalaman Guyana.

Pertama kali saya mengenal Saksi-Saksi Yehuwa adalah pada tahun 1975. Saat itu saya berumur 16 tahun. Nenek menerima risalah dari cucu tirinya dan meminta saya menerjemahkannya untuk dia, karena dia tidak mengerti bahasa Inggris. Saya takjub dengan janji-janji Alkitab yang dibahas dalam risalah itu, maka saya mengisi kuponnya dan mengirimkannya ke kantor cabang. Pada waktu publikasi yang saya minta datang, saya mempelajarinya dan mulai menceritakan kebenaran Alkitab yang saya pelajari kepada orang lain, pertama-tama kepada nenek dan bibi saya. Sayang sekali, Ayah tidak menyetujui kegiatan saya ini.

Tidak lama kemudian, nenek dan bibi saya mulai memberikan kesaksian. Hasilnya, beberapa penduduk desa datang ke rumah kami untuk belajar lebih banyak tentang Alkitab. Sementara itu, semakin banyak yang saya baca, semakin saya menyadari bahwa saya perlu membuat perubahan dalam hidup agar dapat menyenangkan Yehuwa. Perubahan ini termasuk mengaku kepada Ayah bahwa saya pernah mencuri barang dari bengkelnya dan berbaikan dengan salah seorang adik lelaki saya. Setelah banyak berdoa, saya dapat melakukan kedua-duanya.

Sementara itu, kantor cabang mengatur agar seorang perintis istimewa, Sheik Bakhsh, mengunjungi daerah kami. Tetapi, Saudara Bakhsh tidak bisa tinggal lama, maka ia dan saudara lain, Eustace Smith, yang belakangan menjadi suami saya, mengajar saya melalui surat.

Pada tahun 1978, saya pergi ke Georgetown untuk menghadiri Kebaktian ”Iman yang Berkemenangan”. Setibanya di ibu kota, saya langsung pergi ke kantor cabang untuk memberi tahu bahwa saya ingin dibaptis. Mereka mengatur agar Albert Small membahas bersama saya pertanyaan-pertanyaan yang harus dibahas oleh para penatua bersama para calon baptis. Alangkah bahagianya saya bisa pulang ke Baramita sebagai hamba Yehuwa yang terbaptis!

Dengan penuh semangat, saya langsung sibuk dalam pekerjaan pengabaran. Banyak yang berminat, jadi saya meminta beberapa peminat untuk membangun sebuah tempat ibadat yang sederhana. Di sana, setiap hari Minggu, saya akan menerjemahkan Menara Pengawal bahasa Inggris ke dalam bahasa Karib. Akan tetapi, Ayah menentang kegiatan saya dan melarang saya keluar rumah pada hari Minggu. Maka, secara diam-diam saya merekam pembacaan artikel-artikel di kaset, dan kakak lelaki saya akan memutarnya di perhimpunan. Pada waktu itu, ada kira-kira 100 orang yang rutin hadir.

Tidak lama kemudian, keluarga kami pindah ke Georgetown karena urusan bisnis, dan Nenek pindah ke desa Matthews Ridge. Bibi saya tetap tinggal di Baramita tetapi tidak lagi memberitakan kabar baik kepada orang lain. Jadi untuk sementara, tidak ada kegiatan Kerajaan di sana.

Di Georgetown itulah saya baru bertemu muka dengan Eustace Smith, dan tidak lama kemudian, kami menikah. Meskipun Eustace tidak bisa berbahasa Karib, kami berdua ingin pergi ke Baramita untuk memupuk minat di sana. Pada tahun 1992, keinginan kami terwujud. Setibanya di sana, kami segera sibuk mengabar dan mengatur perhimpunan. Dalam waktu singkat, hadirinnya telah mencapai kira-kira 300 orang!

Kami juga mengadakan kursus baca-tulis setelah Pelajaran Menara Pengawal. Yolande, anak pertama kami, ikut membantu. Kala itu, ia berusia 11 tahun dan sudah menjadi penyiar belum terbaptis. Sekarang ini, ia dan anak kami yang satu lagi, Melissa, melayani sebagai perintis biasa.

Pada tahun 1993, Yehuwa memberkati Baramita dengan memberikan sebuah Balai Kerajaan. Ia juga memberi kami ”pemberian berupa manusia” yang bisa berbahasa Karib dan dapat mengambil pimpinan dalam sidang. (Ef. 4:8) Sejak tanggal 1 April 1996, kami menjadi Sidang Baramita. Saya juga bahagia bisa melaporkan bahwa ibu, nenek, dan hampir semua adik serta kakak saya termasuk di antara anggota-anggota sidang. Yehuwa benar-benar telah mengabulkan ’permohonan hati saya’.​—Mz. 37:4.

[Gambar]

Saya dan Eustace sekarang

[Daftar/Gambar di hlm. 148-149]

Guyana​—Lintas Sejarah

1900: Beberapa orang mulai membaca dan membahas Zion’s Watch Tower dan publikasi lain berdasarkan Alkitab.

1910

1912: E. J. Coward menyampaikan khotbah kepada ratusan orang di Georgetown dan New Amsterdam.

1913: Sebuah ruangan di Somerset House disewa sebagai tempat perhimpunan dan digunakan hingga tahun 1958.

1914: Kantor cabang yang pertama didirikan di Georgetown.

1917: Karena tekanan pemimpin agama, pemerintah melarang beberapa publikasi.

1922: Pelarangan dicabut. George Young berkunjung.

1940

1941: The Watchtower dan Consolation (sekarang Sedarlah!) dilarang.

1944: Semua publikasi Saksi-Saksi Yehuwa dilarang.

1946: Pelarangan dicabut pada bulan Juni. Para utusan injil pertama tiba dari Gilead.

1950-an: Film The New World Society in Action dipertunjukkan di seluruh Guyana.

1960: Cabang membeli properti di Georgetown. Bangunan yang ada digunakan sebagai kantor cabang dan juga rumah utusan injil.

1967: Angka 1.000 penyiar terlewati.

1970

1988: Kantor cabang baru, di properti yang lama, ditahbiskan.

1995: Rampungnya Balai Kerajaan pertama yang dibangun dengan cepat.

2000

2003: Cabang yang sekarang, di properti yang baru, ditahbiskan.

2004: 2.163 penyiar aktif di Guyana.

[Grafik]

(Lihat publikasinya)

Total Penyiar

Total Perintis

2.000

1.000

1910 1940 1970 2000

[Peta di hlm. 141]

(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)

GUYANA

Baramita

Lethem

Hackney

Charity

Henrietta

Suddie

GEORGETOWN

Mahaicony

New Amsterdam

Skeldon

Berbice

Orealla

Soesdyke

Yaruni

Wismar

Mackenzie

Bartica

Essequibo

Demerara

Berbice

Courantyne

VENEZUELA

BRASIL

SURINAME

[Gambar penuh di hlm. 134]

[Gambar di hlm. 137]

Evander J. Coward

[Gambar di hlm. 138]

Somerset House di Georgetown, Guyana, menjadi tempat perhimpunan dari tahun 1913 sampai 1958

[Gambar di hlm. 139]

George Young

[Gambar di hlm. 146]

Frederick Phillips, Nathan Knorr, dan William Tracy, 1946

[Gambar di hlm. 147]

Pada bulan Juni 1946, pengumuman ini dikeluarkan, yang secara resmi mengakhiri pelarangan atas lektur kita di Guyana

[Gambar di hlm. 152]

Nathan Knorr, Ruth Miller, Milton Henschel, Alice Tracy (dahulu Miller), dan Daisy serta John Hemmaway

[Gambar di hlm. 153]

John Ponting

[Gambar di hlm. 154]

Geraldine dan James Thompson melayani di Guyana selama 26 tahun

[Gambar di hlm. 168]

Kesaksian kelompok dengan perahu

[Gambar di hlm. 169]

Mengabar di sepanjang Sungai Moruka dengan ”Kingdom Proclaimer III”

[Gambar di hlm. 175]

Jerry dan Delma Murray

[Gambar di hlm. 178]

Frederick McAlman dan Eugene dan Monica Fitzallen menceritakan kabar baik kepada orang Amerindian yang memperbaiki kanonya

[Gambar di hlm. 184]

Kebaktian wilayah di Baramita, 2003

[Gambar di hlm. 185]

Banyak orang di distrik Baramita telah menyambut kebenaran Alkitab

[Gambar di hlm. 186]

Memberikan kesaksian dengan kano

[Gambar di hlm. 188]

Sherlock dan Juliet Pahalan

[Gambar di hlm. 191]

Guyana​—”surganya para perintis”

[Gambar di hlm. 194]

Balai Kerajaan di Orealla, Guyana

[Gambar di hlm. 197]

Kantor cabang yang dahulu di Jalan Brickdam No. 50, Georgetown, selesai pada tahun 1987

[Gambar di hlm. 199]

Panitia Cabang, dari kiri ke kanan: Edsel Hazel, Ricardo Hinds, dan Adin Sills

[Gambar di hlm. 201]

Kantor cabang Guyana yang baru dibangun

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan