Tahiti
Kalau dilihat dari atas, pulau-pulau di Polinesia Prancis, misalnya Tahiti, Mooréa, dan Bora Bora, tampak bagaikan permata yang bertaburan di hamparan luas Samudra Pasifik yang biru kehijau-hijauan. Laguna-lagunanya yang berkilauan, berhiaskan untaian koral, dan dihuni banyak ikan yang berwarna-warni itu dikelilingi oleh pantai berpasir kuning keemasan atau hitam keabu-abuan. Pohon-pohon palem yang digayuti kelapa bergoyang-goyang ditiup angin. Dan, daerah pedalamannya yang bergunung-gunung dan berbukit-bukit, yang berselimutkan tetumbuhan hijau dan bertopikan awan, menampilkan pemandangan yang memukau.
Sungguh tepat apabila para pelukis maupun penulis menggambarkan bahwa pulau-pulau ini bagaikan firdaus di bumi. Pulau-pulau ini juga tentu tampak seperti firdaus bagi para pelaut masa lampau yang pertama kali melihatnya mungkin ribuan tahun yang lalu dan tinggal di sana. Para pendahulu yang hebat ini, yang agaknya berasal dari Asia Tenggara, termasuk di antara leluhur bangsa yang kini kita kenal sebagai orang Polinesia. Selama berabad-abad yang silam, mereka menyebar dari pulau-pulau yang mereka huni dan berlayar ke ujung-ujung Samudra Pasifik yang luas, dan di sana mendiami banyak pulau serta atol, atau pulau karang di sekeliling laguna.
Wilayah yang sekarang disebut Polinesia, yang berarti ”Banyak Pulau”, terletak dalam segitiga yang berawal dari Hawaii di utara ke Pulau Paskah jauh di tenggara dan kemudian ke Selandia Baru jauh di barat daya. Laporan ini berfokus pada salah satu bagian Polinesia—Polinesia Prancis—dengan Tahiti sebagai pulau utamanya.a Polinesia Prancis terdiri dari lima kepulauan: Kepulauan Tubuaï (Austral), Kepulauan Gambier, Kepulauan Marquesas, Kepulauan Society, dan Kepulauan Tuamotu. Baru pada abad keenambelaslah para penjelajah Eropa tanpa sengaja menemukan kepulauan di Pasifik ini.
Datangnya Orang Eropa
Álvarode Mendaña de Neira dari Spanyol menemukan sebagian dari Kepulauan Marquesas pada tahun 1595. Pedro Fernandes de Queirós, yang tadinya adalah bawahan Mendaña de Neira, menemukan sebagian dari Kepulauan Tuamotu pada tahun 1606. Penjelajah Belanda Jacob Roggeveen menemukan Bora Bora, Makatéa, dan Maupiti pada tahun 1722. Pada tahun 1767, Kapten Samuel Wallis, dengan kapal perang Inggris Dolphin, berlabuh di Tahiti, pulau terbesar di Polinesia Prancis. Dan pada tahun berikutnya, pelaut Prancis, yaitu Kapten Louis-Antoine de Bougainville juga datang ke sana.
Karena terkesan oleh keindahan pulau itu dan takjub dengan kehidupan penduduknya yang penuh kasih sayang, Bougainville menamai Tahiti ”Nouvelle Cythère, seperti nama Pulau Kithira di Yunani, dan di daerah itulah konon Afrodit [dewi cinta dan kecantikan] muncul dari dalam laut”, kata buku Cook & Omai—The Cult of the South Seas. Penjelajah asal Inggris James Cook datang ke Tahiti sebanyak empat kali, dari tahun 1769 hingga tahun 1777. Dialah yang menamai Kepulauan Society, kepulauan yang mencakup Tahiti.
Setelah penjelajah, datanglah misionaris. Yang paling efektif adalah para misionaris yang diutus Lembaga Misionaris London, sebuah lembaga Protestan. Dua di antaranya, Henry Nott dan John Davies, menyelesaikan suatu tugas berat, yakni membuat bentuk tertulis bahasa Tahiti lalu menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa itu. Sampai hari ini, Alkitab bahasa Tahiti digunakan secara luas di Polinesia Prancis, terutama di banyak pulau yang didominasi oleh Gereja Protestan. Para misionaris Adven, Katolik, dan Mormon juga cukup berhasil. Misalnya, Gereja Katolik berpengaruh kuat di Kepulauan Marquesas, Gambier, dan Tuamotu di sebelah timur.
Bagaimana lima kepulauan itu menjadi wilayah Prancis? Mulai tahun 1880, Prancis menaklukkan kepulauan-kepulauan itu satu per satu, sehingga terbentuklah suatu koloni Prancis yang baru. Papeete di Tahiti dijadikan ibu kota, dan penduduk di daerah itu ditawari kewarganegaraan Prancis. Pada tahun 1946, Prancis menetapkan kepulauan-kepulauan tersebut sebagai wilayah seberang lautan, dan pada tahun 1957 wilayah itu secara resmi dinamai Polinesia Prancis.
Datangnya Berita Kerajaan
Saksi pertama yang datang ke Tahiti adalah Sydney Shepherd, yaitu pada tahun 1931. Selama dua tahun Sydney berlayar ke sejumlah pulau di Pasifik untuk memberikan kesaksian. Berikutnya adalah Frank Dewar dari Selandia Baru. Meskipun kedua saudara ini tidak bisa tinggal lama, mereka menempatkan banyak lektur. Bahkan, kira-kira dua puluh tahun kemudian, pengawas wilayah bernama Leonard (Len) Helberg, dari Australia, melaporkan, ”Saya sedang naik mobil bersama hamba sidang melintasi Papeete ketika ia berhenti untuk memberikan tumpangan kepada seseorang yang ia kenal dari daerah perbukitan—pria tua asal Amerika. Sewaktu pria itu tahu bahwa saya seorang Saksi, ia mengatakan, ’Oh, saya ingat ada teman kalian yang datang bertahun-tahun yang lalu dan memberi saya setumpuk buku karya Hakim Rutherford.’ Inilah salah satu bukti pekerjaan para perintis sebelum kami, Sydney Shepherd atau kalau tidak Frank Dewar.”
Para pemberita Kerajaan yang mula-mula memberikan kesaksian yang lebih saksama di Polinesia Prancis antara lain ialah Jean-Marie dan Jeanne Félix, sepasang suami istri yang belajar kebenaran di Algeria, yang pada waktu itu adalah koloni Prancis. Mereka dibaptis pada tahun 1953. Pada tahun 1955, ada undangan bagi para pemberita Kerajaan untuk melayani di tempat yang lebih membutuhkan, termasuk Polinesia Prancis. Suami istri Félix bersama putra mereka yang masih kecil, Jean-Marc, menyambut undangan itu dan pindah ke Tahiti pada tahun 1956. Tetapi Jean-Marie, seorang insinyur, tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Jadi, keluarga itu pergi 230 kilometer ke arah timur laut Tahiti ke Pulau Makatéa, di Kepulauan Tuamotu, dan di sana Jean-Marie mendapatkan pekerjaan di perusahaan fosfat.
Segera, suami istri itu mulai memberikan kesaksian kepada para tetangga mereka dan rekan sekerja Jean-Marie. Jeanne menulis, ”Penduduk pulau sangat merespek Alkitab, penuh perhatian terhadap berita Kerajaan, dan sangat rajin belajar Alkitab. Kami pun jadi bersemangat. Tetapi, pemimpin agama setempat membuat kami merasa tidak diterima. Mereka bahkan memperingatkan kawanan mereka bahwa ada ’nabi-nabi palsu’ di tengah-tengah mereka, dan melarang orang-orang berbicara dengan kami atau bahkan berjalan melewati rumah kami!”
Namun seraya waktu berlalu, kebanyakan orang berubah pandangan terhadap pasangan Kristen ini. Banyak penduduk pulau bahkan mulai merespek Jean-Marie dan Jeanne karena mereka tidak memandang rendah orang Polinesia, tidak seperti beberapa orang Eropa lain di Makatéa.
Tetapi, tetap dibutuhkan keberanian untuk terus mengabar karena direktur perusahaan fosfat itu dapat memecat pegawainya kapan saja. Selain itu, ada dua polisi militer di pulau itu yang kadang-kadang mendatangi keluarga Félix, mencari keterangan tentang kegiatan mereka. Lama-kelamaan, para petugas polisi Prancis ini menyadari bahwa Jean-Marie dan Jeanne bukanlah ancaman. Para polisi itu bahkan bersikap ramah.
Pelajar Alkitab pertama yang membuat kemajuan rohani yang bagus adalah Maui Piirai, orang Polinesia rekan sekerja Jean-Marie. Seraya kebenaran mencapai hatinya, Maui membuat perubahan besar dalam hidupnya. Misalnya, ia tidak merokok atau minum berlebihan lagi, dan ia menikahi wanita yang sudah hidup bersamanya selama 15 tahun. Maui dibaptis pada bulan Oktober 1958 dan menjadi orang Polinesia pertama di daerah itu yang membaktikan kehidupannya kepada Yehuwa. Tentu saja, ia juga menceritakan kabar baik kepada orang lain, dan hal ini membuat pemimpin agama marah. Seorang pendeta bahkan bersiasat agar Maui dipecat dari pekerjaannya. Tetapi rencana jahat itu gagal karena Maui adalah pekerja yang rajin dan bereputasi baik.
Orang kedua di Makatéa yang menyambut Firman Allah adalah Germaine Amaru, guru sekolah yang mengenal kebenaran melalui salah seorang muridnya, yaitu Jean-Marc, putra suami istri Félix. Walaupun baru berusia tujuh tahun, Jean-Marc membuat sang guru begitu terkesan dengan pengetahuan Alkitabnya sehingga sang guru memanggil orang tuanya. Mereka pun memulai pengajaran Alkitab dengan sang guru. Tetapi ceritanya belum selesai, sebab Germaine kemudian membantu temannya yang juga guru, yang bernama Monique Sage, dan suaminya, Roger, untuk mengenal Yehuwa.
Suami istri Félix dan Maui Piirai juga memulai pengajaran dengan Manuari Tefaatau, diaken muda dari gereja Protestan di Makatéa, dan temannya, Arai Terii. Pada mulanya, kedua pemuda ini masih pergi ke gereja dan menceritakan kepada sesama anggota jemaat kebenaran dari Alkitab tentang Tritunggal, api neraka, jiwa yang tidak berkematian, dan lain-lain. Dapat dibayangkan, hal ini cukup menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat Protestan. Namun, seperti orang-orang di Berea zaman dahulu, banyak orang yang tulus menyelidiki Alkitab mereka untuk mengetahui apakah hal-hal yang mereka dengar itu benar.—Kisah 17:10-12.
Tentu saja, hal ini membuat sang pendeta gereja itu tidak senang. Ia bahkan mengancam bahwa siapa pun yang terus belajar dengan Saksi-Saksi Yehuwa akan dikeluarkan dari gereja. Ada yang menyerah karena ancaman itu. Tetapi ada juga yang maju secara rohani dan meninggalkan gereja, misalnya Manuari dan Arai, serta istri Maui Piirai, yaitu Moea, dan Taina Rataro, yang akan diceritakan belakangan dalam laporan ini.
Mula-mula, kelompok penyiar dan pelajar Alkitab yang semakin banyak jumlahnya itu berhimpun di rumah keluarga Félix. Jean-Marie biasanya berkhotbah dalam bahasa Prancis dan Maui menerjemahkannya ke dalam bahasa Tahiti. Ketika keluarga Félix meninggalkan Makatéa pada tahun 1959, kelompok itu pindah ke rumah Maui, yang pada waktu itu telah menjadi saudara terbaptis. Bagaimana perasaan Jean-Marie dan Jeanne tentang pelayanan mereka di kepulauan tersebut? Jeanne, yang sekarang menjanda dan tinggal di Italia, berbicara mewakili almarhum suaminya juga, ”Kami sama sekali tidak menyesal. Malah, pelayanan kami di Makatéa merupakan kenangan terindah dalam kehidupan kami berdua.”
Kabar Baik Sampai di Tahiti
Pada tahun 1955, tepat sebelum keluarga Félix pergi ke Makatéa, Len Helberg ditugasi oleh kantor cabang Australia untuk memulai pekerjaan wilayah di Pasifik Selatan. Daerah tugasnya seluas jutaan kilometer persegi, dari Kaledonia Baru hingga Polinesia Prancis. Tetapi, penyiar yang tinggal di daerah yang luas ini tidak sampai 90 orang, dan tidak satu pun tinggal di Tahiti. Len mempunyai tiga tujuan utama: mengunjungi semua sidang dan kelompok setiap enam bulan; mengunjungi setiap penyiar dan peminat di tempat terpencil; dan membuka daerah baru dengan menggunakan, sebisa mungkin, film The New World Society in Action (Masyarakat Dunia Baru Sedang Beraksi).
Pada bulan Desember 1956, Len mendarat di Tahiti untuk pertama kalinya dan tinggal di sana selama dua bulan. Ia pernah belajar bahasa Prancis di sekolah tetapi sudah tidak begitu ingat lagi. Maka, ia pertama-tama mengerjakan daerah bisnis dengan harapan bisa menjumpai orang-orang yang berbahasa Inggris. Di sana, ia bertemu dengan salah satu orang terkaya di Tahiti. Pria itu mendengarkan dengan penuh minat dan mengundang Len untuk datang lagi. Pada Sabtu berikutnya, setelah makan siang bersama Len, pria itu mengundang Len ke rumahnya. Len diajaknya naik mobil yang dikemudikan seorang sopir. Len menulis, ”Kemudian, yang membuat saya terkejut, pada sore harinya, ia mengambil sebuah kerang spiral dan meniupnya. Ternyata, ini adalah tanda bagi semua pemuka desa untuk berkumpul di balai pertemuan di samping rumah pria itu.
”Belasan orang datang, termasuk kepala desa, kepala polisi, dan beberapa diaken gereja Protestan. Setelah memperkenalkan saya sebagai seorang wakil Saksi-Saksi Yehuwa, ’agama baru di kepulauan ini’, sang tuan rumah mengumumkan, ’Bapak Helberg sekarang akan menjawab semua pertanyaan Alkitab Anda.’ Saya berhasil menjawab semua pertanyaan yang diajukan.” Hal ini berlangsung setiap Sabtu selama dua bulan berikutnya. Meskipun pria kaya itu tidak pernah menerima kebenaran, ia mengatur agar Len dapat mempertunjukkan film The New World Society in Action di sebuah rumah sakit untuk penderita kusta, yang dihadiri lebih dari 120 orang.
Apakah ada yang menyambut berita Kerajaan? Saudara Helberg mengenang, ”Pada hari Natal tahun 1956, ketika mengabar dari rumah ke rumah di distrik Arue, saya bertemu dengan keluarga Micheli yang dengan antusias menerima berita Kerajaan.” Keluarga Micheli sudah mengenal Menara Pengawal dan Sedarlah! karena kerabatnya yang tinggal di Amerika Serikat telah mengatur agar mereka menerima kedua majalah itu secara teratur. Belakangan, anak perempuan keluarga Micheli, yaitu Irene dan suaminya masuk kebenaran. Len juga berhasil memulai pengajaran Alkitab dengan Tuan Garnier, yang mengajak para anggota keluarganya untuk menerima kebenaran. Pada waktu Sidang Papeete dibentuk pada tahun 1959, keluarga Micheli dan keluarga Garnier termasuk di antara para anggota pertamanya.
Pada tahun 1957 ketika Saudara Helberg pergi ke Gilead, cabang Australia meminta pengawas wilayah bernama Paul Evans dan istrinya, Frances, untuk mengunjungi Tahiti. Sekalipun kunjungan mereka di pulau itu hanya singkat, mereka menempatkan lebih dari 70 Alkitab dan buku serta memperoleh banyak langganan Menara Pengawal dan Sedarlah! Saudara Evans menulis, ”Beberapa orang di Tahiti kini memiliki pengetahuan Alkitab yang cukup baik dan begitu berminat sehingga mereka tidak sabar lagi untuk mulai mengabar di bawah bimbingan organisasi.” Apakah orang-orang baru ini mendapat dukungan dan bimbingan yang mereka butuhkan?
Seorang Saudari Asal Tahiti Pulang Kampung
Agnès, seorang wanita muda asal Tahiti, pergi ke Amerika Serikat pada tahun 1936 untuk menikah dengan Earl Schenck, seorang warga Amerika. Suami istri ini bertemu dengan Saksi-Saksi Yehuwa, menyambut kebenaran, dan dibaptis di San Diego, Kalifornia, pada tahun 1954. Pada tahun 1957, mereka serta teman mereka Clyde dan Ann Neill sedang duduk bersama di sebuah kebaktian distrik di Los Angeles sewaktu Nathan Knorr, dari kantor pusat sedunia, mengumumkan tempat-tempat yang membutuhkan lebih banyak pemberita Kerajaan. Tahiti adalah salah satunya.
”Agnès terlonjak dari kursinya dan menangis,” kata Saudara Neill. ”Saya pun menatap Agnès dan Earl serta mengatakan bahwa saya akan membantu sebisa-bisanya agar mereka dan putra mereka, yang berusia 11 tahun, dapat pergi ke Tahiti. Mendengar itu, Earl, yang memiliki keterbatasan fisik, juga mulai menangis. Ia pernah tinggal di Pasifik Selatan selama 17 tahun dan bekerja sebagai seniman dan penulis, dan ia ingin sekali kembali. Lagi pula, Agnès, istrinya masih berkewarganegaraan Prancis.”
Clyde melanjutkan, ”Setelah banyak berdoa, saya dan Ann memutuskan bahwa kami bersama tiga putra kami, yang berusia 12, 8, dan 3 tahun, akan pergi ke Tahiti. Sahabat kami, David dan Lynne Carano bersama putra mereka, David, Jr., memutuskan untuk ikut. Jadi, setelah menghadiri kebaktian internasional tahun 1958 di New York City, kami pun berlayar ke Tahiti.
”Kantor cabang Amerika Serikat telah memberi kami beberapa alamat peminat, maka segera setelah kami tiba, kami mulai mengunjungi mereka. Agnès, yang telah tiba sebelum kami, sudah mulai bekerja keras dalam pelayanan. Karena saya dan Ann tidak bisa berbahasa Prancis maupun Tahiti, sebisa mungkin kami mengajak Agnès sewaktu mengabar. Kalau sedang bekerja sendiri, kami akan membawa buku ’Karena Allah Itu Benar Adanya’ dalam bahasa Inggris dan Prancis, yang pada waktu itu digunakan sebagai alat bantu pelajaran.”
Sebagai hasil upaya ini dan juga pekerjaan awal yang telah dilakukan Saudara Helberg serta Saudara dan Saudari Evans, hanya dalam beberapa minggu, 17 orang mulai belajar Firman Allah. Clyde mengenang, ”Seorang pelajar yang tak terlupakan adalah mantan pendeta Protestan bernama Teratua Vaitape. Ia kehilangan pekerjaannya karena banyak bertanya tentang doktrin-doktrin gereja. Teratua tinggal bersama keluarganya di sebuah rumah kecil dengan satu kamar tanpa ledeng dan listrik. Ia memberi tahu saya bahwa ada lebih banyak yang ia pelajari tentang Alkitab selama beberapa minggu saja ia belajar dengan kami daripada yang ia pelajari selama empat tahun di seminari dan tujuh tahun sebagai pendeta.”
Clyde melanjutkan, ”Setelah beberapa minggu kami berada di pulau ini, ’radio kelapa’ [berita dari mulut ke mulut] mulai berkumandang, dan orang-orang mulai mendengar tentang kami. Ini bagus karena orang Tahiti ramah-tamah, dan mereka mengasihi Alkitab.”
Pada mulanya, kelompok kecil penyiar itu mengadakan perhimpunan di rumah keluarga Schenck. Hanya ada dua peminat yang hadir. ”Tetapi tidak lama kemudian,” kenang Saudara Neill, ”ada kira-kira 15 orang yang bergabung secara rutin. Seorang wanita yang belajar dengan kami pernah membantu Len Helberg sewaktu sepedanya rusak di depan rumahnya dua atau tiga tahun berselang. Len menempatkan beberapa lektur kepadanya, maka ia gembira sekali sewaktu tahu bahwa agama kami sama. Rumahnya jauh dari rumah kami, jadi apabila kami berkunjung, ia suka menghidangkan makan siang untuk kami—biasanya ikan segar dan lezat yang dimasak di atas drum besi.”
Sebelum keluarga Neill dan Carano pergi pada bulan Desember 1958, Clyde menyampaikan khotbah baptisan kedua yang pernah diberikan di Polinesia Prancis; yang pertama disampaikan di Makatéa pada bulan Oktober, pada waktu Maui Piirai dibaptis. Ada enam puluh orang yang hadir, dan delapan orang yang dibaptis. Yang dibaptis termasuk putra keluarga Neill, yaitu Steven, dan Auguste Temanaha, seorang Tahiti yang belakangan turut mendirikan sidang di Pulau Huahine.
Suatu Periode Penguatan
Atas permintaan cabang Fiji, John Hubler dan istrinya, Ellen, yang berasal dari Australia, pindah ke Tahiti pada tahun 1959 untuk membantu Sidang Papeete yang baru terbentuk. John melayani sebagai hamba sidang selama tujuh bulan, yaitu masa tinggal yang diperbolehkan bagi dia dan Ellen. Karena lahir di Swiss, John fasih berbahasa Prancis. Ellen juga bisa berbahasa Prancis karena pernah melayani bersama suaminya di Kaledonia Baru selama beberapa tahun. Suami istri Hubler memberikan pelatihan untuk mengabar dari rumah ke rumah, yang sangat dibutuhkan oleh para penyiar baru itu, karena selama ini kebanyakan hanya mengabar secara tidak resmi.
Pada tahun 1960, John dan Ellen mulai melakukan pekerjaan wilayah. Daerah mereka Polinesia Prancis, sehingga mereka dapat terus membantu para penyiar setempat. ”Kemudian, pada tahun 1961,” kata John, ”saya diundang untuk mengikuti Sekolah Gilead. Setelah lulus, saya ditugasi menjadi pengawas wilayah untuk semua pulau yang menggunakan bahasa Prancis di Pasifik.”
Balai Kerajaan Pertama
”Pada kunjungan kami yang kedua ke Tahiti,” kata Saudara Hubler, ”saya berkesempatan memulai pengajaran Alkitab dengan seorang mantan guru, Marcelle Anahoa. Pada waktu itu, kami sedang mati-matian mencari sebidang tanah untuk membangun Balai Kerajaan kami sendiri. Tetapi, ada dua kendala. Pertama, tampaknya tidak seorang pun mempunyai tanah untuk dijual; kedua, dana sidang sangat sedikit. Meskipun demikian, kami terus mencari, percaya akan bimbingan Yehuwa.
”Sewaktu sedang belajar dengan Marcelle, saya menceritakan situasi ini kepadanya. ’Ada yang ingin saya tunjukkan,’ katanya. Ia mengajak saya ke luar, dan sambil menunjuk ia mengatakan, ’Lihat tanah itu? Itu punya saya. Rencananya saya mau membangun rumah-rumah kontrakan, tetapi setelah belajar kebenaran, saya berubah pikiran. Saya akan menyumbangkan setengah dari tanah ini untuk Balai Kerajaan.’ Begitu mendengarnya, saya langsung berdoa dalam hati mengucapkan syukur yang dalam kepada Yehuwa.”
Segera setelah surat-suratnya diurus, Sidang Papeete membangun Balai Kerajaannya yang pertama, yang rampung pada tahun 1962. Itu adalah bangunan sederhana yang khas daerah itu dengan sisi-sisinya yang terbuka dan atapnya dari dedaunan. Namun, sayangnya, ayam-ayam tetangga senang sekali bertengger di kursi-kursi dan di kayu-kayu penopang atap. Karena itu, pada waktu saudara-saudara datang berhimpun, mereka akan menemukan telur dan hal-hal lain yang tak sedap dipandang yang ditinggalkan di lantai dan di atas perabotan oleh ’tamu-tamu bersayap’ itu. Meskipun demikian, balai ini terbukti memadai sampai saudara-saudara dapat mendirikan bangunan yang lebih besar dan lebih permanen.
Ketidakpastian Hukum Diselesaikan
Pada masa permulaan, saudara-saudara tidak merasa pasti sehubungan dengan status hukum Saksi-Saksi Yehuwa di Polinesia Prancis. Majalah Menara Pengawal dilarang di Prancis sejak tahun 1952, tetapi pekerjaan pengabaran tidak dilarang. Apakah hal tersebut berlaku juga di wilayah Prancis ini? Sementara itu, jumlah penyiar terus bertambah, sehingga Saksi-Saksi Yehuwa semakin diketahui umum. Malahan, pada suatu kesempatan menjelang akhir tahun 1959, polisi datang ke perhimpunan untuk melihat apa yang terjadi.
Oleh karena itu, saudara-saudara disarankan untuk membentuk sebuah badan hukum. Pendaftaran resmi akan menyingkirkan ketidakpastian dan melenyapkan kecurigaan. Alangkah gembiranya saudara-saudara ketika pada tanggal 2 April 1960 mereka menerima konfirmasi bahwa mereka telah terdaftar secara resmi sebagai Perkumpulan Saksi-Saksi Yehuwa!
Akan tetapi, Menara Pengawal masih dilarang di Prancis. Karena berpikir bahwa pelarangan itu juga berlaku di Polinesia Prancis, saudara-saudara menerima artikel-artikel Menara Pengawal dalam jurnal berjudul La Sentinelle (Sang Pengawal), yang dikirim dari Swiss. Sekali peristiwa, polisi memberi tahu Michel Gelas, yang pada waktu itu adalah presiden badan hukum, bahwa mereka tahu betul bahwa La Sentinelle adalah pengganti Menara Pengawal. Tetapi, polisi tidak menghalangi pengiriman majalah tersebut. Saudara-saudara baru tahu alasannya pada waktu pelarangan atas Menara Pengawal dicabut di Prancis pada tahun 1975.
Sewaktu pelarangan dicabut, saudara-saudara di Tahiti memohon izin agar Menara Pengawal bisa masuk ke sana. Pada waktu itu, terungkaplah bahwa pelarangan ini tidak pernah diberitakan dalam Official Journal of French Polynesia (Jurnal Resmi Polinesia Prancis). Jadi, Menara Pengawal dari dulu tidak pernah dilarang di Polinesia Prancis, dan hal ini mengejutkan banyak orang.
Di pihak lain, kalangan berwenang setempat ketat dalam soal mengeluarkan atau memperpanjang visa. Jadi, siapa pun yang bukan warga negara Prancis, misalnya Clyde dan Ann Neill, yang disebutkan di atas, biasanya hanya boleh tinggal selama beberapa bulan. Keluarga Hubler juga termasuk dalam kategori itu. Tetapi karena John juga anggota badan hukum, dan karena undang-undang Prancis mengizinkan satu orang asing menjadi anggota dewan, ia bisa memperoleh visa tanpa banyak kesulitan.
Hal ini membantu John dalam tugas wilayahnya. Misalnya, pada suatu hari, komisaris polisi memanggil John ke kantornya dan bertanya mengapa John sering sekali datang ke kepulauan ini. John menjelaskan bahwa sebagai anggota badan hukum, ia harus menghadiri rapat dewan. Sang komisaris puas dengan penjelasan itu. Tetapi, bukan kali itu saja John harus menghadap sang komisaris.
Sejak tahun 1963, banyak orang Polinesia, termasuk setidaknya seorang pendeta terkemuka, marah dengan adanya percobaan senjata nuklir di Pasifik. Ada orang murtad yang memancing di air keruh dengan mengadu kepada polisi bahwa Saudara Hubler adalah salah satu provokatornya, yang tentu saja tidak benar. Meskipun begitu, John dipanggil lagi menghadap sang komisaris. John tidak balik mengecam si penuduh, tetapi dengan ramah memberikan penjelasan berdasarkan Alkitab tentang kenetralan kita dan respek terhadap kalangan berwenang pemerintah. (Rm. 13:1) Ia juga memberikan beberapa lektur kepada sang komisaris. Akhirnya, pejabat ini mengambil kesimpulan yang benar bahwa rupanya ada orang yang berupaya menyusahkan Saksi-Saksi.
Akan tetapi, suami istri Hubler akhirnya tidak bisa lagi memperoleh visa. Maka, mereka kembali ke Australia dan meneruskan pekerjaan keliling sampai tahun 1993, sewaktu mereka berhenti karena kesehatan yang memburuk.
Selama berada di kepulauan Pasifik, suami istri Hubler menyaksikan beberapa orang membuat perubahan yang luar biasa dalam kehidupan mereka demi menyenangkan Yehuwa. Salah satunya adalah seorang wanita tua berusia 74 tahun dengan 14 anak, yang semuanya lahir di luar nikah. ”Kami biasa memanggilnya Mama Roro,” kata John. ”Setelah Mama Roro belajar kebenaran, ia menikah dengan pria yang selama ini hidup bersamanya dan mendaftarkan semua anaknya secara resmi, sekalipun ayah mereka berbeda-beda. Untuk memasukkan nama semua anaknya, sang kepala desa terpaksa menyambung dua formulir agar cukup panjang. Mama Roro berkeras bahwa segala sesuatunya harus dilakukan sesuai dengan cara Yehuwa.” Setelah dibaptis, saudari yang setia ini mulai merintis dan ternyata sangat terampil menempatkan majalah. Bersama penyiar-penyiar lainnya, ia bahkan pergi untuk mengabar di pulau-pulau yang terpencil.
Alkitab Bahasa Tahiti—Suatu Berkat
Pada tahun 1960-an, kebanyakan orang umumnya hanya bisa berbahasa Tahiti. Tetapi berkat para penerjemah bernama Nott dan Davies, Alkitab dapat tersedia dalam bahasa itu setelah tahun 1835.b Salah satu corak yang menonjol adalah digunakannya nama Allah dalam bahasa Tahiti, Iehova, di seluruh teksnya, termasuk dalam Kitab-Kitab Yunani Kristen.
Alkitab bahasa Tahiti ini, yang disebarkan secara luas ke seluruh kepulauan, telah membantu banyak orang memperoleh pengetahuan yang saksama tentang kebenaran. Salah seorang di antaranya adalah Taina Rataro. Taina, yang lahir pada tahun 1927, termasuk dalam kelompok pelajar Alkitab yang mula-mula di Makatéa. Namun, pada mulanya ia tidak bisa membaca ataupun menulis bahasa Tahiti, yang adalah bahasa ibunya. Tetapi ia rajin belajar dan membuat kemajuan bagus. Ia bahkan mendaftar dalam Sekolah Pelayanan Teokratis dan belakangan dilantik menjadi hamba pelayanan.
Elisabeth Avae, yang berusia 78 tahun, lahir di Pulau Rimatara yang terpencil di Kepulauan Tubuaï, sekitar 600 kilometer dari Tahiti. Pada tahun 1960-an, ia sama sekali tidak bisa berbahasa Prancis, tetapi ia bisa membaca dan menulis dalam bahasa Tahiti. Setelah menikah, ia dan suaminya pindah ke Papeete. Di sana, ia mengenal kebenaran Alkitab melalui putri sulungnya, Marguerite, yang sudah mulai berhimpun. Elisabeth juga mulai berhimpun bersama sembilan anaknya yang lain, walaupun ia ditentang keras oleh suaminya, yang suka melemparkan semua pakaiannya ke luar rumah sementara ia berhimpun.
Pada masa itu, perhimpunan diadakan dalam bahasa Prancis. Hanya ada beberapa bagian yang kadang-kadang diterjemahkan ke dalam bahasa Tahiti. Elisabeth memperoleh kekuatan rohani dari acara perhimpunan dengan ikut membaca Alkitabnya yang berbahasa Tahiti sewaktu ayat-ayat dikutip. Saudari yang mengajar dia menggunakan buku kecil ”This Good News of the Kingdom” (”Kabar Baik Kerajaan Ini”), menerjemahkannya secara lisan dari bahasa Prancis ke bahasa Tahiti dan Elisabeth membaca ayat-ayat dengan Alkitabnya sendiri. Sebagai hasilnya, ia membuat kemajuan yang bagus dan dibaptis pada tahun 1965. Ia pun selanjutnya mengajar orang-orang lain yang hanya bisa berbahasa Tahiti. Ia juga mengajar anak-anaknya, ada enam yang sudah dibaptis, dan cucu-cucunya yang beberapa ia besarkan sendiri.
Salah seorang cucunya, Diana Tautu, melayani di cabang Tahiti sebagai penerjemah selama 12 tahun terakhir. Diana mengatakan, ”Saya bersyukur kepada Nenek yang telah membantu saya mengenal baik bahasa Tahiti. Sekarang saya senang bisa memberikan sedikit sumbangsih untuk membantu orang lain menerima makanan rohani yang menyelamatkan kehidupan dalam bahasa asli mereka.”
Orang Tionghoa Mengenal Yehuwa
Pada tahun 1960-an, sekitar 10 persen penduduk Tahiti adalah orang Tionghoa. Orang Tionghoa pertama yang menerima kebenaran Alkitab adalah Clarisse Lygan, yang pada waktu itu masih remaja. Clarisse berasal dari keluarga miskin. Untuk membantu secara keuangan, ia bekerja duniawi setiap hari Rabu, karena sekolahnya libur. Ia bekerja pada keluarga Saksi. Dengan cara itulah Clarisse mengenal kebenaran dan, sekalipun ditentang keras oleh orang tuanya, ia dibaptis pada tahun 1962 ketika berusia 18 tahun.
Alexandre serta Arlette Ly Kwai dan Ky Sing Lygan juga termasuk orang-orang Tionghoa pertama yang melayani Yehuwa di Tahiti. Pada suatu hari, Alexandre, seorang sopir taksi, bertemu dengan Jim dan Charmian Walker, sepasang suami istri Saksi yang datang dari Selandia Baru pada tahun 1961 untuk membantu pekerjaan pengabaran. Alexandre mengutarakan keinginannya untuk belajar bahasa Inggris. Charmian mengatakan, ”Pada waktu itu saya sedang merintis. Jadi, Jim mengatakan kepada Alexandre bahwa saya dapat mengajar dia. Dia menerima tawaran itu. Kursusnya terdiri dari 30 menit pelajaran bahasa Inggris dan 30 menit pelajaran Alkitab, dengan buku Dari Firdaus Hilang Sampai Firdaus Dipulihkan.”
Sementara itu, adik laki-laki Alexandre yang bernama Ky Sing juga belajar kebenaran. Tetapi, pada waktu itu kedua pria tersebut baru saja menjadi Katolik dan sedang mengikuti semacam kursus tentang agama itu. Oleh karena itu, mau tidak mau mereka mulai melihat perbedaan antara ajaran Alkitab dan ajaran gereja. Pada akhir kursus, sang pastor bertanya di depan kelas, yang berisi kira-kira 100 orang, apakah ada pertanyaan yang ingin mereka ajukan. Alexandre mengangkat tangan dan meminta bukti dari Alkitab bahwa jiwa tidak berkematian. ”Saya tahu kenapa kamu menanyakan hal ini,” tukas si pastor. ”Kamu pasti belajar dengan Saksi-Saksi Yehuwa, ya?” Kemudian ia mencemooh pemuda itu di depan kelas.
Bagi Alexandre dan Ky Sing, kejadian ini membuktikan bahwa Gereja Katolik tidak memiliki kebenaran. Akhirnya, mereka dan istri mereka membaktikan diri kepada Yehuwa, dan belakangan, dua bersaudara ini dilantik menjadi penatua sidang. Alexandre bahkan pernah melayani sebagai anggota Panitia Cabang Tahiti. Setelah itu, ia dan istrinya pindah ke Raïatéa, satu pulau di Kepulauan Society, untuk mendukung pekerjaan Kerajaan dan kemudian ke Bora Bora, dan di sana Alexandre melayani dengan setia sampai ia meninggal.
Kehidupan yang Berubah Arah di Lautan
Antonio Lanza adalah teknisi di sebuah pabrik televisi di Milan, Italia. Pada tahun 1966, perusahaan itu meminta seorang sukarelawan untuk pergi ke Tahiti guna menangani layanan purna jual. Antonio menerima tugas itu, yang lamanya tiga tahun. Tetapi, rencananya ia tidak akan mengajak istrinya, Anna, dan kedua putra mereka yang masih kecil. Selama berminggu-minggu, Anna menangis, mencoba membujuk suaminya untuk berubah pikiran, namun tidak berhasil.
Perjalanan dengan kapal dari Marseilles, Prancis, ke Papeete membutuhkan waktu 30 hari. Antonio orangnya ramah dan suka mengobrol, tetapi hampir semua orang di kapal itu berbicara bahasa Prancis, sedangkan ia tidak bisa. Pada hari kedua, ia bertemu dengan dua suster Katolik, yang berkebangsaan Italia. Tetapi mereka sibuk dengan upacara harian mereka sehingga tidak mempunyai banyak waktu untuk mengobrol. Namun, mereka memberi tahu Antonio bahwa ada seorang wanita Prancis di kapal itu yang bisa berbahasa Italia. Wanita itu adalah Lilian Selam, seorang Saksi. Bersama anak-anaknya, Lilian sedang dalam perjalanan ke Tahiti untuk bergabung dengan suaminya, yang mendapatkan pekerjaan di sana.
Antonio menemui Lilian dan senang bercakap-cakap dengannya. Lilian kemudian memberinya publikasi Alkitab dalam bahasa Italia. Setelah itu, mereka sering mendiskusikan hal-hal rohani. Suatu kali, Lilian mengingatkan Antonio bahwa Antonio menempatkan diri dalam situasi yang berbahaya secara moral karena meninggalkan anak-istri selama tiga tahun sementara ia bekerja di Tahiti. Lilian juga memberitahukan pandangan Allah tentang kesucian perkawinan, dan memperlihatkan ayat-ayat seperti Efesus 5:28, 29 dan Markus 10:7-9.
Antonio memikirkan hal ini dan mulai menyesali keputusannya. Sewaktu di Panama, ia bahkan menulis surat kepada istrinya, menyatakan bahwa segera setelah ia punya uang, ia akan memboyong istri dan kedua anak mereka ke Tahiti. Kemudian ia menulis surat lagi, kali ini menyuruh Anna meminta Alkitab kepada pastor dan membawanya ke Tahiti. Apa pendapat sang pastor? Ia mengatakan kepada Anna bahwa suaminya pasti sudah gila karena mau membaca buku yang begitu sulit dimengerti.
Enam bulan setelah Antonio menjejakkan kaki di Tahiti, keluarganya bergabung dengannya. Sehari setelah ia tiba, Anna yang religius meminta Antonio mengajak keluarganya ke gereja untuk bersyukur kepada Allah karena telah mempertemukan mereka kembali. ”Oke,” kata Antonio, ”kita ke gereja.” Tetapi bukannya ke gereja Katolik, Antonio membawa keluarganya ke Balai Kerajaan! Tentu saja, Anna sangat terkejut. Meskipun begitu, ia menikmati acara dan bahkan setuju untuk belajar Alkitab. Siapa yang mengajar dia? Tidak lain dan tidak bukan ialah Lilian Selam, saudari yang memberikan kesaksian kepada Antonio di atas kapal.
Tiga tahun yang tadinya akan Antonio habiskan sendirian di Tahiti ternyata menjadi 35 tahun bersama seluruh keluarganya. Bukan itu saja, Antonio, Anna, dan putra-putra mereka yang kini sudah empat orang semuanya dipersatukan dalam ibadat sejati, dan Antonio melayani sebagai penatua sidang.
Keluarga-Keluarga Melayani di Tempat yang Lebih Membutuhkan
Seraya tahun-tahun berlalu, banyak saudara dan saudari telah pindah ke pulau-pulau terpencil untuk membantu di daerah yang lebih membutuhkan pemberita Kerajaan. Di antaranya ialah keluarga Mara, keluarga Haamarurai, dan keluarga Terii, juga Ato Lacour, yang keluarganya tidak dalam kebenaran. Keluarga Mara—Vaieretiai, Marie-Medeleine, dan lima anak—pindah dari Tahiti ke Raïatéa. Sepasang suami istri perintis istimewa yang melayani di sana telah dipindahtugaskan di tempat lain. Jadi, hanya ada dua saudari dan beberapa penyiar belum terbaptis yang tinggal di pulau itu.
Vaieretiai adalah seorang pemahat kayu, dan belakangan, pemahat koral, jadi ia dapat pindah tanpa harus berganti pekerjaan. Sebagai satu-satunya penatua, ia mengurus kelompok kecil di Raïatéa selama lima tahun sampai datangnya saudara-saudara lain yang memenuhi syarat. Keluarga Mara kemudian pindah ke Tahaa, dan mereka tinggal di sana selama empat tahun.
Secara materi, kehidupan di kedua pulau itu tidaklah mudah bagi keluarga Mara. ”Saya harus pergi ke Tahiti untuk menjual pahatan saya,” kata Vaieretiai. ”Kadang-kadang saya tidak punya uang untuk membayar pesawat. Kalau sudah begitu, saya biasanya memohon kepada pria yang mengawasi pesawat kecil itu guna memperbolehkan saya berutang tiket pergi, dengan janji bahwa saya akan melunasinya pada saat pulang. Ya, kadang-kadang keuangan kami terbatas, tapi tidak pernah sampai kehabisan.” Teladan Vaieretiai dan Marie-Medeleine dalam semangat rela berkorban berpengaruh baik pada diri anak perempuan mereka, Jeanne, yang kini sudah 26 tahun melayani dalam dinas sepenuh waktu dan menjadi anggota keluarga Betel Tahiti.
Pada tahun 1969, Ato Lacour pindah bersama keluarganya ke Pulau Rurutu di Kepulauan Tubuaï, setelah mengatur pemindahan pekerjaan ke sana. Dia baru tiga tahun dibaptis dan hanya dia yang mengenal kebenaran dalam keluarganya dan dialah satu-satunya penyiar di kepulauan itu. Hari pertama ia tiba, ia langsung pergi memberikan kesaksian. Dalam buku hariannya, ia menulis, ”Saya sudah mulai mengabar—sendirian. Rasanya sulit. Babilon Besar berakar kuat di sini.”
Akan tetapi, tidak lama kemudian orang-orang yang berminat mulai menyambut kabar baik, dan sebuah kelompok dibentuk. Pada mulanya, mereka berhimpun di ruang tamu di rumah keluarga Lacour. Kata Ato, ”Karena kami adalah anggota agama baru di pulau itu, kelompok kami dijuluki ’agama Lacour’. Tetapi Yehuwa terus ’menumbuhkannya’, dan kelompok kami pun menjadi sidang pada tahun 1976.” (1 Kor. 3:6) Sebelum Saudara Lacour meninggal pada tahun 2000, beberapa anggota keluarganya, termasuk istrinya, Perena, telah bergabung ke dalam ibadat sejati.
Rudolphe dan Narcisse Haamarurai pindah ke Bora Bora. Rudolphe mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai penyelia di perusahaan listrik regional di Tahiti, dan di Bora Bora ia mendapat pekerjaan memetik kelapa dan membuat kopra. Selama dua tahun ia tidak memperoleh pekerjaan lain. Tetapi, Yehuwa memberkati dia dan istrinya dengan limpah karena akhirnya mereka menyaksikan sebuah sidang dibentuk di pulau itu! Selama lebih dari 25 tahun, sidang itu berhimpun di rumah keluarga Haamarurai. Kemudian, pada tahun 2000, mereka pindah ke Balai Kerajaan mereka sendiri yang baru, persis di dekat laguna yang indah di Bora Bora.
Taaroa dan Catherine Terii, bersama 7 dari 15 anak yang masih mereka urus, pindah ke Pulau Maupiti yang kecil, yang juga ada di Kepulauan Society. Pada waktu keluarga Terii tiba pada tahun 1977, hanya merekalah penyiar di Maupiti. Mereka tinggal di sebuah motu, pulau kecil yang rimbun di pinggiran laguna. Makanan mereka kebanyakan adalah ikan dan kelapa parut. Keluarga itu juga mengumpulkan kerang-kerangan yang dapat dimakan, yang mereka jual. Untuk pergi berdinas, keluarga Terii harus berjalan menyeberangi laguna ke pulau utama, sambil berhati-hati agar tidak menginjak ikan yang mempunyai duri beracun.
Pada tahun 1980, Taaroa dan Catherine ditugasi ke Bora Bora, kali ini sebagai perintis istimewa. Setelah 5 tahun merintis istimewa, mereka menjadi perintis biasa selama 15 tahun. Seperti yang akan segera kita lihat, di antara pelajar-pelajar Alkitab mereka yang mula-mula, ada sepasang suami istri yang bertekun menahan banyak tentangan demi kabar baik.
Bayi-Bayi Rohani Mendapat Ujian
Dari orang-orang yang belajar Alkitab bersama keluarga Terii, yang mula-mula menerima kebenaran antara lain adalah Edmond (Apo) dan Vahinerii Rai. Suami istri Rai ini tinggal di rumah milik ibunya Edmond. Setelah mereka belajar selama kira-kira enam bulan, ibu Edmond, karena dipengaruhi pastornya, mengusir mereka dari rumah itu. Edmond, Vahinerii, serta putra mereka yang baru berusia dua tahun terpaksa tinggal di sebuah gubuk di hutan. Pastor itu juga membujuk majikan Edmond untuk memecat dia—bahkan sampai memberi tahu orang-orang lain agar tidak menerima Edmond bekerja! Selama delapan bulan, keluarga kecil ini bertahan hidup sebagian besar dari menangkap ikan.
Lalu pada suatu hari, seorang wanita yang ingin membangun rumah menghubungi bekas majikan Edmond. Wanita ini sangat mengagumi keterampilan Edmond dan ingin agar dialah yang mengerjakan rumahnya. Sewaktu tahu bahwa Edmond telah dipecat karena bergabung dengan Saksi-Saksi Yehuwa, wanita ini memberi tahu sang kontraktor bahwa pekerjaan itu akan diberikan kepadanya hanya jika Edmond bekerja lagi untuknya. Maka, Edmond pun mendapatkan kembali pekerjaannya. Sementara itu, sikap ibunya telah melunak dan ia mengundang Edmond dan Vahinerii untuk kembali ke rumahnya. Sekarang, Edmond melayani sebagai penatua di Sidang Bora Bora.
Kabar Baik Berakar di Huahine
Salah seorang dari kelompok pelajar Alkitab yang mula-mula dibaptis di Tahiti pada tahun 1958 adalah Auguste Temanaha. Setelah dibaptis, Auguste pindah ke Amerika Serikat, dan kembali ke Tahiti pada akhir tahun 1960-an bersama istrinya, Stella, dan ketiga anak mereka. Di Tahiti, ia menjalankan bisnis yang sukses. Pada tahun 1971, setelah dianjurkan oleh seorang pengawas wilayah dan oleh teladan keluarga Mara yang disebutkan sebelumnya, keluarga Temanaha menjual bisnis mereka dan pindah ke Pulau Huahine, sekitar 160 kilometer dari Tahiti.
Pada waktu itu, seorang saudari dan beberapa peminat tinggal di pulau itu. Kontak mereka dengan organisasi Yehuwa hanyalah sewaktu para perintis dan pengawas wilayah sekali-sekali mengunjungi mereka. Maka, mereka sungguh gembira ketika keluarga Temanaha datang. Auguste segera menyelenggarakan perhimpunan, yang diadakan di dapur rumah mereka. Ada kira-kira 20 orang yang hadir.
Pada awalnya, Auguste tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Meskipun demikian, ia dan keluarganya terus sibuk dalam pelayanan, karena percaya bahwa Yehuwa akan memenuhi kebutuhan mereka. Dan, memang demikian. Misalnya, pada waktu keluarga Temanaha pergi mengabar, Auguste biasa memarkir mobilnya di daerah dinas. Ketika kembali ke mobil, tahu-tahu mobil mereka penuh makanan. Siapa yang menaruhnya, mereka tidak tahu. Dugaan mereka, ada orang-orang baik hati di daerah itu yang mengetahui keadaan mereka. Hal ini terus terjadi selama beberapa minggu sampai kondisi keuangan keluarga itu membaik.
Mengingat kegairahan serta ketekunan keluarga Temanaha dan orang-orang lain seperti mereka, dan juga sifat penduduk pulau yang pada dasarnya baik, tidaklah mengherankan bahwa di Huahine sekarang ada sebuah sidang yang berkembang pesat. Bahkan, di pulau ini ada 1 penyiar untuk setiap 53 penduduk. Dan pada tahun-tahun belakangan ini, 1 dari setiap 12 orang menghadiri Peringatan!
Banyak keluarga Saksi lain memperlihatkan semangat rela berkorban yang sama. Misalnya, mulai tahun 1988, Jean-Paul dan Christiane Lassalle melayani selama dua tahun di Kepulauan Marquesas. Jean-Paul pernah menjadi anggota dewan direksi Kantor Jaminan Sosial di Tahiti tetapi mengundurkan diri dari pekerjaan bergengsi itu agar dapat meluaskan pelayanannya. Pada tahun 1994, suami istri Lassalle pindah lagi, kali ini ke Rangiroa di Kepulauan Tuamotu, dan mereka tinggal di sana selama tiga tahun. Sekarang, Jean-Paul masih melayani dengan setia di Prancis.
Baru-baru ini, Colson Deane, setelah pensiun dari pekerjaan sebagai wakil kepala penjara di Tahiti, pindah bersama istrinya, Lina, ke Pulau Tubuaï di Kepulauan Tubuaï. Keduanya merintis dan memberikan sumbangsih yang berharga bagi sidang kecil di pulau itu, yang berada di daerah yang masih sangat membutuhkan para penatua.
Keluarga-Keluarga Prancis Datang Membantu
Beberapa keluarga datang jauh-jauh dari Prancis untuk membantu pekerjaan pengabaran. Contohnya keluarga Sicari—Francis, Jeannette, dan dua anak perempuan mereka, yang berusia enam dan sembilan tahun. ”Kami telah menunggu-nunggu kesempatan untuk meluaskan pelayanan,” kata Francis. ”Lalu kami membaca di 1971 Yearbook of Jehovah’s Witnesses undangan bagi para penyiar untuk melayani di Pasifik Selatan.” Walaupun beberapa teman dan kerabat berupaya mengurungkan niat keluarga Sicari, mereka menerima tantangan ini dan tiba di Papeete pada bulan April 1972.
Karena Francis seorang penatua, kedatangannya memungkinkan dibentuknya sidang kedua di Tahiti, di kota Punaauia. Bersama Jean-Pierre Francine, yang pada waktu itu adalah pengawas umum di sidang lain, Francis mendapat hak istimewa untuk melayani sebagai anggota Panitia Cabang pertama di Tahiti sewaktu pengaturan ini dibuat pada tahun 1976. Ia melayani dalam kapasitas itu selama 12 tahun.
Apakah kekhawatiran teman dan kerabat keluarga Sicari beralasan? ”Berbeda dengan apa yang dikatakan orang, kepindahan kami berpengaruh positif pada diri kedua putri kami,” kata Francis. ”Malah, kalau dijumlah, kami berempat sekarang telah menggunakan 105 tahun dalam dinas sepenuh waktu dan menikmati banyak berkat, persis seperti yang Yehuwa janjikan.”—Mal. 3:10.
Pada tahun 1981 dalam Pelayanan Kerajaan, cabang Prancis mengumumkan bahwa dibutuhkan penatua di Pulau Mooréa, sekitar 30 menit dari Papeete dengan feri. Dua pasang suami istri menyambut undangan itu; salah satunya adalah Alain dan Eileen Raffaelli. Mereka membantu mendirikan sidang di Mooréa, dan melayani selama delapan tahun di sana. Alain juga melayani sebagai anggota Panitia Cabang dari tahun 1987 hingga tahun 1994.
Pada tahun 1997, cabang Prancis mengundang saudara-saudara yang telah pensiun untuk pindah ke pulau-pulau terpencil dan tinggal selama dua tahun atau lebih guna membantu daerah yang sangat membutuhkan penatua. Gérard Balza, koordinator Panitia Cabang Tahiti, mengatakan, ”Tadinya, kami kira hanya dua atau tiga pasangan yang akan menyambut. Tidak tahunya ada 11 pasangan yang merelakan diri! Dua pasangan bahkan memutuskan untuk menetap di sini. Berkat kematangan rohani serta pengalaman mereka, saudara-saudari ini memberikan bantuan besar bagi para penyiar kami. Sekalipun bukan utusan injil, mereka telah mencicipi kehidupan utusan injil dan tantangan tinggal di pulau terpencil.”
Didirikannya Kantor Cabang
Dengan berkembangnya pekerjaan di Pasifik, cara mengorganisasi pun perlu disesuaikan. Australia mengawasi pekerjaan di Polinesia Prancis hingga tahun 1958, yang kemudian diambil alih oleh Fiji, yang jaraknya jauh lebih dekat. Perubahan lain terjadi pada tahun 1975 sewaktu Nathan Knorr dan Frederick W. Franz dari kantor pusat sedunia mengunjungi Tahiti. Mereka menyampaikan khotbah yang membesarkan hati kepada lebih dari 700 hadirin, dan Saudara Knorr memberikan pertunjukan slide kepada kira-kira 500 orang di salah satu Balai Kerajaan.
Setelah acara, Saudara Knorr mengadakan rapat penatua dan mengusulkan dibukanya kantor cabang di Tahiti. Saudara-saudara sangat senang mendengarnya. Alain Jamet, pengawas wilayah yang bisa berbahasa Inggris, dilantik menjadi pengawas cabang. Kantor cabang Tahiti mulai beroperasi pada tanggal 1 April tahun itu, dan penyelenggaraan baru ini ternyata menjadi langkah yang tepat ke arah kemajuan. Memang, Fiji lebih dekat daripada Australia, tetapi tetap ada halangan bahasa. Akan tetapi, saudara-saudara di Polinesia Prancis kini dapat berkomunikasi langsung melalui kantor cabang mereka sendiri.
Karena di seluruh negeri hanya ada kurang dari 300 penyiar, kantor cabangnya kecil. Sebenarnya, kantor ini hanyalah sebuah ruangan di samping Balai Kerajaan Papeete. Isinya cuma sebuah meja dan persediaan lektur. Pada mulanya, pekerjaan pengawas cabang cukup dilakukan penggal waktu, sehingga Alain dan istrinya, Mary-Ann, bisa meneruskan pekerjaan wilayah dan juga mengabar di pulau-pulau terpencil yang tidak ada penyiarnya.
Pengabaran di Kepulauan Tuamotu dan Gambier
Dengan didirikannya kantor cabang Tahiti, perhatian lebih dipusatkan untuk memberitakan kabar baik di pulau-pulau terpencil. Misalnya, saudara-saudara membentuk beberapa kelompok untuk pergi ke pulau-pulau tersebut. Axel Chang, yang pernah melayani sebentar sebagai anggota Panitia Cabang, ingat ketika 20 saudara-saudari mencarter pesawat dan terbang ke Rangiroa, atol terbesar di Kepulauan Tuamotu. Ia mengatakan, ”Setelah memberikan kesaksian kepada setiap orang di sana, kami mempersiapkan acara khotbah umum. Kepala desa mengizinkan kami menggunakan sebuah lapangan beratap. Pada mulanya, kami kira hanya kami saja hadirinnya. ’Mungkin orang takut kepada pemimpin agama mereka,’ pikir kami. Tetapi kemudian, seraya khotbah disampaikan, orang-orang mulai berdatangan, dan lama kelamaan tempat itu pun penuh.”
Saudara Chang melanjutkan, ”Selama khotbah, kami melihat seorang pastor Katolik mengayuh sepedanya kuat-kuat menuju tempat pertemuan kami. Tetapi, ketika sudah dekat, ia melambat dan berupaya melihat kalau-kalau ada anggota gerejanya yang hadir. Ini dilakukannya berkali-kali, sehingga kami merasa geli juga.”
Alain Raffaelli mengatur sebuah tur pengabaran ke Kepulauan Gambier pada tahun 1988. Kepulauan yang didominasi agama Katolik ini berjarak 1.600 kilometer lebih dari Tahiti, dan adalah kepulauan paling kecil dan paling terpencil di Polinesia Prancis. Baru satu kali kesaksian diberikan di kepulauan itu, yaitu pada tahun 1979, ketika Alain Jamet tinggal selama tiga hari di sana.
Pertama-tama, saudara-saudara menemui kepala desa untuk menjelaskan kegiatan mereka dan menanyakan tempat yang dapat mereka gunakan untuk mengadakan Perhimpunan Umum. Ia menawarkan sebuah gedung perkawinan tetapi ia meminta maaf karena tidak bisa menemani saudara-saudara untuk mengundang orang-orang, karena ia sedang sibuk dalam kampanye pemilihan umum. Tentu saja, saudara-saudara tidak berkeberatan. Ada 30 orang yang mendengarkan khotbah tersebut, termasuk sang kepala desa dan polisi setempat.
Dalam khotbah umum tentang keadaan orang mati itu, Alain menyebutkan bahwa menurut Alkitab, neraka adalah kuburan dan bahwa Kristus sendiri pernah masuk ke sana. ”Tidak mungkin Yesus masuk neraka!” tukas seseorang yang hadir. Alain kemudian mengutip isi Pengakuan Iman Rasuli, yang mengatakan bahwa Kristus ”turun ke Neraka”. Jawaban ini membuat hadirin terpukau, karena sejenak mereka sadar bahwa mereka telah mengulang-ulangi frasa itu selama bertahun-tahun tanpa benar-benar memikirkannya. Satu keluarga yang menghadiri perhimpunan itu sekarang berada dalam kebenaran.
Para pengawas wilayah sering memanfaatkan minggu-minggu di antara kunjungan ke sidang-sidang untuk merintis di tempat yang tidak ada penyiarnya. Itulah yang dilakukan Mauri dan Mélanie Mercier, sepasang suami istri asal Tahiti. Merekalah yang pertama kali memberitakan kabar baik di sejumlah atol di Kepulauan Tuamotu, yakni Ahe, Anaa, Hao, Manihi, Takapoto, dan Takaroa. Jika mungkin, Mauri juga akan menyampaikan khotbah umum atau pertunjukan slide. ”Penduduk pulau ramah-ramah,” kenangnya, ”kecuali di Anaa, sebuah kubu Katolik. Selama pertunjukan slide, beberapa orang mulai berteriak, dan yang lain mau memukuli kami. Akan tetapi, untunglah kami akhirnya berhasil menenangkan mereka.”
Para Utusan Injil Datang
Mulai tahun 1978, sejumlah utusan injil diutus dari Prancis ke pulau-pulau yang lebih terpencil. Michel dan Babette Muller tiba pada bulan Agustus 1978 dan ditugasi ke Nuku Hiva, pulau yang terbesar dan paling banyak penduduknya di Kepulauan Marquesas. Saudara-saudara sekali-sekali datang ke kepulauan yang didominasi agama Katolik ini, tetapi tidak ada yang bisa tinggal cukup lama. Karena tidak ada jalan raya, Michel dan Babette harus berjalan kaki atau naik kuda. Penduduk setempat sering memberi mereka tempat bermalam. Malah, mereka pernah tidur di atas hamparan biji kopi yang sedang dikeringkan!
Suami istri Muller tinggal di Kepulauan Marquesas selama 18 bulan sebelum memulai pekerjaan wilayah. Banyak yang menghargai kunjungan mereka dan menerima lektur. Bahkan, dalam satu tahun mereka berdua menempatkan seribu Buku Cerita Alkitab! Sebagai hasil dari upaya para utusan injil yang bagus itu, dan juga upaya para perintis dan penyiar pada umumnya, pekerjaan di Kepulauan Marquesas dan juga di seluruh negeri berkembang pesat. Bahkan laporan menunjukkan dicapainya 69 kali puncak penyiar berturut-turut!
Tentu saja, semua orang baru ini membutuhkan pelatihan. Tetapi tidak selalu ada cukup banyak saudara yang berpengalaman untuk membantu mereka secara pribadi. Suami istri Muller mengatasi kesulitan ini dengan mengabar bersama dua penyiar baru sekaligus. Jika Michel atau Babette masuk ke sebuah rumah dengan penyiar yang satu, penyiar yang lain menunggu gilirannya di pinggir jalan. Suami istri Muller kini melayani sebagai utusan injil di Benin, Afrika.
’Mengabar Menguji Pengetahuan Alkitab Kami’
Utusan injil Christian dan Juliette Belotti tiba di Polinesia Prancis pada bulan Februari 1982. Mula-mula, mereka melayani dalam pekerjaan wilayah, kemudian selama lima tahun, mereka merintis di Pulau Raïatéa, yang beberapa bagiannya cuma dapat dicapai dengan perahu bercadik. Tetapi mengabar di sana tidak hanya menguji keterampilan mendayung; ”pengetahuan Alkitab kami juga diuji”, demikian kata Christian. ”Kami sering mendapatkan pertanyaan seperti: Bagaimana kaum terurap tahu bahwa mereka akan pergi ke surga? atau Apa yang dilambangkan oleh binatang-binatang di buku Penyingkapan?”
Seperti halnya di kebanyakan masyarakat kecil, penduduk Raïatéa saling mengenal. ”Jadi, apabila seorang penyiar menjadi tidak aktif,” kata Christian, ”bukanlah hal yang aneh kalau seorang penghuni rumah berkata, ’Sudah lama si Anu tidak kelihatan. Dia sudah lemah, ya?’ Atau ’Si Anu harus dibantu, tuh. Pasti kerohaniannya sedang tidak beres!’” Pada waktu suami istri Belotti meninggalkan Raïatéa, di hampir semua fare (”rumah” dalam bahasa Tahiti), ada yang pernah belajar dengan Saksi-Saksi Yehuwa.
Dari pangkalan mereka di Raïatéa, suami istri Belotti juga pergi ke Pulau Maupiti. Pada suatu kesempatan, mereka mengatur agar buku-buku dikirim langsung ke pulau itu. Tetapi pengirimannya ternyata terlambat. Namun, Christian dan Juliette tidak gentar; mereka menggunakan buku-buku milik mereka untuk diperlihatkan kepada orang-orang. Hampir 30 keluarga memesan, karena yakin bahwa buku-buku itu akan datang. Seorang peminat bahkan berbaik hati membagikan buku-buku itu ketika pengiriman tersebut akhirnya tiba.
Suami istri Belotti berikutnya ditugasi ke Rangiroa di Kepulauan Tuamotu, dan belum ada Saksi di sana kecuali mereka. Belakangan mereka dipindahtugaskan ke Guyana Prancis dan akhirnya ke Republik Demokratik Kongo, dan Saudara Belotti melayani sebagai anggota Panitia Cabang di sana.
”Yehuwa Akan Melatihmu”
Frédéric dan Urminda Lucas tiba dari Prancis pada bulan April 1985 dan ditugasi ke Pulau Tahaa, yang hanya memiliki tiga penyiar. Dua minggu pertama adalah masa yang sulit bagi pasangan muda ini. Mereka mengadakan perhimpunan di ruang tamu mereka dan hanya mereka hadirinnya. Ketika menyanyikan lagu Kerajaan, mereka menangis; tetapi mereka tidak menyerah pada perasaan kecil hati.
Tidak ada listrik ataupun fasilitas telepon di pulau itu. Namun, Frédéric dan Urminda memiliki walkie-talkie, yang mereka gunakan untuk berkomunikasi dengan para utusan injil di Raïatéa yang berdekatan—itu pun kalau bisa! Mereka juga memiliki sebuah kulkas kecil yang disambungkan ke generator kepunyaan tetangga. ”Biasanya,” kata Frédéric, ”generator dinyalakan dari pukul 18.00 sampai pukul 22.00. Sekali waktu, ketika kami pulang, semua tomat kami sudah beku seperti batu. Rupanya tetangga kami mau menonton pertandingan olahraga di televisi sehingga ia menyalakan generatornya jauh lebih awal.”
Suami istri Lucas juga mempelajari bahasa Tahiti. Siapa pun yang mempelajari bahasa baru pada umumnya mengalami saat-saat yang memalukan. Sebagai contoh, sewaktu mengabar dari rumah ke rumah, Frédéric bermaksud mengatakan ”roh kudus”—varua mo’a. Tetapi karena belum bisa mengucapkan mo’a dengan benar karena cukup sulit, yang ia katakan malah ”roh ayam”.
Pada waktu pasangan ini tiba di Tahaa, Frédéric adalah hamba pelayanan yang baru berusia 23 tahun. Ia mengutarakan perasaannya kepada Alain Jamet, koordinator Panitia Cabang pada waktu itu, bahwa ia merasa kurang memenuhi syarat untuk memikul tanggung jawab yang diberikan kepadanya. ”Jangan khawatir,” kata Alain, ”Yehuwa akan melatihmu!” Dan, memang benar. Lima tahun kemudian ketika suami istri Lucas pindah ke daerah tugas mereka yang berikutnya, yaitu Burkina Faso, kelompok kecil di Tahaa telah menjadi sidang dengan 14 penyiar dan memiliki Balai Kerajaan mereka sendiri, dan Frédéric melayani sebagai penatua.
Alangkah gembiranya pasangan ini karena sejak awal mereka tidak menyerah pada perasaan kecil hati! ”Itulah tahun-tahun terbaik dari masa muda kami,” kata mereka belum lama ini. ”Kami belajar untuk sabar dan sepenuhnya mempercayai Yehuwa dan bukannya kesanggupan kami sendiri. Sewaktu semangat kami menurun, doa menyegarkan kami. Kami menjadikan Yehuwa tempat perlindungan kami, dan Ia tidak pernah mengecewakan kami. Ya, Ia benar-benar melatih kami.”
Para Utusan Injil Lajang Menerima Tugas yang Sulit
Para utusan injil lajang dari Prancis juga pergi ke Polinesia Prancis untuk membantu. Yang paling awal datang adalah Georges Bourgeonnier dan Marc Montet. Keduanya melayani di kantor cabang dan dalam pekerjaan wilayah. Wilayah Marc mencakup Kepulauan Tubuaï, Gambier, Marquesas, dan Tuamotu. Di beberapa atol, adakalanya ia mengabar sendirian dan adakalanya bekerja sama dengan perintis istimewa setempat. Jika memungkinkan, ia memberikan khotbah umum, dan di beberapa pulau hampir seluruh penduduk hadir untuk mendengarkan. Setelah menikah, Marc meneruskan pekerjaan keliling selama beberapa waktu. Kini, ia dan istrinya, Jessica, ada di Sidang Bora Bora, dan Marc melayani sebagai penatua dan perintis di sana.
Pada bulan Februari 1986, Philippe Couzinet dan Patrick Lemassif tiba dari Prancis. Mereka ditugasi ke Kepulauan Marquesas. Tidak seperti kepulauan lain di Polinesia Prancis, Kepulauan Marquesas tidak dilindungi oleh terumbu-terumbu karang. Ombak menerjang tebing-tebing tinggi di kepulauan ini, yang berdiri tegak di pinggir Lautan Pasifik yang biru kehijau-hijauan. Di antara perbukitannya yang terjal terhampar lembah-lembah sempit yang subur dengan sungai dan air terjunnya—tempat tinggal yang sangat cocok bagi kambing, kuda, dan lembu-sapi liar yang berkeliaran di kepulauan itu.
Selama bertahun-tahun, hanya beberapa bagian Kepulauan Marquesas yang dikunjungi oleh para perintis dan penyiar. Misalnya, suami istri Muller pernah tinggal selama 18 bulan di Nuku Hiva pada tahun 1978/79. Tetapi kesaksian yang saksama belum pernah diberikan di kepulauan ini secara keseluruhan. Hal ini berubah ketika Philippe dan Patrick datang. Memang, kemajuan tidak dicapai dengan mudah, karena agama Katolik sangat berurat berakar dan banyak orang takut kepada para pemimpin agama. Sebenarnya, beberapa pastor ada di balik ancaman-ancaman terhadap kedua saudara tersebut. Selain itu, gerakan karismatik Katolik sedang marak pada saat itu, mengobarkan sikap fanatik dan memicu beberapa kejadian tidak menyenangkan di masyarakat.
Patrick serta Philippe bekerja bersama pada mulanya, dan setelah lebih mengenal daerah, mereka bekerja sendiri-sendiri. Secara bergiliran, salah satu tinggal di rumah misionaris di Hiva Oa untuk mengadakan perhimpunan, sementara yang satunya lagi pergi dengan perahu selama beberapa minggu untuk mengunjungi pulau-pulau lain. Akhirnya, mereka merasa bahwa lebih praktis dan efektif jika mereka berpisah—Patrick mengerjakan pulau-pulau di utara, dan Philippe mengerjakan pulau-pulau di selatan.
Untuk membantu kedua utusan injil ini, cabang menugasi para perintis istimewa dari Tahiti untuk bekerja bersama mereka. Salah satunya adalah Pascal Pater, yang sekarang melayani sebagai penatua sidang; yang lain adalah Michel Bustamante, yang sekarang adalah seorang pengawas wilayah. Pria-pria muda yang penuh semangat ini senang memberikan kekuatan masa muda mereka kepada Yehuwa. (Ams. 20:29) Dan mereka memang membutuhkan kekuatan, karena pekerjaan pengabaran di Kepulauan Marquesas bukanlah untuk orang yang penakut atau berhati lemah. Tidak ada jalan raya, yang ada hanya jalan setapak yang berbatu-batu, berlumpur, dan berkelok-kelok melalui lembah-lembah sempit dan terjal menuju rumah atau masyarakat terpencil. Satu-satunya cara yang praktis untuk mencapai beberapa di antara tempat-tempat itu adalah dengan sepeda motor trail kecil.
Philippe ingat pernah mengendarai motornya di sebuah jalan sempit ketika sekawanan sapi liar berlarian ke arahnya sebab ada kendaraan lain yang membuat mereka takut. Karena di sebelah kirinya jurang dan di sebelah kanannya tebing gunung, Philippe tidak bisa lari ke mana-mana. Jadi yang dapat ia lakukan hanyalah turun dari motornya dan menempelkan dirinya rapat-rapat ke tebing batu itu. Hewan-hewan liar itu bergemuruh melewatinya. Dia gemetaran tapi selamat.
”Bagi saya, tugas ini adalah petualangan,” kata Michel Bustamante. ”Tetapi, ada juga saat-saat yang menyeramkan, terutama sewaktu kami sendirian di beberapa pulau. Sekali peristiwa, saya tinggal di pondok yang ada di dasar lembah yang gelap, jauh dari tempat saya mengabar pada hari itu. Saya mencoba mencari tempat bermalam di desa terdekat, tetapi tidak berhasil. Jadi, saya terpaksa berjalan pulang. Pada waktu itu malam sudah mulai turun, dan tebing-tebing yang menjulang serasa mengurung saya di kegelapan malam. Saya mulai membayangkan spiritisme yang dipraktekkan di pulau itu dan hantu-hantu yang pasti sedang gentayangan. Saya pun dicekam rasa takut. Maka, saya mulai berdoa dan menyanyikan lagu-lagu Kerajaan yang banyak berisi nama Yehuwa. Sewaktu akhirnya saya sampai juga di pondok, saya langsung mengunci pintu, membuka Alkitab, dan mulai membaca. Perlahan-lahan saya diliputi perasaan damai.”
Setelah tiga tahun bekerja keras, saudara-saudara sangat gembira ketika orang Marquesas pertama yang belajar Alkitab dengan mereka masuk kebenaran—seorang pemuda bernama Jean-Louis Peterano. Jean-Louis pernah didatangi seorang pastor yang ingin agar dia ”kembali ke kandang”. Dalam upaya untuk ”menyelamatkan” pemuda itu, sang pastor menyatakan bahwa nama Yehuwa adalah rekaan Saksi-Saksi Yehuwa. Jean-Louis kemudian mengutip Mazmur 83:18 dari Alkitab Katolik Crampon (1905) dalam bahasa Prancis, yang menggunakan nama ilahi. Sang pastor pun diam seribu bahasa lalu pergi dan tak kembali lagi. Mungkin inilah pertama kalinya orang Marquesas yang menggunakan Alkitab Katolik berhasil membantah seorang pastor dengan dasar teologis. Belakangan, bahkan sekretaris pribadi seorang uskup Katolik meninggalkan gereja dan masuk kebenaran.
Di Hiva Oa, para utusan injil bertemu dengan sepasang suami istri dari Eropa, Jean dan Nadine Oberlin. Seperti pelukis Prancis yang terkenal, Paul Gauguin, mereka datang ke Marquesas untuk menarik diri dari masyarakat. Mereka tinggal di tempat yang sulit dicapai dan hidup sederhana tanpa segala kemudahan zaman modern. Setelah belajar selama tiga tahun dan membuat banyak perubahan dalam kehidupan mereka, Jean dan Nadine dibaptis.
Pada waktu Philippe Couzinet dan Patrick Lemassif tiba di Marquesas pada tahun 1986, hanya ada satu penyiar di seluruh kepulauan itu. Delapan tahun kemudian, sewaktu Philippe—yang terakhir pergi dari mereka berdua—dipindahtugaskan ke Kamerun, sudah ada 36 penyiar di sana—1 untuk setiap 210 penduduk. Dan ada tiga sidang, satu di setiap pulau utama—Hiva Oa, Nuku Hiva, dan Ua Pou.
Para Utusan Injil yang Datang Terakhir
Utusan injil yang datang terakhir dari Prancis adalah Serge dan Marie-Louise Gollin, yang tiba pada bulan November 1990. Mereka juga ditugasi ke Marquesas, dan mereka sangat menguatkan sidang-sidang di sana. Suami istri Gollin mempelajari bahasa Marquesas, dan yang luar biasa adalah mereka pernah mengunjungi setiap keluarga di keenam pulau yang berpenduduk!
Serge adalah satu-satunya penatua di Hiva Oa, pulau yang menjadi pangkalan suami istri Gollin. Dari sana, mereka secara teratur pergi ke sejumlah pulau lain, termasuk dua pulau yang tidak ada penyiarnya. Ketika pertama kali mengunjungi Fatu Hiva, Serge sangat heran karena diaken Katolik dan diaken Protestan di sana memperlihatkan kerja sama. Di akhir kebaktian mereka, kedua diaken itu mengumumkan undangan untuk mendengarkan khotbah umum yang akan disampaikan selama setengah jam oleh Serge di sebuah sekolah. Selain itu, diaken Protestan tersebut ikut datang dan menerjemahkan khotbah Serge ke dalam bahasa Marquesas, karena pada waktu itu sang diaken lebih fasih daripada Serge.
Untuk membantu hadirin menemukan ayat-ayat dalam Alkitab mereka, Serge menuliskan ayat-ayat itu di papan tulis. Ia juga berdoa dan ditanggapi dengan kata ”Amin” yang jelas oleh semua. Keesokan harinya, suami istri Gollin menempatkan lektur kepada setiap keluarga di Fatu Hiva. Sejak itu, mereka selalu disambut dengan hangat apabila mengunjungi pulau itu, yang penduduknya tidak sampai 600 orang.
Kebenaran Alkitab Menembus Dinding Penjara
Seperti halnya di banyak negeri lain, tidak sedikit orang di Polinesia Prancis yang memperoleh pengetahuan tentang kebenaran Alkitab di penjara. Contohnya, Alexandre Tetiarahi, yang karena kenakalan remaja harus meringkuk di penjara selama tujuh tahun. Ia melarikan diri sedikitnya enam kali dan dijuluki si Kupu-Kupu, seperti tokoh utama sebuah novel terkenal tentang seorang napi buronan.
Di tempat persembunyiannya di Raïatéa, Alexandre menemukan sebuah Alkitab dan buku ”Things in Which It Is Impossible for God to Lie” (Hal-Hal yang Tentangnya Allah Mustahil Berdusta). Ia membaca buku itu berkali-kali dan membaca Alkitab dari awal sampai akhir. Karena yakin bahwa ia telah menemukan kebenaran, hati nuraninya mulai terganggu. Apa yang ia lakukan?
Meskipun belum pernah bertemu sendiri dengan Saksi-Saksi Yehuwa, penerbit buku itu, Alexandre menyerahkan diri ke polisi, yang mengirimnya kembali ke penjara di Tahiti. Di penjara itu, Colson Deane bekerja sebagai sipir. Tidak lama kemudian, Alexandre tanpa sengaja mendengar Colson memberikan kesaksian kepada teman sekerjanya dan langsung mengenali ajaran-ajaran itu. Jadi, ia diam-diam mendekati Colson dan meminta untuk belajar lebih banyak.
Saudara Deane diizinkan oleh direktur penjara untuk mengajar Alexandre di dalam selnya. Tidak lama kemudian, beberapa narapidana lain juga ingin belajar. Sang direktur memperbolehkan Colson mengajar para napi itu juga, pada waktu istirahat siang. Belakangan diputuskan bahwa lebih baik jika dua penatua lain mengambil alih pengajaran. Selama beberapa tahun, 30 sampai 50 narapidana menikmati pembahasan Alkitab mingguan yang disusul dengan pengajaran pribadi bagi yang menginginkannya.
Sementara itu, Alexandre membuat kemajuan pesat, yang diamati oleh para petugas penjara. Sebagai hasilnya, mantan tukang kabur ini diberi izin khusus untuk menghadiri kebaktian distriknya yang pertama, di bawah pengawasan Saudara Deane. Di kebaktian itu, Alexandre dibaptis. Kemudian, ia dibebaskan dan terus melayani Yehuwa.
Kebaktian Internasional di Tahiti
Pada tahun 1969, kebaktian internasional diadakan di Tahiti untuk pertama kalinya. Pada waktu itu, hanya ada 124 penyiar di kepulauan tersebut. Jadi, Saudara dapat membayangkan betapa senangnya mereka menjadi tuan rumah bagi 210 delegasi dari 16 negeri, termasuk Frederick W. Franz—anggota Badan Pimpinan pertama yang mengunjungi Tahiti. Dengan puncak hadirin sebanyak 610 orang, kebaktian itu benar-benar menjadi pendorong bagi saudara-saudara, sehingga turut menghasilkan pertambahan penyiar sebesar 15 persen pada tahun berikutnya. Kemudian pada tahun 1978, Tahiti menjadi tuan rumah bagi salah satu Kebaktian Internasional ”Iman yang Berkemenangan”. Kali ini hadirinnya 985 orang!
Penerjemahan ke dalam Bahasa Tahiti
Seraya penyiar bertambah, pekerjaan di kantor cabang pun bertambah, terutama penerjemahan lektur berdasarkan Alkitab ke dalam bahasa Tahiti, bahasa utama di Polinesia. Bahkan sebelum cabang didirikan, beberapa penyiar yang lebih tua, yang cukup memahami bahasa Tahiti, telah secara penggal waktu menerjemahkan beberapa publikasi, biasanya dari bahasa Prancis. Misalnya, sejak tahun 1963, mereka menerjemahkan Pelayanan Kerajaan. Kemudian, pada tahun 1971, mereka selesai menerjemahkan buku Kebenaran yang Membimbing Kepada Hidup yang Kekal.
Didirikannya kantor cabang Tahiti pada tahun 1975 semakin mendorong kegiatan penerjemahan. Penerjemah baru banyak yang memahami bahasa Inggris karena diajarkan di sekolah. Karena itu, sekarang mereka dapat menerjemahkan langsung dari naskah asli dan bukan dari terjemahan bahasa Prancis. Mulai tahun 1976, kantor cabang menerjemahkan Menara Pengawal ke dalam bahasa Tahiti sebagai edisi tengah bulanan, dan untuk beberapa waktu, mereka menerjemahkan Sedarlah! Mereka juga menerjemahkan ”Segenap Alkitab Diilhamkan Allah dan Bermanfaat”, Bertukar Pikiran mengenai Ayat-Ayat Alkitab, dan buku nyanyian lengkap. Ya, tidak ada kelompok lain yang menerbitkan bacaan dalam bahasa Tahiti sebanyak yang diterbitkan Saksi-Saksi Yehuwa!
Akan tetapi, selama 30 tahun terakhir ini, bahasa Tahiti dan bahasa Polinesia lainnya lambat laun digantikan oleh bahasa Prancis. Salah satu penyebabnya adalah karena bahasa Prancis, sebagai bahasa utama yang banyak kosa katanya, digunakan oleh media dan oleh sekolah, bahkan hingga ke universitas.
Namun, banyak orang Polinesia menganggap bahasa Tahiti sebagai bagian dari ciri kebudayaan mereka, maka saudara-saudara sering memberikan kesaksian dengan bahasa itu. Dari 26 sidang di negeri ini, ada 5 sidang yang berbahasa Tahiti, yang mencakup sekitar 20 persen penyiar. Jadi, masih ada banyak permintaan lektur dalam bahasa tersebut.
Banyak Proyek Pembangunan Dimulai
Ruangan kecil di samping Balai Kerajaan di Papeete berfungsi sebagai kantor cabang dari tahun 1975 hingga tahun 1983, ketika fasilitas baru dibangun di kota Paea, sekitar 25 kilometer dari Papeete. Kompleks Betel yang baru ini seluruhnya dibangun oleh saudara-saudara lokal, mempunyai empat kamar untuk para anggota keluarga Betel, tiga ruangan kantor, sebuah gudang lektur, dan sebuah Balai Kerajaan. Pada tanggal 15 April 1983, Lloyd Barry dari Badan Pimpinan menahbiskan fasilitas baru ini di hadapan 700 hadirin.
Tetapi, bahkan fasilitas itu segera menjadi terlalu kecil. Maka, Badan Pimpinan menyetujui pembangunan kompleks yang lebih besar, termasuk sebuah Balai Kebaktian, di Toahotu, sebuah kawasan semipedesaan dekat daratan sempit yang menghubungkan kedua bagian pulau itu. Proyek ini dikerjakan oleh saudara-saudara dari Amerika Serikat, Australia, Kanada, Prancis, dan Selandia Baru. Tentu saja, penyiar setempat juga banyak membantu. Anggota Badan Pimpinan Milton G. Henschel menahbiskan kompleks baru ini pada tanggal 11 Desember 1993.
Kira-kira pada waktu yang sama, banyak Balai Kerajaan juga dibangun. Di bawah pengawasan Panitia Pembangunan Regional setempat, saudara-saudara membangun 16 balai baru dalam kurang dari sepuluh tahun. Sebagai hasilnya, kebanyakan sidang kini memiliki Balai Kerajaannya sendiri.
Penyesuaian di Kantor Cabang dan Pelatihan Lebih Lanjut
Hingga tahun 1995, Alain Jamet telah menjadi koordinator Panitia Cabang selama hampir 20 tahun, tetapi karena tanggung jawab keluarga, ia tidak bisa lagi melayani dalam kapasitas tersebut. Akan tetapi, ia masih bisa menjadi anggota Panitia Cabang dan melayani sebagai pengawas distrik penggal waktu. Maka, pada bulan September tahun itu, Badan Pimpinan menugasi Gérard dan Dominique Balza, dari keluarga Betel Prancis, ke Tahiti. Gérard dilantik menjadi koordinator Panitia Cabang.
Anggota ketiga Panitia Cabang adalah Luc Granger. Ia dan istrinya, Rébecca, pindah ke Tahiti pada tahun 1991 untuk melayani di tempat yang lebih membutuhkan. Mereka melayani sebentar sebagai perintis istimewa, kemudian terjun dalam pekerjaan wilayah dan distrik selama empat tahun sebelum ditugasi bekerja di cabang pada tahun 1995.
Pada bulan Mei 1997, cabang Tahiti mengadakan kelas pertama Sekolah Pelatihan Pelayanan. Dari 20 muridnya, banyak yang kemudian menikmati hak istimewa dalam dinas khusus. Félix Temarii, contohnya, sekarang adalah salah seorang dari dua pengawas wilayah di kepulauan ini. Gérard Balza mengatakan, ”Kami berdoa agar lebih banyak saudara berupaya untuk memenuhi syarat dan menyediakan diri agar kami dapat mengadakan kelas kedua. Tidak diragukan, masih ada banyak kebutuhan di sejumlah pulau, karena sampai sekarang beberapa pulau belum ada penyiarnya. Di pulau-pulau lain, saudara-saudara yang memenuhi syarat dibutuhkan untuk mengurus tanggung jawab dalam sidang. Dan penduduk di 58 pulau, kira-kira 7 persen populasi Tahiti, jarang sekali mendengar tentang kabar baik. Kadang-kadang, kebutuhan itu dapat dipenuhi oleh pasangan-pasangan berkewarganegaraan Prancis yang sudah pensiun dan matang secara rohani. Jika saudara-saudari seperti itu ingin membantu kami—sekalipun hanya untuk dua tahun—cabang kami akan senang sekali.”
Tantangan dalam Masyarakat yang Cepat Berubah
Tahiti khususnya mengalami pertumbuhan ekonomi serta sekularisasi dan urbanisasi yang cepat. Selanjutnya, hal ini turut mengakibatkan perpindahan penduduk dari pulau-pulau lain ke Tahiti. Kemakmuran menimbulkan materialisme, konsumerisme, dan pengejaran kesenangan.
Sayangnya, beberapa hamba Yehuwa telah menjadi korban dari tekanan yang halus ini. Kaum muda khususnya menghadapi kesulitan untuk mendahulukan hal-hal rohani dan tetap murni secara moral. Namun, berkat Yehuwa terus terlihat, karena negeri ini sekarang memiliki 1 penyiar kabar baik untuk setiap 141 penduduk.
Hal ini membuktikan bahwa banyak orang di Polinesia Prancis telah menghargai suatu firdaus yang jauh lebih indah—firdaus rohani, yang hanya dihuni oleh umat bagi nama Allah. (Yoh. 6:44; Kisah 15:14) Selain itu, firdaus ini adalah cikal bakal firdaus harfiah yang akan segera meliputi seluruh bumi, dan di sana tidak akan ada lagi rasa sakit, penderitaan, dan bahkan kematian—yang telah menghantui setiap generasi manusia tidak soal di mana mereka tinggal.—Ayb. 14:1; Pny. 21:3, 4.
Nenek moyang orang Polinesia memiliki keberanian, keterampilan berlayar, dan keyakinan bahwa di depan sana, di balik cakrawala, ada daratan—mungkin daratan yang lebih baik. Mereka tidak dikecewakan. Demikian pula dewasa ini, para penyembah yang loyal dari Yehuwa, seperti mereka yang disebutkan dalam laporan ini, tetap berjuang demi hadiah yang jauh lebih unggul yang telah Yehuwa sediakan bagi mereka. Mereka juga tidak akan dikecewakan. Ya, lebih baik daripada bintang mana pun di langit yang membimbing para pelaut, Yehuwa akan selalu membimbing semua orang yang percaya kepada-Nya menuju bumi Firdaus yang ada di depan sana.—Mz. 73:23, 24; Luk. 23:43.
[Catatan Kaki]
a Meskipun yang diceritakan di sini adalah Polinesia Prancis secara keseluruhan, laporan ini diberi judul ”Tahiti” karena pulau ini merupakan pusat kegiatan di kawasan ini dan nama Tahiti lebih dikenal. Akan tetapi, ”Tahiti” yang disebutkan dalam laporan ini secara spesifik memaksudkan pulaunya.
b Untuk pembahasan mengenai sejarah Alkitab bahasa Tahiti, lihat Menara Pengawal, 1 Juli 2003, halaman 26-9.
[Kotak di hlm. 72]
Sekilas tentang Polinesia Prancis
Negeri: Terdiri dari 130 pulau, dengan luas daratan 4.000 kilometer persegi, yang tersebar di lautan seluas 5 juta kilometer persegi. Pulau-pulau itu membentuk lima kepulauan: Tubuaï (Austral), Gambier, Marquesas, Society, dan Tuamotu. Ke-14 pulau di Kepulauan Society dihuni oleh 85 persen penduduk.
Penduduk: Kebanyakan orang Polinesia atau Polinesia campuran. Sisanya—hanya minoritas—adalah orang Tionghoa, Eropa, dan Amerika.
Bahasa: Prancis dan Tahiti adalah bahasa utama. Bahasa Prancis digunakan dalam pemerintahan dan perdagangan.
Mata pencaharian: Ekonomi terutama didasarkan atas administrasi dan industri jasa, termasuk pariwisata. Lapangan kerja lainnya adalah di bidang pertanian, manufaktur, dan budi daya mutiara. Mutiara merupakan 80 persen komoditas ekspor.
Makanan: Kepulauan-kepulauan ini sangat bergantung pada impor bahan makanan. Tanaman budi daya setempat antara lain ialah pisang, singkong, kelapa, selada, pepaya, nanas, talas, tomat, dan semangka. Sumber-sumber hewani antara lain ialah ikan, tiram, udang, domba, kambing, dan babi.
Iklim: Iklimnya tropis—hangat dan lembap—tetapi agak berbeda di setiap kepulauan. Musim hujan berlangsung dari bulan November hingga April. Setiap tahun, curah hujan di bagian tengah Tahiti dapat mencapai lebih dari 9 meter.
[Kotak/Gambar di hlm. 74]
Kepulauan Tinggi, Kepulauan Rendah, dan Motu
Semua pulau di Polinesia Prancis terbentuk karena kegiatan gunung berapi dan dapat dibagi menjadi dua jenis utama—kepulauan tinggi dan kepulauan rendah. Kepulauan tinggi bergunung-gunung terjal dan berbukit-bukit, ada yang puncaknya ribuan meter di atas permukaan laut. Tahiti adalah contoh khas pulau tinggi.
Semua kepulauan tinggi, kecuali Kepulauan Marquesas, dilindungi oleh terumbu karang di sekelilingnya. Di banyak terumbu ini, seperti yang ada di sekeliling Bora Bora, terdapat pulau-pulau kecil yang rimbun yang disebut motu. Motu adalah tempat rekreasi yang populer.
Kepulauan rendah terdiri dari atol-atol koral yang tingginya hanya beberapa meter di atas permukaan laut. Biasanya, karang-karang itu membentuk lingkaran yang menyebabkan terbentuknya laguna sejernih kristal. Pulau-pulau di Kepulauan Tuamotu termasuk jenis ini. Beberapa laguna sangat besar. Laguna di Rangiroa, misalnya, panjangnya 70 kilometer dan lebar maksimalnya 20 kilometer.
[Kotak/Gambar di hlm. 77]
Dahulu Diaken Gereja Kini Pemberita Kerajaan
Manuari Tefaatau
Lahir: 1913
Baptis: 1959
Profil: Ia adalah diaken di Gereja Protestan pada waktu ia belajar kebenaran dari beberapa pelajar Alkitab pertama di Pulau Makatéa.
Saksi-Saksi Yehuwa, yaitu Jean-Marie dan Jeanne Félix, datang ke Makatéa pada tahun 1956. Pelajar-pelajar Alkitab mereka yang pertama, yaitu Maui Piirai dan Germaine Amaru, memberikan kesaksian kepada saya. Tidak lama kemudian, saya mulai menceritakan kebenaran Alkitab kepada sesama anggota jemaat, yang menimbulkan cukup banyak pro kontra dalam gereja. Pastor bahkan melarang saya berbicara lagi dengan Saksi-Saksi Yehuwa.
Tanpa ragu saya mengundurkan diri dari gereja dan mulai menghadiri perhimpunan, yang diadakan di rumah keluarga Félix. Beberapa anggota jemaat lain juga mulai belajar dan berhimpun. Sungguh merupakan kehormatan bagi saya untuk menjadi bagian dari kelompok kecil pelajar Alkitab yang pertama di seluruh Polinesia Prancis.
[Kotak/Gambar di hlm. 83, 84]
Yehuwa Mengisi Kekurangan Saya
Leonard (Len) Helberg
Lahir: 1930
Baptis: 1951
Profil: Sebagai pengawas wilayah lajang dalam tugasnya yang pertama, ia membuka daerah di Tahiti. Ia dan istrinya, Rita, kini tinggal di Australia.
Pada tahun 1955, ketika cabang Australia menugasi saya untuk memulai pekerjaan wilayah di Pasifik Selatan, hanya ada dua sidang di daerah yang sangat luas ini—satu di Fiji dan satu lagi di Samoa—dan ada enam kelompok terpencil. Belum ada penyiar di Tahiti.
Rencananya, saya akan tinggal selama bulan Desember 1956 untuk kunjungan pertama saya ke Pulau Tahiti. Saya tiba di sana setelah berlayar selama enam hari dari Fiji dengan kapal Southern Cross. Saya mendapatkan akomodasi di sebuah rumah indekos di depan pelabuhan Papeete yang indah. Keesokan paginya, ketika sedang berpakaian untuk pergi berdinas, saya melihat kapal Southern Cross melintas beberapa ratus meter saja dari jendela saya. Saya sendirian di negeri yang baru ini, tiga ribu kilometer dari saudara-saudara terdekat, dengan orang-orang yang bahasanya asing bagi saya—Prancis. Yang saya punya hanyalah satu alamat pelanggan majalah Sedarlah!
Tiba-tiba saya dirundung rasa kesepian sampai-sampai saya tidak tahan lagi dan menangis sesenggukan tanpa dapat saya kendalikan. Karena tidak dapat berhenti menangis, saya berkata dalam hati, ’Yah, anggaplah hari ini hari yang tidak produktif—tidur saja lagi. Besok baru mulai.’ Setelah banyak berdoa dengan sungguh-sungguh malam itu, saya bangun keesokan paginya dengan perasaan ceria. Siang itu saya menemukan pelanggan Sedarlah! tersebut—seorang wanita dari Algeria. Seperti Lidia yang disebutkan di buku Kisah, dia dan putranya yang berusia 34 tahun menyambut saya dengan tangan terbuka, dan mendesak agar saya tinggal bersama mereka. (Kisah 16:15) Tiba-tiba, rasa kesepian saya terobati! Saya bersyukur kepada Yehuwa, yang pasti telah mendengar permohonan saya yang panjang dan disertai isak tangis.
Sekarang apabila saya mengingat masa lalu, saya benar-benar memahami bahwa Yehuwa adalah Bapak yang sungguh pengasih! Ya, jika kita menyediakan diri, Ia akan berbuat lebih dari sekadar mengisi kekurangan apa pun yang kita miliki.
[Kotak/Gambar di hlm. 87, 88]
Para Perintis Pertama
Alexis Tinorua menghadiri perhimpunan yang diadakan oleh Len Helberg pada akhir tahun 1950-an. Alexis berkata, ”Saya duduk mendengarkan diskusi Alkitab antara Saudara Helberg dan beberapa diaken Protestan. Di situlah saya mengenali nada kebenaran dalam ajaran Saksi-Saksi Yehuwa dan mulai belajar dengan Saksi-Saksi. Saya dibaptis pada tahun 1960. Kemudian, saya menikmati dinas perintis selama sembilan tahun. Pada tahun 1965, saya mendapat kesempatan berharga untuk menjadi orang pertama yang mengabar di Pulau Huahine, di Kepulauan Society. Saya sungguh bersyukur kepada Yehuwa karena memberi saya hak istimewa untuk membantu 80 orang memperoleh pengetahuan yang saksama tentang kebenaran Alkitab.” Alexis terus melayani Yehuwa sampai kematiannya pada bulan Mei 2002.
Hélène Mapu mulai merintis pada tahun 1963 di Tahiti, segera setelah ia belajar kebenaran. Suaminya sangat mendukung walaupun bukan Saksi. Karena pekerjaannya, sang suami sering berlayar ke Tahiti dan ke Raïatéa. Jadi, ia tidak berkeberatan ketika Hélène menerima undangan untuk menjadi perintis istimewa di Raïatéa, dan menjadi orang pertama yang memberitakan kabar baik di sana. Hélène kemudian pindah kembali ke Tahiti, kali ini ke semenanjungnya (bagian kecil di pulau itu, yang disebut juga Tahiti Iti). Saksi di tempat itu hanya dia dan seorang saudari lain, yakni Mereani Tefaaroa. Kata Hélène, ”Banyak sekali peminat di semenanjung ini, dan dalam waktu singkat kami sudah mempunyai banyak pengajaran Alkitab.”
Berkat Yehuwa atas saudari-saudari yang setia ini amat nyata, karena belakangan sidang dibentuk di daerah tersebut, di kota Vairao.
[Kotak/Gambar di hlm. 101]
”Pilih Saya atau Yehuwa”
Yvette Gillot
Lahir: 1932
Baptis: 1968
Profil: Saudari ini adalah perintis biasa paling lama di Polinesia Prancis.
Sewaktu saya memberi tahu suami saya bahwa saya ingin menjadi salah seorang Saksi-Saksi Yehuwa, ia memberi saya ultimatum, ”Pilih saya atau Yehuwa.” Saya mencoba bertukar pikiran dengan dia, tetapi tidak berhasil. Ia meninggalkan saya dan tiga anak kami. Tetapi, ia ternyata kembali tiga tahun kemudian.
Sementara itu, saya bisa mencari nafkah untuk keluarga sambil merintis biasa. Saya bekerja pagi-pagi sekali dan kemudian memimpin pertemuan untuk dinas lapangan. Pada akhir tahun 1960-an, hanya ada sekitar seratus penyiar di kepulauan ini, jadi tidak selalu ada saudara yang bisa memimpin.
Saya bersyukur kepada Yehuwa karena dikaruniai hak istimewa untuk membantu kira-kira 50 orang membaktikan kehidupan mereka kepada-Nya, termasuk Richard Wong Foo, yang menjadi anggota keluarga Betel Tahiti sejak tahun 1991. Dan, senang sekali, kedua putra saya kini melayani sebagai penatua.
[Kotak/Gambar di hlm. 105]
Pemakaman Putri Terakhir
Michel Gelas, seorang penatua di Papeete, mempunyai pengalaman unik sehubungan dengan anggota terakhir keluarga kerajaan Tahiti, yaitu Putri Takau Pomare, yang meninggal pada tahun 1976 di usia 89 tahun. Sang putri adalah keturunan langsung dinasti Pomare, yang pernah berkuasa di Tahiti dan sejumlah pulau sekitarnya. Anak perempuan angkatnya, seorang saksi Yehuwa, meminta Michel untuk menyampaikan khotbah pemakaman, meskipun sang putri bukan seorang Saksi.
Michel setuju karena merasa bahwa ini akan menjadi kesempatan bagus untuk menjelaskan harapan kebangkitan kepada sejumlah orang, termasuk para pejabat politik dan keagamaan dan juga para wartawan. Keesokan harinya, surat kabar setempat memuat foto Saudara Gelas yang sedang berkhotbah, dengan peti mati di depannya. Upacara itu dihadiri oleh gubernur, presiden pemerintah Polinesia, pejabat-pejabat lain, dan uskup agung Katolik, yang mengenakan jubah resminya yang berwarna putih.
[Kotak/Gambar di hlm. 109, 110]
Ada Pastor yang Meminjamkan Skuternya; Ada Pastor yang Membakar Buku Kami
Jacques Inaudi
Lahir: 1944
Baptis: 1965
Profil: Bersama istrinya, Paulette, ia melayani sebagai perintis istimewa di Prancis dan dalam pekerjaan keliling di Pasifik.
Pada tahun 1969, saya dan Paulette mengucapkan selamat tinggal kepada keluarga dan teman-teman di Prancis lalu berlayar ke Tahiti, daerah tugas kami yang baru. Perjalanan kami menjadi lebih mendebarkan karena kapal kami mengalami kebakaran di tengah-tengah Samudra Pasifik, dan kami terkatung-katung selama empat hari! Setelah tiba di Tahiti, saya ditugasi menjadi pengawas wilayah.
Wilayah kami mencakup Selandia Baru, Vanuatu, dan Polinesia Prancis. Pada waktu itu, Polinesia Prancis baru memiliki satu sidang dan dua kelompok terpencil. Pada tahun 1971, wilayah kami dikurangi menjadi Polinesia Prancis saja, sehingga kami mempunyai waktu untuk mengunjungi sejumlah pulau terpencil. Di beberapa pulau itu, berita Kerajaan sama sekali belum pernah dikabarkan. Saya dan Paulette tinggal selama sembilan bulan di Huahine dan sebentar di pulau kecil bernama Maupiti. Sewaktu di Huahine, kami senang sekali bisa memulai 44 pengajaran Alkitab.
Untuk makan, saya menangkap ikan—kebanyakan dengan senapan panah. Kami hidup pas-pasan tetapi tidak pernah sampai kelaparan; kebutuhan jasmani kami selalu terpenuhi. Pada waktu memberikan kesaksian di Pulau Tubuaï, kami terkejut sekaligus gembira ketika seorang pastor meminjamkan skuternya kepada kami. Mungkin ia merasa kasihan karena kami tidak punya kendaraan.
Pada tahun 1974, kami mengunjungi empat pulau di Kepulauan Marquesas: Hiva Oa, Nuku Hiva, Ua Huka, dan Ua Pou. Kantor cabang meminta kami untuk mengunjungi Kalina Tom Sing Vien, seorang saudari yang pada tahun 1973 pindah ke Ua Pou yang terpencil sebagai perawat. Saudari ini tinggal di sana selama 13 bulan, menjadi penyiar Kerajaan pertama yang menyerahkan laporan dinas dari Marquesas.
Tidak seperti pastor yang baik di Tubuaï, pastor di Ua Pou menentang kegiatan kami. Ia bahkan dengan diam-diam mengikuti kami, dan memaksa para anggota jemaatnya menyerahkan lektur apa pun yang telah kami tempatkan kepada mereka. Kemudian, ia membakar semuanya di depan rumah Kalina. Yang terkejut melihat tindakan ini bukan cuma kami, melainkan banyak orang Katolik juga!
Meskipun ada tentangan, pekerjaan di Marquesas terus maju, dan kami senang mendapat hak istimewa untuk memberikan sedikit andil. Oleh karena kesehatan Paulette, kami harus meninggalkan dinas sepenuh waktu. Meskipun demikian, kami bertekad untuk terus memberikan yang terbaik kepada Yehuwa.
[Kotak di hlm. 113]
Pengalaman Pertama Mengunjungi Sebuah Pulau
Bayangkan Saudara mendarat di sebuah pulau atau atol terpencil untuk pertama kalinya. Rencananya, Saudara akan tinggal selama satu atau dua minggu untuk mengabar di sana. Akan tetapi, Saksi di pulau itu hanya Saudara, dan tidak ada penginapan ataupun sarana transportasi umum. Apa yang akan Saudara lakukan? Mau tinggal di mana? Itulah yang beberapa kali dialami oleh Marc Montet dan Jacques Inaudi, yang melayani sebagai perintis dan pengawas wilayah.
Marc mengatakan, ”Saya biasanya langsung memberikan kesaksian begitu turun dari pesawat atau kapal, sekalian bertanya tentang penginapan. Bagi pria lajang, tidaklah selalu mudah untuk menemukan tempat tinggal, tetapi biasanya selalu saja ada yang memberi saya makan dan tempat bermalam. Pada kunjungan-kunjungan berikutnya, mendapatkan penginapan selalu lebih mudah karena orang-orang sudah mengenal saya. Lebih mudah juga setelah saya menikah. Orang merasa lebih nyaman dengan pasangan suami istri.”
Jacques menjelaskan pendekatan yang ia lakukan, ”Sering saya datang ke kepala desa dan bertanya apakah ia tahu ada orang yang bisa memberi saya tempat menginap selama waktu yang diinginkan. Biasanya ia akan menunjukkan tempat yang tepat. Di banyak pulau, penduduk menghormati orang yang mereka anggap hamba Tuhan dan berbuat sebisa-bisanya untuk membantu. Jadi, saya biasanya mendapatkan tempat tinggal tanpa dipungut biaya.”
[Kotak/Gambar di hlm. 117, 118]
Yang Paling Menyenangkan Adalah Dinas Pengabaran
Alain Jamet
Lahir: 1946
Baptis: 1969
Profil: Bersama istrinya, Mary-Ann, ia menikmati berbagai aspek pelayanan sepenuh waktu di Prancis dan di Polinesia Prancis.
Pada waktu saya berusia 13 tahun, keluarga saya pindah dari Prancis ke Tahiti. Setelah lulus SMU, saya kembali ke Prancis untuk kuliah kedokteran. Di sana, saya bertemu dengan Mary-Ann, seorang mahasiswi biologi dari Tahiti, dan kami pun menikah. Pada tahun 1968, Saksi-Saksi Yehuwa mengunjungi kami, lalu kami masuk kebenaran.
Tentu saja, kami menceritakan harapan yang baru kami pelajari ini kepada orang tua kami, tetapi tidak berhasil. Kami juga menulis surat kepada gereja kami masing-masing di Tahiti, meminta agar nama kami dicoret dari daftar keanggotaan. Paroki tempat Mary-Ann bergabung di Papeete bertindak lebih jauh dengan mengumumkan bahwa dia dikucilkan. Sang pastor bahkan mengundang orang tua Mary-Ann pada kesempatan itu.
Kami dibaptis pada tahun 1969 dan mulai merintis. Ketika di Marseilles, Prancis, saya dipanggil untuk masuk dinas militer dan dipenjarakan selama dua bulan karena kenetralan saya. Setelah bebas, saya dan istri ditugasi menjadi perintis istimewa di Marseilles dan Bordeaux. Kemudian, atas permintaan orang tua kami yang sudah berumur, kami pulang ke Tahiti pada tahun 1973 dan bekerja purnawaktu selama satu tahun sebagai guru sekolah dasar.
Kemudian, pengawas cabang di Fiji bertanya kepada kami apakah kami bercita-cita untuk kembali ke dinas sepenuh waktu, karena dibutuhkan seorang pengawas wilayah di Polinesia Prancis dan Kaledonia Baru. Karena keadaan orang tua kami telah membaik, kami menerima undangan itu dan memulai pekerjaan wilayah pada bulan Agustus 1974. Pada tahun 1975, selama kunjungan N. H. Knorr, saya diundang untuk melayani sebagai pengawas cabang yang pertama di Tahiti.
Putra kami, Rauma, lahir pada tahun 1986, dan istri saya berhenti dari dinas sepenuh waktu. Kami berbahagia karena Rauma sekarang sudah menjadi saudara rohani kita. Jika mengenang masa lalu, kami sangat bersyukur atas banyak hak istimewa dinas kami. Tetapi bagi kami, yang paling menyenangkan adalah dinas pengabaran.
[Kotak/Gambar di hlm. 123-125]
Yehuwa Memelihara Domba-Nya
Michel Bustamante
Lahir: 1966
Baptis: 1987
Profil: Bersama istrinya, Sandra, ia melayani di salah satu dari dua wilayah di Polinesia Prancis.
Wilayah kami mencakup kelima kepulauan yang ada di Polinesia Prancis yang besarnya sama dengan Eropa. Beberapa pulau terpencil hanya memiliki satu atau dua penyiar. Namun, kami masih mengunjungi mereka. Rosita, contohnya, tinggal di Takapoto, di Kepulauan Tuamotu. Saudari yang setia ini mempersiapkan semua perhimpunan setiap minggunya, dan suaminya, yang tidak berada dalam kebenaran, sering menemaninya. Setiap hari Minggu, ketika kebanyakan orang pergi berenang atau memancing di laguna, Rosita berpakaian rapi dan mempelajari pelajaran Menara Pengawal untuk minggu tersebut. Dia juga tidak pernah lupa melaporkan jam dinasnya. Bahkan laporannya, yang ia berikan lewat telepon ke kantor cabang, sering kali adalah yang pertama datang! Yang khususnya luar biasa adalah karena untuk mencapai telepon terdekat, ia harus berperahu selama 45 menit dari pulau kecil tempat ia tinggal.
Pendaratan pesawat selalu menjadi peristiwa besar. Jadi, pada waktu kami datang mengunjungi saudari kita ini, hampir semua orang yang tinggal dekat bandara ada di sana untuk melihat siapa yang datang. Pada suatu kali, seorang wanita bertanya kepada Rosita, ”Kamu sedang menunggu siapa?” Jawabnya, ”Saudara dan saudari rohani saya. Mereka datang khusus untuk saya, untuk menguatkan saya.” Kami tinggal selama tiga hari bersama Rosita, bekerja bersamanya dalam dinas dan memberinya anjuran rohani. Sering kami baru tidur setelah tengah malam, karena ia sangat haus akan pergaulan rohani.
Di pulau lain, seorang pria Adven melihat kami mengunjungi tetangganya, seorang Saksi. Belakangan, ia mencurahkan perasaannya kepada saudara kita, ”Sudah tujuh tahun saya tinggal di sini, tetapi belum pernah ada seorang pun dari gereja saya yang datang untuk menguatkan saya.” Pria ini melayani sebagai pendeta tidak resmi bagi sekelompok kecil penganut Adven di pulau itu.
Hanya Daniel dan Doris saja penyiar di Raevavae, di Kepulauan Tubuaï. Pada waktu kami akhirnya menemukan mereka—karena mereka tinggal di tempat yang sangat terpencil—kami bertanya apakah kami dapat mengadakan perhimpunan sore itu di rumah mereka. Mereka senang sekali mendengarnya, dan kami semua pergi untuk mengundang orang-orang datang. Pada waktu kami tiba untuk berhimpun, ada tujuh pekerja perkebunan yang baru saja pulang kerja tetapi hanya menunggu di jalanan. Beberapa pekerja memikul karung berisi talas.
”Tidak usah malu-malu,” kata kami. ”Masuk saja.” Dan mereka pun masuk, tetapi duduk di lantai, walaupun tersedia tempat duduk untuk mereka. Mereka menikmati perhimpunan dan mengajukan banyak pertanyaan setelah itu. Tentu saja, sore itu menjadi saat yang sangat membesarkan hati saudara dan saudari kita, dan tujuan utama kunjungan kami pun terpenuhi.
Kadang-kadang, sulit untuk mengunjungi para penyiar di daerah terpencil karena tidak ada bandara di pulau mereka. Sekali waktu, setelah mendarat, kami harus menyeberangi lautan lepas dengan perahu selama dua jam untuk mengunjungi dua penyiar di sebuah pulau. Oh ya, perahunya adalah perahu motor tanpa atap yang panjangnya sekitar empat meter. Untuk memastikan, tentu saja kami bertanya kepada si tukang perahu apakah perahunya laik laut dan apakah ia membawa mesin cadangan. Terkatung-katung di tengah Lautan Pasifik pastilah bukan pengalaman yang menyenangkan!
Setibanya kami di tempat tujuan, kami basah kuyup karena cipratan air laut, dan punggung kami pegal-pegal karena entakan ombak yang menghantam haluan perahu. Perjalanan pulang sama parahnya. Sandra mengatakan, ”Sewaktu kami kembali ke pulau utama siang itu, saya bersepeda untuk mengabar. Tetapi, badan saya terlalu lemah dan gemetar akibat perjalanan dengan perahu itu sehingga tidak bisa mengendalikan sepeda di jalan yang berbatu-batu, dan saya pun segera terjatuh!”
Mengingat hal-hal di atas, jelaslah mengapa setiap kali kami mengunjungi saudara dan saudari di tempat yang terpencil, kami pun merenungkan betapa dalamnya kasih Yehuwa dan organisasi-Nya bagi mereka. Memang benar, kita adalah bagian dari keluarga rohani yang istimewa.—Yoh. 13:35.
[Blurb]
”Mereka datang khusus untuk saya, untuk menguatkan saya”
[Daftar/Gambar di hlm. 80, 81]
Polinesia Prancis—Lintas Sejarah
1835: Alkitab dalam bahasa Tahiti selesai diterjemahkan.
1930-an: Sydney Shepherd dan Frank Dewar datang ke Tahiti dan mungkin pulau-pulau lain.
1940
1956: Pekerjaan pengabaran mulai intensif di Makatéa dan Tahiti.
1958: Dua pembaptisan diadakan, yang pertama di Polinesia Prancis.
1959: Sidang pertama di Polinesia Prancis dibentuk, di Papeete.
1960
1960: Perkumpulan Saksi-Saksi Yehuwa didaftarkan.
1962: Balai Kerajaan pertama didirikan di Papeete.
1969: Tahiti menjadi tuan rumah kebaktian internasionalnya yang pertama.
1975: Kantor cabang didirikan di Tahiti.
1976: Menara Pengawal mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Tahiti.
1980
1983: Rumah Betel pertama ditahbiskan.
1989: Puncak 1.000 penyiar tercapai.
1993: Rumah Betel yang baru dan Balai Kebaktian di dekatnya ditahbiskan.
1997: Sekolah Pelatihan Pelayanan diadakan pertama kali.
2000
2004: 1.746 penyiar aktif di Polinesia Prancis.
[Grafik]
(Lihat publikasinya)
Total Penyiar
Total Perintis
2.000
1.000
1940 1960 1980 2000
[Peta di hlm. 73]
(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)
POLINESIA PRANCIS
POLINESIA PRANCIS
KEPULAUAN MARQUESAS
Nuku Hiva
Ua Pou
Ua Huka
Hiva Oa
Fatu Hiva
KEPULAUAN TUAMOTU
Manihi
Ahe
Rangiroa
Takaroa
Takapoto
Anaa
Hao
KEPULAUAN SOCIETY
Maupiti
Tahaa
Raïatéa
Makatéa
Bora Bora
Huahine
Mooréa
Tahiti
KEPULAUAN TUBAÏ (AUSTRAL)
Rurutu
Rimatara
Tubuai
Raevavae
KEPULAUAN GAMBIER
MOORÉA
TAHITI
PAPEETE
Punaauia
Paea
Toahotu
Vairao
[Gambar penuh di hlm. 66]
[Gambar di hlm. 70]
Jeanne dan Jean-Marie Félix termasuk orang pertama yang memberikan kesaksian secara saksama di Polinesia Prancis
[Gambar di hlm. 71]
Maui Piirai, orang Polinesia pertama di daerah itu yang membaktikan kehidupannya kepada Yehuwa, dibaptis oleh Jean-Marie Félix pada tahun 1958
[Gambar di hlm. 79]
Clyde dan Ann Neill (bawah) ikut dengan Agnès Schenck (kanan) ke Tahiti demi membantu pekerjaan pengabaran
[Gambar di hlm. 85]
John dan Ellen Hubler memulai pekerjaan wilayah pada tahun 1960
[Gambar di hlm. 86]
Pada tahun 1962, Sidang Papeete membangun Balai Kerajaannya yang pertama—bangunan sederhana dengan sisi-sisi yang terbuka dan atap dedaunan
[Gambar di hlm. 89]
”La Sentinelle” terbitan 15 April 1965, memuat artikel-artikel ”Menara Pengawal”
[Gambar di hlm. 92]
Agar maju secara rohani, Taina Rataro belajar membaca dan menulis dalam bahasa Tahiti
[Gambar di hlm. 92]
Elisabeth Avae (duduk) bersama cucunya Diana Tautu
[Gambar di hlm. 95]
Anna dan Antonio Lanza
[Gambar di hlm. 96]
Vaieretiai dan Marie-Medeleine Mara
[Gambar di hlm. 97]
Ato Lacour
[Gambar di hlm. 98]
Rudolphe Haamarurai
[Gambar di hlm. 99]
Vahinerii dan Edmond Rai (kiri) bersama Taaroa dan Catherine Terii (kanan)
[Gambar di hlm. 100]
Auguste dan Stella Temanaha
[Gambar di hlm. 102]
Christiane dan Jean-Paul Lassalle (kiri) serta Lina dan Colson Deane (kanan)
[Gambar di hlm. 103]
Roger Sage (kiri) menerjemahkan khotbah Francis Sicari ke dalam bahasa Tahiti di kebaktian distrik pada tahun 1970-an
[Gambar di hlm. 107]
Eileen dan Alain Raffaelli
[Gambar di hlm. 108]
Mauri dan Mélanie Mercier
[Gambar di hlm. 120]
Marie-Louise dan Serge Gollin melayani sebagai utusan injil di Kepulauan Marquesas
[Gambar di hlm. 122]
Alexandre Tetiarahi, bersama istrinya, Elma, serta dua putri bungsu mereka, Rava (kiri) dan Riva
[Gambar di hlm. 126]
Tim penerjemah bahasa Tahiti
[Gambar di hlm. 127]
Kebaktian Internasional tahun 1969 ”Damai di Bumi” adalah kebaktian internasional pertama yang diadakan di Tahiti
[Gambar di hlm. 128]
Balai Kerajaan di Pulau Bora Bora ini adalah bangunan balai yang terbaru di Polinesia Prancis
[Gambar di hlm. 130]
Christine dan Félix Temarii
[Gambar di hlm. 131]
Panitia Cabang, dari kiri ke kanan: Alain Jamet, Gérard Balza, dan Luc Granger
[Gambar di hlm. 132, 133]
(1) Fasilitas kantor cabang Tahiti
(2) Gérard Balza merilis buku ”Mendekatlah kepada Yehuwa” dalam bahasa Tahiti, Juli 2002
(3) Keluarga Betel Tahiti