Jepang
KERJA keras yang gigih dan kesatuan tekad merupakan sebagian sifat yang telah mengangkat Jepang dari kehancurannya pada Perang Dunia II hingga menjadi salah satu raksasa industri dunia modern. Dewasa ini, negara berpenduduk 125 juta jiwa ini tersohor karena merek dagang komoditi-komoditi ekspornya, seperti kamera, mobil, dan peralatan elektronik, serta bunga sakura, azalea, dan tak ketinggalan Gunung Fuji yang berselimut salju, setinggi 3.776 meter.
Akan tetapi, kemajuan teokratis setelah perang bahkan lebih mengesankan lagi. Pada tahun 1951, sebuah kebaktian di Tokyo dihadiri oleh sekitar 40 utusan injil lulusan Sekolah Alkitab Gilead Menara Pengawal dan sekitar 200 penyiar pribumi Jepang. N. H. Knorr, yang ketika itu adalah presiden Lembaga Menara Pengawal, menyatakan keyakinannya bahwa suatu hari kelak akan ada begitu banyak orang pribumi Jepang yang menjadi pemberita Kerajaan sehingga sulit untuk menemukan para utusan injil di antara mereka. Saat yang dinanti-nantikan itu rupanya segera terwujud! Dengan Yesus Kristus sebagai fondasinya, dibutuhkan sepuluh tahun bagi para utusan injil, sebagai rekan sekerja Allah, untuk mengumpulkan 1.000 penyiar pribumi Jepang yang pertama. Namun, pada tahun 1992, rata-rata 1.000 penyiar baru ditambahkan setiap bulan. (Bandingkan 1 Korintus 3:9-11.) Jumlah total rohaniwan Kerajaan Allah di Kepulauan Jepang telah mencapai puncak 220.663 penyiar, suatu puncak baru yang telah dicapai setiap bulan selama lebih dari 18 tahun terakhir. Apa yang terjadi merupakan bagian yang menakjubkan dari penggenapan Yesaya 60:8, 9, yang mengatakan, ”Siapakah mereka ini yang melayang seperti awan dan seperti burung merpati ke pintu kandangnya? Sungguh, Akulah yang dinanti-nantikan pulau-pulau yang jauh.”
Laporan dari 1973 Yearbook mengulas sebagian dari sejarah masa awal Jepang hingga tahun 1972, ketika terdapat 14.000 penyiar, termasuk lebih dari 3.000 perintis yang jumlahnya kian meningkat pesat. Sekarang kami akan meninjau sejarah ini dan mengulas sejarah 25 tahun berikutnya.
Benih-Benih Awal Kebenaran Kerajaan
Di negeri yang secara tradisional beragama Buddha dan Shinto ini, bagaimana benih-benih Kerajaan dapat menghasilkan panen rohani yang melimpah? Pada tahun 1911, C. T. Russell, yang pada waktu itu adalah presiden Lembaga Menara Pengawal, mengadakan kunjungan penjajakan ke Jepang. Ia melaporkan bahwa para misionaris Susunan Kristen sangat kecil hati dan bahwa masyarakat pada umumnya tidak begitu memperlihatkan minat yang tulus akan agama. Akan tetapi, ia merasa bahwa yang dibutuhkan orang-orang adalah ”Injil Kerajaan”. R. R. Hollister, asal Amerika, ditetapkan sebagai perwakilan Lembaga untuk Negeri-Negeri Timur. Risalah dan buku, termasuk The Divine Plan of the Ages, diterjemahkan, dan jutaan salinan disebarkan, terutama oleh pekerja-pekerja pribumi yang dibayar. Pada tahun 1926, Junzo Akashi, keturunan Jepang-Amerika, diutus ke Jepang sebagai perwakilan Lembaga. Sebuah kantor cabang didirikan di Kobe pada awal tahun 1927, dan kemudian dipindahkan ke Tokyo pada tahun itu juga. Pada tahun 1938, jumlah kolportir yang menyiarkan majalah dan buku meningkat menjadi 110 orang. Namun, semangat nasionalisme agama yang fanatik dikobarkan di seluruh negeri, dan ini mengarah langsung ke Perang Dunia II. Pada tanggal 21 Juni 1939, secara serentak, ke-130 anggota Todaisha (yang artinya ”Asosiasi Mercu Suar”, sebutan bagi organisasi Saksi-Saksi Yehuwa setempat pada waktu itu) ditahan dan dipenjarakan, praktis mengakhiri kegiatan yang terorganisasi selama tahun-tahun perang.
Sayangnya, sang pengawas cabang menjadi murtad di bawah tekanan. Kecuali beberapa orang yang loyal, seperti keluarga Ishii dan keluarga Miura, sebagian besar anggota Todaisha mengikuti jejaknya dengan meninggalkan dinas Yehuwa. Kegagalan kelompok ini juga disebabkan para anggotanya tunduk kepada seorang pria, Junzo Akashi. Ia menerima kebiasaan berpoligami yang sudah mentradisi di Jepang, sekalipun ia telah beristri. Sang istri terus merintis dengan setia selama lebih dari 40 tahun di New York, dan ia masih terus dikenang oleh beberapa saudara-saudari di West Manhattan sebagai Saudari Ogawachi. Ketika utusan injil Gilead memasuki Jepang setelah perang, mereka menemukan sekelompok besar Todaisha di Osaka. Mereka memungut biaya untuk pembaptisan, dan yang bahkan lebih buruk lagi, mereka mengikuti Akashi dengan menerima gaya hidup yang sangat amoral. Mereka tidak bersedia meninggalkan gaya hidup semacam itu; maka demi menjaga kemurnian sidang, sekitar 30 orang dari antara mereka harus dipecat.
Orang-Orang yang Tetap Setia
Sebagai kontras, perhatikan Jizo dan Matsue Ishii, yang termasuk di antara orang-orang Jepang pertama yang menjadi kolportir. Mereka mengerjakan seluruh negeri dari tahun 1929 hingga tahun 1939. Pada bulan Juni 1939, mereka ditahan dan dipenjarakan di Sendai. Saudari Matsue masih ingat tahun pertamanya di sebuah sel khusus yang sempit, kotor, dan banyak kutu. Ia tidak diperbolehkan untuk mandi, dan tubuhnya digigiti kutu busuk. Berat badannya menyusut hingga 30 kilogram, tinggal tulang berbalut kulit dan hampir mati. Sewaktu dipindahkan ke penjara lain, kesehatannya mulai membaik dan ia dibebaskan menjelang akhir tahun 1944. Suaminya mendapat perlakuan yang serupa, dan belakangan dia juga memperlihatkan integritasnya sewaktu menolak transfusi darah. (Kis. 21:25) Sang suami meninggal pada usia 71 tahun. Matsue terus melayani sebagai Saksi yang setia sampai sekarang. Ia berkomentar, ”Sebagian besar dari mereka yang sebelum masa perang sangat terampil dan cerdas meninggalkan organisasi Allah sewaktu menghadapi tekanan yang hebat. . . . Orang-orang yang tetap setia tidak mempunyai kesanggupan istimewa dan mereka biasa-biasa saja. Tentu, kami semua harus percaya kepada Yehuwa dengan segenap hati kami.”—Ams. 3:5.
Pasangan suami-istri yang setia lainnya adalah Katsuo dan Hagino Miura, yang memasuki dinas kolportir pada tahun 1931. Mereka pun ditahan pada tahun 1939, di Hiroshima. Mereka menolak untuk menyembah kaisar maupun untuk mendukung angkatan bersenjata Jepang. Katsuo dipukuli habis-habisan, dan ia mendekam dalam kurungan sampai sebuah bom atom menghancurkan penjara itu pada tahun 1945. Meskipun ia baru berusia 38 tahun, kesehatannya sangat rusak. Sewaktu dibebaskan, ia tampak seperti orang lanjut usia. Ia kembali ke utara ke Ishinomori ke tempat istrinya, Hagino, yang telah dibebaskan beberapa waktu sebelumnya, tengah membesarkan putra mereka yang masih muda, Tsutomu.
Bagaimana Katsuo bertemu kembali dengan organisasi Yehuwa? Surat kabar terkemuka di Jepang, Asahi, mengetahui bahwa lima wanita muda utusan injil Menara Pengawal telah datang ke Osaka dan menjalani kehidupan ala Jepang di sebuah rumah bergaya Jepang. Para reporter mengunjungi mereka dan mempersiapkan artikel yang sangat hidup, yang mengumpamakan kelima saudari ini dengan para malaikat yang, seperti bunga sakura, melayang turun dari langit. Artikel ini juga memuat alamat rumah utusan injil. Di tempat yang jaraknya ratusan kilometer di sebelah utara, Katsuo secara kebetulan membaca artikel itu. Ia langsung mengadakan kontak kembali dengan organisasi dan mendaftar sebagai perintis. Ia melayani dengan setia hingga akhir hayatnya pada tahun 1957.
Miyo Idei, seorang saudari yang sekarang berusia 92 tahun, masih melayani sampai sekarang di Kobe, Jepang. Ia telah menanggung banyak kesukaran selama 65 tahun ia berada dalam kebenaran. Riwayat hidupnya yang mengharukan dimuat di Menara Pengawal 1 September 1991.
”Angkatan 49”
Kondisi pengabaran jauh lebih menguntungkan setelah Perang Dunia II. Namun, pada tahun 1947, Junzo Akashi memberi tahu kantor Lembaga Menara Pengawal di Brooklyn, New York, bahwa ia tidak lagi sependapat dengan ajaran Alkitab. Saudara Knorr segera menghubungi kantor cabang Hawaii untuk mengundang para sukarelawan keturunan Jepang-Hawaii guna mengikuti pelatihan utusan injil di Sekolah Gilead kelas ke-11. Pengawas cabang Hawaii, yang pernah menjadi sekretaris J. F. Rutherford pada awal tahun 1920-an, memohon, ”Tetapi, Saudara Knorr, bagaimana dengan suami-istri Haslett?” Jadi undangan diberikan juga kepada Don Haslett dan istrinya, Mabel, meskipun usia mereka mendekati 50 tahun. Di Gilead, Sinichi Tohara dan Elsie Tanigawa mengajarkan bahasa Jepang kepada lebih dari 20 siswa.
Pada tahun 1949, ”Kelompok Hawaii”—Don dan Mabel Haslett, Jerry dan Yoshi Toma, Shinichi dan Masako Tohara berikut ketiga anak mereka, dan Elsie Tanigawa—menerima penugasan di kota Tokyo yang telah diporak-porandakan bom. Pada tahun itu juga, sekelompok utusan injil dari Australia menyusul, terdiri dari Adrian Thompson, Percy dan Ilma Iszlaub, serta Lloyd dan Melba Barry, yang ditugasi ke kota Kobe yang diporak-porandakan perang. Kelompok utusan injil pertama untuk Jepang ini kemudian dikenal dengan sebutan ”angkatan 49”. Dari antara mereka, enam orang meninggal sewaktu berada dalam penugasan, dan delapan orang lagi masih melayani sepenuh waktu di Jepang dan di Brooklyn, New York. Pada tahun 1949, delapan penyiar setempat juga melaporkan jumlah jam yang digunakan dalam dinas Kerajaan.
Pertumbuhan di Tokyo
Kelompok Hawaii membuat kemajuan yang pesat di Tokyo. Yoshi Toma mengenang bahwa pada tahun pascaperang itu, mereka mengerjakan daerah ”dari lubang perlindungan ke lubang perlindungan”. Saudari Toma berkata, ”Orang-orang sangat miskin dan sedang berjuang untuk pulih dari dampak perang. Makanan dijatah, dan Don Haslett harus antre bersama para tetangga untuk mendapatkan sebutir kol.” Namun, para penghuni rumah murah hati dan ramah, mendengarkan dengan sabar sewaktu para utusan injil ini berupaya keras mempersembahkan beritanya dalam bahasa Jepang. Para utusan injil harus membiasakan diri untuk membuka sepatu sebelum memasuki rumah. Lalu mereka masuk ke ruangan yang berdekatan. Tetapi, langit-langit rumah di sini rendah-rendah, dan Don Haslett, yang bertubuh jangkung, mendapat banyak lecet di kepala karena sering terbentur. Dalam waktu satu-dua tahun, ”Kelompok Hawaii” membubuh fondasi yang kuat di Tokyo, yang sekarang telah memiliki 139 sidang.
Dari antara ”Angkatan 49”, Don dan Mabel Haslett, Saksi-Saksi yang terurap, menetapkan teladan yang bagus dalam dinas pengabaran sekalipun telah mencapai usia lanjut. Sewaktu Don meninggal pada tahun 1966, enam saudara memanggul peti jenazahnya ke Balai Kerajaan untuk upacara pemakaman. Keenam saudara muda ini telah dibimbing oleh Saudara Haslett ke dalam kebenaran dan mereka adalah anggota keluarga Betel Jepang di Tokyo, yang pada waktu itu berjumlah 19 orang.
Mabel masih hidup delapan tahun lagi. Dalam usia 70-an, ia mengidap kanker usus. Rumah sakit terkemuka di Tokyo, Toranomon, bersedia mengoperasi tanpa darah, asalkan ia diopname selama dua minggu sebelum operasi. Pada hari pertama di sana, seorang dokter muda berkunjung ke tempat tidurnya, ingin tahu mengapa ia menolak darah. Ini menghasilkan diskusi Alkitab yang bagus yang berlangsung setiap hari hingga ia dioperasi. Karena kasus ini serius, empat orang dokter turun tangan. Begitu Mabel mulai siuman, ia berseru, ”Terkutuklah si tua Adam!” Sungguh tepat! Mabel mendapat perawatan intensif hanya satu hari, sedangkan empat pasien lainnya, yang juga dioperasi pada hari itu tetapi dengan transfusi darah, mendapat perawatan intensif selama beberapa hari. Dan bagaimana dengan dokter muda tadi? Belakangan ia memberi tahu Mabel, ’Sebenarnya, ada lima dokter di ruang operasi itu. Saya turut hadir di sana untuk memastikan agar mereka tidak memberimu darah.’ Dr. Tominaga melanjutkan pelajaran Alkitabnya di Yokohama. Sekarang, ia dan ayahnya, yang juga adalah dokter, beserta istri dan ibunya adalah anggota yang aktif di sidang. Benar-benar indah buah yang dihasilkan selama masa perawatan di rumah sakit!
Mabel melanjutkan dinas utusan injilnya dari rumah utusan injil di Tokyo Mita. Sewaktu ia berusia 78 tahun, kankernya kambuh, dan ia tidak dapat meninggalkan tempat tidur. Akan tetapi, sewaktu para utusan injil kembali pada suatu malam dan menceritakan pengalaman bagus dari kampanye penyiaran Berita Kerajaan, Mabel mendesak agar mereka membantunya berpakaian dan membawanya ke luar untuk membagikan Berita Kerajaan. Ia hanya kuat mengunjungi tiga rumah terdekat, rumah-rumah pertama yang dikabarinya dulu sewaktu ia pertama kali menginjakkan kakinya di Jepang. Beberapa minggu kemudian, ia mengembuskan napasnya yang terakhir dan menuju tempat penugasan surgawinya.—Bandingkan Lukas 22:28, 29.
Perkembangan di Kobe
Di Kobe, pertumbuhan segera tampak. Kebaktian pertama yang benar-benar teokratis di Jepang diadakan di rumah utusan injil yang luas di Kobe, sejak tanggal 30 Desember 1949 hingga tanggal 1 Januari 1950. Hadirin mencapai jumlah 101 orang pada Khotbah Umum hari Minggu, yang diselenggarakan di auditorium sekolah Tarumi, Kobe. Ada tiga orang yang dibaptis di kamar mandi umum Tarumi yang luas.
Adrian Thompson, dari kelompok utusan injil Kobe, membuat kemajuan pesat dalam menguasai bahasa Jepang dan, pada tahun 1951, dilantik sebagai pengawas wilayah yang pertama di Jepang. Belakangan, ia menjadi pengawas distrik yang pertama. Ia berbuat banyak untuk meletakkan dasar yang kuat guna pertumbuhan di masa yang akan datang. Ia adalah putra seorang saudari perintis kawakan yang setia di Selandia Baru. Ia pernah terkenal sebagai atlet papan atas sepak bola rugby, namun ketika Perang Dunia II pecah, ia meninggalkan gemerlapnya dunia olahraga, menjadi seorang Saksi yang terbaptis, dan memulai dinas sepenuh waktu di Australia. Sekalipun ia telah meninggal pada tahun 1977, ”Tommy” akan terus dikenang karena semangatnya yang tak kenal lelah dan ’kegigihannya akan pengabdian yang eksklusif’ kepada Yehuwa.—Bil. 25:11, NW.
Butuh waktu bagi para utusan injil untuk membiasakan diri dengan model rumah, kebudayaan, dan bahasa Jepang, namun minat utama mereka adalah membagikan kebenaran Alkitab kepada orang-orang lain. ”Tiger” (Percy) Iszlaub, pria ramah asal Queensland Australia, mengenang, ”Kami memimpin banyak pengajaran Alkitab. Saya memimpin 36 PAR, sedangkan Ilma dan yang lain-lain memimpin PAR hampir sejumlah itu. Para siswa biasanya datang ke rumah utusan injil untuk belajar, bahkan ada yang belajar setiap hari. Di setiap ruangan di rumah kami selalu saja ada pengajaran Alkitab, tiga atau lebih setiap malamnya. Kami membuka bahan pengajaran Alkitab dalam bahasa Inggris maupun Jepang. Untuk membantu para siswa, kami bersama-sama menghitung beberapa baris cetakan untuk menemukan di mana letak jawabannya. Ini berjalan lambat, namun sungguh menakjubkan sewaktu melihat bagaimana mereka dapat memahami hanya dengan membaca ayat dan membandingkannya dengan publikasi-publikasi ini. Dan sekarang mereka masih bertekun dalam kebenaran!”
Pada masa awal, para utusan injil tidak mempunyai banyak lektur Kerajaan untuk dinas pengabaran. Di Kobe, tersedia sepaket buku Light, Jilid Dua, edisi bahasa Jepang, peninggalan sebelum masa perang, tetapi orang-orang mengatakan, ’Saya ingin membaca Jilid Pertama dulu.’ Akan tetapi, salah satu dari orang-orang Jepang pertama yang masuk kebenaran di Kobe mulai berminat setelah membaca Jilid Dua dan pada waktunya, maju ke kematangan hingga menjadi pengawas wilayah. Tak lama kemudian, bahan-bahan dari buku ”Karena Allah Itu Benar Adanya” mulai digunakan. Beberapa pelajar Alkitab membuat terjemahan sendiri dari pasal-pasal buku itu, dan terjemahan itu distensil dan dipinjamkan di antara para utusan injil untuk digunakan dalam memimpin pengajaran Alkitab. Tetapi, beberapa dari terjemahan tersebut meragukan. Ilma Iszlaub terkejut ketika ia mendapati tulisan ’ditafsirkan oleh Ny. Ilma Iszlaub’ disisipkan sebagai catatan kaki pada setiap halaman terjemahan itu.
Kira-kira sepuluh tahun kemudian, di kota Fukuoka, Percy mendapat pengalaman yang luar biasa. Kimihiro Nakata, seorang narapidana hukuman mati yang bengis yang telah dibayar untuk menghabisi nyawa dua pria, meminta pengajaran Alkitab, dan Percy-lah yang memberikan pengajaran itu kepadanya. Sebagai hasilnya, Kimihiro meninggalkan sepenuhnya ”kepribadian lama”-nya. Ia dibaptis di dalam penjara, dan Percy menggambarkan dia sebagai ”salah seorang penyiar Kerajaan yang paling bergairah yang saya kenal”. (Ef. 4:22-24) Ia mempelajari tulisan Braille dan menyalin buku ”Karena Allah Itu Benar Adanya”, buku kecil ”Inilah Kabar Baik Kerajaan”, dan artikel-artikel Menara Pengawal serta Sedarlah! ke dalam tulisan Braille. Publikasi-publikasi ini disiarkan ke berbagai penjuru Jepang, termasuk sekolah-sekolah tunanetra. Akan tetapi, pada dini hari tanggal 10 Juni 1959, sebuah mobil polisi datang ke rumah utusan injil. Kimihiro memohon agar Percy dapat hadir untuk menyaksikan eksekusinya pagi itu. Percy tidak menolak. Di halaman eksekusi, mereka bercakap-cakap sejenak, dan pada akhirnya, mereka menyanyikan sebuah nyanyian Kerajaan bersama-sama. Kimihiro berkata kepada Percy, ”Mengapa kamu gemetar, Percy? Sayalah yang seharusnya gugup.” Sebelum menjalani hukuman gantung, kata-kata terakhirnya adalah, ”Hari ini saya merasa sangat yakin akan Yehuwa dan akan korban tebusan serta akan harapan kebangkitan. Saya akan tidur sejenak, dan jika Yehuwa memang menghendaki, saya akan berjumpa dengan kalian lagi di Firdaus.” Ia mengirimkan salam hangat kepada saudara-saudaranya di seluas dunia. Kimihiro mati demi ditegakkannya keadilan, nyawa ganti nyawa—bukan sebagai narapidana yang tanpa harapan dan keras kepala, tetapi sebagai hamba yang berbakti, terbaptis, dan setia dari Yehuwa.—Bandingkan Kisah 25:11.
Setelah berjuang melawan kanker selama sekitar sepuluh tahun, Ilma Iszlaub meninggal di Rumah Betel Ebina, Jepang, pada tanggal 29 Januari 1988. Setelah itu, sebagai anggota Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania, Percy menghadiri rapat tahunan Lembaga beberapa kali, memberikan laporan yang bagus tentang Jepang; kemudian ia pun meninggal pada tahun 1996.
Meskipun menghadapi kendala bahasa, Melba Barry memulai pengajaran Alkitab pada hari pertama ia melakukan dinas pengabaran di Kobe, menjelang akhir tahun 1949. Dua penyiar baru dihasilkan dari pengajaran tersebut, dan salah satu dari antaranya, Miyo Takagi, merintis selama beberapa puluh tahun. Saudari Miyo belakangan memberi tahu Melba bahwa ia sangat terkesan melihat dua saudari utusan injil datang melewati sawah yang berlumpur untuk mengunjunginya. Sekarang, 48 tahun kemudian, Miyo masih mengabar dari rumah ke rumah meski di atas kursi roda. Dalam kurang dari tiga tahun, sebelum ditugasi dalam dinas utusan injil ke Tokyo, Melba membantu sekitar tujuh orang untuk menerima kebenaran. Mereka semua bertekun selama bertahun-tahun, dan syukurlah, mereka juga selamat dari gempa bumi yang hebat di Kobe pada tahun 1995.
Lebih Banyak Utusan Injil ke Dinas Pengabaran
Pada awal tahun 1950, lima saudari dari sekolah Gilead kelas ke-11 yang tidak berhasil memperoleh visa untuk memasuki Kaledonia Baru ditugasi ke Kobe, Jepang. Dari antara mereka adalah Lois Dyer, yang hingga sekarang telah merintis selama 67 tahun, dan Molly Heron. Mereka menjalankan tugas bersama-sama selama 49 tahun terakhir, melayani hingga sekarang di rumah utusan injil Tokyo Mita. Pengalaman hidup Lois dimuat di Menara Pengawal 15 Juni 1980 (dalam bahasa Inggris).
Molly Heron mengenang, ”Di Kobe, rumah kami cukup besar, dan kami menyelenggarakan Peringatan enam bulan setelah kelompok utusan injil pertama tiba. Ada sekitar 180 orang yang hadir, memenuhi ruang makan dan lorong, dan ada yang bahkan mendengarkan terjemahan khotbah melalui jendela.” Setelah mendengarkan pengumuman di perhimpunan itu sehubungan dengan dinas pengabaran, sekitar 35 orang hadir pada keesokan paginya (hari Minggu) untuk ambil bagian. Saudara Barry melaporkan, ”Tiap-tiap utusan injil harus membawa tiga atau empat peminat untuk mengabar, dan karena para utusan injil masih belum fasih berbahasa Jepang, para penghuni rumah akan mengalihkan perhatian pada rekan-rekan kami orang Jepang dan bercakap-cakap dengan mereka. Sampai sekarang, kami tidak tahu apa yang dikatakan para peminat ini kepada penghuni rumah.”
Pada akhir bulan Juni 1950, Perang Korea tiba-tiba pecah. Tentu saja, para utusan injil di Jepang ingin tahu bagaimana keadaan kedelapan teman sekelas mereka yang melayani di Korea. Mereka tidak perlu menunggu lama. Pada hari kedua setelah perang pecah, beberapa utusan injil dari Kobe kembali ke rumah dengan kereta api antarkota. Kereta api yang datang dari arah yang berlawanan tiba di stasiun pada waktu yang bersamaan. Ketika kedua kereta api itu berangkat, lihat! Para utusan injil dari Kobe melihat kedelapan anggota kelompok utusan injil dari Korea berdiri di sisi seberang. Benar-benar reuni yang menyenangkan! Para utusan injil dari Korea berhasil meninggalkan negeri itu dengan pesawat terakhir yang membawa penduduk sipil. Sekarang, penghuni rumah utusan injil di Kobe bertambah dari 10 menjadi 18. Daerah pengabaran di kota itu, yang sebagian besar telah menjadi puing-puing, mendapat kesaksian yang sangat saksama.
Tidak lama kemudian, Scott dan Alice Counts dipindahkan ke rumah utusan injil di Tokyo, tetapi pada bulan Oktober, kedelapan utusan injil dari Korea pindah ke rumah utusan injil yang baru dibuka di Nagoya. Di antara kelompok dari Korea, hanya Don Steele dan istrinya, Earlene, yang kembali ke negeri itu setelah kondisinya memungkinkan.
Ladang Siap untuk Dituai
Grace dan Gladys Gregory termasuk di antara penghuni pertama rumah utusan injil di Nagoya yang baru dibuka. Mereka melihat bahwa daerah tempat bertugas telah siap untuk dituai. Pada bulan April 1951, Grace bertemu dengan Isamu Sugiura yang berusia 18 tahun, pegawai sebuah agen penjualan piano. Gladys mengenang, ”Ibunya membesarkan pemuda ini menurut ajaran sebuah sekte agama Shinto, dan ia telah diajar bahwa Jepang adalah shinshu (negeri ilahi) dan bahwa kamikaze (angin ilahi) akan melindungi Jepang dan membantu mereka memenangkan perang. Akan tetapi, imannya akan dewa-dewa Jepang hancur berantakan sewaktu Jepang menyerah dan ia mengalami kondisi ekonomi yang sangat buruk serta kekurangan makanan akibat perang. Ayahnya meninggal karena kurang gizi satu tahun setelah perang usai. Isamu yang masih muda ini menyambut harapan akan suatu bumi firdaus dan dibaptis di sebuah kebaktian wilayah pada bulan Oktober 1951.
Sekitar 50 utusan injil menghadiri kebaktian itu, beserta sekitar 250 orang Jepang. Isamu sangat terkesan melihat para utusan injil dengan leluasa berbaur bersama orang-orang Jepang tanpa prasangka, meskipun Perang Dunia II baru berakhir enam tahun sebelumnya. Setelah 45 tahun melayani dalam dinas sepenuh jiwa, termasuk Sekolah Gilead dan pekerjaan wilayah serta distrik, Saudara Sugiura sekarang melayani di Betel Ebina sebagai anggota Panitia Cabang.
Gladys Gregory masih ingat sewaktu ia mendekati seorang wanita yang dulunya adalah pengikut agama Buddha dan belakangan berpaling pada gereja-gereja Susunan Kristen; namun ia meninggalkan semua ini dengan perasaan kecewa. Ia kecewa sewaktu para pastor tidak dapat menjelaskan siapa gerangan Allah dan mengapa mereka tidak menggunakan nama pribadi Allah, sekalipun nama itu muncul hampir 7.000 kali di Alkitabnya (terjemahan klasik Bungotai). Sang pemimpin agama bukannya menjawab banyak pertanyaan yang diajukannya, malah menyuruhnya untuk ”percaya saja”. Ia memperoleh satu eksemplar Menara Pengawal (yang diterbitkan secara bulanan dalam bahasa Jepang sejak bulan Mei 1951) yang ditempatkan Gladys kepada tetangga sebelah rumahnya. Karena terkesan akan apa yang dibacanya, ia mencari Gladys. Tentang pengalaman ini, Gladys berkisah, ”Sewaktu ia melihat jawaban Alkitab atas pertanyaan-pertanyaannya, hatinya tersentuh. Ia langsung datang ke Pelajaran Buku Sidang. Di sana, ia mendengar pengumuman tentang pengaturan dinas untuk keesokan harinya dan ia menyatakan keinginannya untuk ikut serta. Kami berupaya meredam keinginannya yang besar dengan mengatakan bahwa setidaknya ia perlu belajar dahulu. Ia mengatakan, ’Baiklah, saya mau belajar, tetapi saya juga mau berdinas!’ Keinginannya terkabul, dan ia melaporkan lebih dari 50 jam pada bulan pertama itu! Dalam waktu satu tahun, ia dibaptis dan mulai merintis, dan belakangan ia melayani sebagai perintis istimewa yang produktif. Pada usia 80 tahun, ia masih berada dalam dinas perintis.”
Yehuwa Membuatnya Bertumbuh
Lima saudari utusan injil yang ditugasi ke Osaka pada tahun 1951 merasa senang bahwa banyak orang langsung datang ke rumah utusan injil untuk mendapatkan pengajaran Alkitab. Tetapi, para utusan injil yang baru ini mengalami kesulitan untuk mengenali orang-orang Jepang satu persatu. Lena Winteler, asal Swiss, berkata, ”Bila orang-orang datang, kami berlima akan muncul bersama-sama dan mempersilakan mereka menunjuk siapa pemimpin pelajaran Alkitabnya.” Dalam upaya untuk meniru tata cara Jepang, para utusan injil ini menjajarkan sandal-sandal untuk digunakan orang-orang yang datang ke rumah mereka, tetapi para utusan injil ini masih belum dapat membedakan antara sandal untuk tamu dan sandal untuk ke kamar mandi. Pada suatu hari, seorang siswa memberi tahu Lena secara pribadi dan menjelaskan, ”Sandal yang itu biasanya untuk dipakai ke kamar kecil, bukan untuk tamu.” Para utusan injil ini lambat laun mengerti.
Adakalanya, saudara-saudara utusan injil dari Kobe datang berkunjung ke Osaka untuk memberikan bantuan kepada kelima saudari lajang di sana. Pada waktu itu, hanya ada beberapa penyiar saja di seluruh Osaka. Pada salah satu kesempatan, Lloyd Barry menemani beberapa utusan injil di Osaka untuk menyaksikan konser opera udara terbuka di stadion bisbol yang besar di Koshien. Ia berkomentar, ’Betapa menakjubkan seandainya suatu hari nanti kita dapat memenuhi stadion ini untuk kebaktian!’ Kelihatannya mustahil.
Akan tetapi, menjelang akhir tahun 1994, Saudara Barry, yang sekarang adalah anggota Badan Pimpinan di Brooklyn, diundang untuk memberikan khotbah penahbisan di Balai Kebaktian Hyogo yang baru didirikan, yang menjangkau 52 sidang di wilayah Kobe. Acara pertemuan itu benar-benar menyenangkan, dihadiri oleh sejumlah penyiar Jepang asli daerah itu. Sebuah kebaktian yang lebih besar berlangsung sesuai rencana pada keesokan harinya. Di mana kebaktian ini diadakan? Di Stadion Bisbol Koshien. Lebih dari 40.000 orang yang hadir, dan mereka benar-benar tertib! Banyak juga yang hadir di 40 lokasi kebaktian lainnya di seluruh Jepang, dengan dihubungkan melalui sambungan telepon. Dengan demikian, total hadirin berjumlah lebih dari 254.000—bahkan lebih daripada jumlah hadirin pada kebaktian yang sangat besar di New York pada tahun 1958. Alangkah luar biasa Yehuwa telah ’membuatnya bertumbuh’ di Jepang!—1 Kor. 3:6, 7.
Pada awal tahun 1951, sebuah rumah utusan injil dibuka di Yokohama. Kota ini juga terbukti sebagai ladang yang paling subur. Hamba rumah yang mula-mula, Gordon Dearn, yang sekarang hidup menduda, terus berada dalam dinas sepenuh waktu di kantor cabang Ebina, Tokyo. Sekarang, terdapat 114 sidang di Yokohama, dan perluasan terus berlangsung, yang dimotori oleh saudara-saudara setempat sebagai penerus dari apa yang dirintis oleh pendahulunya, para utusan injil.
Pada tahun 1952, sebuah rumah utusan injil juga didirikan di kota Kyoto. Para utusan injil dari Osaka dan Kobe dipindahkan ke Kyoto untuk bergabung dengan kelompok utusan injil baru yang bergairah di sana. Pada bulan April 1954, Lois Dyer dan Molly Heron juga mendapat tugas dari Kobe ke Kyoto.
Di Kyoto terdapat sekitar seribu kuil, rata-rata satu kuil pada setiap sudut jalan. Kota itu luput dari pengeboman selama perang, guna melindungi kuil-kuil itu. Lois mengenang, ”Sewaktu kami berada di sana, kami berjumpa Shozo Mima, pedagang kelontong grosiran yang sedang berada di rumah karena baru sembuh dari penyakit yang cukup lama dideritanya. Meskipun ia seorang penganut agama Buddha yang bergairah, ia memberi tahu saya bahwa ia ingin mengetahui tentang Allah yang sejati. Sangatlah mudah untuk memulai pengajaran Alkitab bersamanya. Belakangan, istrinya dan putrinya juga belajar, dan seluruh keluarga berada dalam kebenaran. Shozo yang senang bergaul menjadi salah satu pilar rohani di Sidang Kyoto.”
Margrit Winteler, asal Swiss, menyertai kakaknya yang bernama Lena di Kyoto. Ia baru tahu bahwa di daerah tempat bertugasnya yang baru ini, ia harus membiasakan diri menangkap maksud di balik kata-kata maupun gerak-gerik seseorang. Misalnya, bila seorang pria berharap agar istrinyalah yang memutuskan untuk menerima atau menolak lektur, ia akan melambai-lambaikan jari kelingkingnya yang berarti bahwa istrinya sedang tidak ada di rumah. Di pihak lain, sang istri akan mengangkat ibu jarinya, yang melambangkan suami, dan mengatakan bahwa suaminya tidak di rumah. Margrit belakangan mengetahui bahwa apabila orang Kyoto hanya menatap majalah yang ditawarkan, membalik halaman-halamannya dengan hati-hati, mereka sebenarnya menolak tawaran majalah itu melalui gerak-gerik dan berharap agar lawan bicara menyadarinya tanpa harus dinyatakan melalui kata-kata. Akan tetapi, tanggapan orang tidak semuanya negatif, baik yang diucapkan maupun yang diisyaratkan. Sekarang ini, terdapat 39 sidang dari Saksi-Saksi Yehuwa yang berkembang pesat di Kyoto.
Menghadapi Musim Dingin yang Ganas dan Bahasa Baru
Sewaktu lebih banyak utusan injil, termasuk Adeline Nako dan rekannya Lilian Samson, tiba di Jepang dari Hawaii pada tahun 1953, mereka ditugasi ke kota Sendai yang dingin di utara Jepang. Suhu rata-rata pada malam hari dapat anjlok hingga mencapai 5 derajat Celcius di bawah titik beku. Don dan Mabel Haslett telah mendirikan rumah utusan injil yang baru di sana pada bulan Oktober sebelumnya dan mendapat rekan yaitu Shinichi dan Masako Tohara. Karena mereka dibesarkan di Hawaii yang beriklim tropis, mereka mendapati bahwa musim dingin yang ganas merupakan tantangan. Mereka belakangan dikenal sebagai ”orang-orang Hawaii yang menggigil kedinginan”.
Lilian mengenang, ”Baru pertama kali inilah kami belajar cara membelah kayu untuk memasak. Tempat yang hangat hanya di dapur, jadi kami berupaya menghangatkan tempat tidur kami dengan yutanpo, semacam alat penghangat tempat tidur ala Jepang. Pada siang hari, kami membeli ishi-yakiimo (ubi yang dipanggang di atas batu), menaruhnya di saku kami untuk menghangatkan tangan, dan kemudian memakannya sebagai menu makan siang.”
Akan tetapi, problemnya bukan hanya udara dingin. Sebelum para utusan injil dapat membaca huruf Jepang, ada saja situasi yang menggelikan. Adeline masih ingat pengalamannya pada suatu hari ketika ia, karena belum bisa membaca huruf Jepang, memencet alarm kebakaran yang disangkanya bel rumah. Orang-orang berhamburan dari apartemen mereka untuk melihat apa yang terjadi. Adeline terpaksa menelan makian orang-orang karena kekeliruan itu.
Akan tetapi, masih banyak lagi nostalgia para utusan injil selain pengalaman pribadi mereka selama tahun-tahun awal di Jepang. Bagi mereka, ribuan saudara dan saudari Jepang serta peristiwa-peristiwa yang mereka lalui bersama mengisi lembaran ”album keluarga” mereka. Kami mengundang saudara untuk memeriksa halaman-halaman album itu seraya kami mengenang kembali peristiwa-peristiwa lain yang turut menyebabkan pertumbuhan masyarakat teokratis di Jepang.
Para Perintis Istimewa Membuka Ladang Baru
Kegiatan para perintis istimewa telah menjadi faktor penting dalam penyebaran berita Kerajaan ke penjuru-penjuru yang jauh di negeri ini. Beberapa dari antara mereka dilatih secara langsung oleh para utusan injil, dan mereka memperlihatkan gairah akan Yehuwa yang tak kalah besarnya. Sepadan dengan pekerjaan para utusan injil, para perintis istimewa Jepang ini diutus ke kota-kota kecil. Banyak dari antara perintis istimewa yang mula-mula ini, meskipun belum lama dibaptis sewaktu mereka dilantik, telah memperlihatkan pengabdian dan ketekunan yang luar biasa.
Satu tahun empat bulan setelah dibaptis, Hisako Wakui menerima penugasannya. Ia dan rekannya, Takako Sato, telah menjadi perintis istimewa sejak tahun 1957. Mereka berdua, di sembilan daerah tempat bertugas, telah membantu lebih dari 80 orang untuk menjadi Saksi yang terbaptis.
Sehubungan dengan hasil-hasil dari berkat Yehuwa atas salah satu pelajar Alkitab pertama yang dipimpinnya, Hisako melaporkan, ”Ia sangat rajin ke gereja, namun ia mengatakan, ’Jika untuk belajar Alkitab, saya bersedia melakukannya setiap hari’. Setelah mengetahui bahwa nama Allah adalah Yehuwa dan bahwa Ia adalah Bapak dari Yesus, ia tidak lagi pergi ke gereja dan tak lama kemudian ikut melakukan dinas pengabaran.” Gairahnya tidak memudar sewaktu ia pindah ke daerah yang sangat dingin dan belum terbentuk sidang. Sekarang, suaminya dan keempat anaknya telah berada dalam kebenaran. Ketiga putranya melayani sebagai penatua dan putrinya sebagai perintis istimewa.
Sewaktu mereka berada di Tsuru, Prefektur Yamanashi, Hisako dan Takako melihat bahwa pertumbuhannya sangat lambat. Hadirin perhimpunan hanya empat atau lima orang. Pengawas wilayah berpikir bahwa mungkin mereka sebaiknya dipindahtugaskan ke daerah yang lebih subur, namun saudari-saudari ini masih belum menyerah dalam mengerjakan Tsuru. Mereka merasa yakin bahwa, karena Yehuwa telah mengutus mereka ke Tsuru, Ia pasti mempunyai domba-domba di sana. Maka, pengawas wilayah mengatakan, ”Jika 18 orang hadir dalam khotbah umum pada akhir pekan ini, saya akan menyampaikan kepada Lembaga keinginan kalian untuk tetap berada di daerah tempat bertugas ini.” Para perintis melakukan segala sesuatu yang selaras dengan Alkitab guna mengundang orang-orang untuk menghadiri perhimpunan hari Minggu. Sungguh menakjubkan, 19 orang yang hadir! Minggu berikutnya, jumlah hadirin kembali menyusut menjadi empat atau lima orang, namun para perintis mampu melanjutkan pekerjaan mereka di daerah itu. Sekarang, Sidang Tsuru memiliki sekelompok besar penyiar dan sebuah Balai Kerajaan yang bagus.
Kazuko Kobayashi adalah saudari perintis istimewa yang telah melayani selama 40 tahun dalam membuka daerah baru. Sewaktu Pauline Green, seorang utusan injil di Kyoto, pertama kali berjumpa dengannya, Kazuko sedang berupaya menemukan tujuan hidup. Pauline memperlihatkan kepadanya Pengkhotbah 12:13, dan keterangan ini memuaskan Kazuko. Ia menyimpulkan bahwa jalan hidup para utusan injil ini yang paling mendekati jalan hidup yang semestinya dari seorang Kristen, jadi ia menetapkan tujuan untuk menempuh jalan hidup tersebut. Sewaktu dilantik sebagai perintis istimewa, ia baru dibaptis selama tiga tahun. Namun, ia segera merasakan tangan perlindungan Yehuwa yang pengasih dalam dinas istimewanya, dan ia memperoleh hasil-hasil yang bagus. Kazuko juga mengerti bagaimana perasaan orang-orang di desa—bahwa keputusan mereka dipengaruhi oleh rasa takut akan apa yang mungkin dipikirkan orang lain. Bagaimana ia menghadapi sikap ini? Ia mengatakan, ”Saya berupaya menjadi teman mereka. Saya suka pada orang-orang, dan ke mana pun saya pergi, saya berupaya mengingat bahwa Yehuwa mengasihi mereka juga. Dengan cara begitu, mudah untuk menjadi teman mereka.”
Pada bulan Maret 1971, kantor cabang mengutus lebih banyak perintis istimewa baru untuk mengabar di daerah terpencil. Antara lain, terdapat dua saudari yang baru berusia dua puluhan, Akemi Idei (sekarang Ohara), putri angkat Miyo Idei, dan Kazuko Yoshioka (sekarang Tokumori) yang ditugasi ke Kaga di Jepang bagian tengah. Sebelumnya, mereka melayani dengan aman di bawah naungan ”payung” orang-tua dan sidang mereka. ”Sekarang, segalanya berubah,” kenang Kazuko. ”Di daerah penugasan kami, pemberita kabar baik hanya kami berdua.” Untuk mencairkan kekakuan dengan orang-orang, yang merasa curiga terhadap orang yang tak dikenal, mereka berlatih memperkenalkan diri dalam dialek setempat, menggunakan intonasi yang persis sama dengan yang digunakan orang-orang di sana. Dari antara orang-orang yang menerima kebenaran terdapat tiga pemuda anggota tim atletik. Kazuko menceritakan bahwa sewaktu ketiganya mulai ikut serta dalam dinas pengabaran, ia mengalami kesulitan untuk mengimbangi langkah mereka. Ketiga pemuda ini adalah pelari jarak jauh, dan mereka sungguh-sungguh berlari dari satu rumah ladang ke rumah ladang berikutnya.
Seraya para perintis istimewa yang bergairah memberikan kesaksian di daerah-daerah yang belum pernah dikerjakan, jumlah sidang dan kelompok terpencil semakin meningkat, mencapai angka 1.000 pada bulan Januari 1976.
Perkembangan di Okinawa
Kemajuan juga dicapai di Kepulauan Okinawa. Kepulauan ini, yang berpenduduk 1.200.000 jiwa, berada di bawah administrasi Amerika Serikat seusai Perang Dunia II. Masyarakat Okinawa pada dasarnya tenang, sabar, hangat, dan ramah. Saudara-saudari asal Okinawa juga memperlihatkan sifat yang bagus berupa ketekunan dan gairah akan kebenaran.
Okinawa dipercayakan pada kantor cabang Jepang, dan Lloyd Barry, yang pada waktu itu telah menjadi pengawas cabang di Tokyo, mengadakan kunjungannya yang pertama ke sana pada tahun 1953. Ia bertemu dengan empat saudara, semuanya para pekerja rekonstruksi asal Filipina, yang langsung membawa Saudara Barry ke pusat rehabilitasi Angkatan Bersenjata AS, tempat tiga prajurit ditahan. Pemuda-pemuda ini telah mengambil pendirian akan kebenaran Alkitab, namun bertindak tidak bijaksana. Mereka benar-benar ekstrem. Misalnya, mereka membuat seluruh penghuni bangunan tidak bisa tidur dengan menyanyikan lagu Kerajaan keras-keras hingga larut malam. Mereka dibantu untuk bersikap lebih seimbang. Secara kebetulan, pendeta penjara berkomentar bahwa, menurutnya, Kerajaan Kristus masih akan datang seribu tahun lagi. Salah seorang dari para pemuda ini belakangan melayani sebagai anggota keluarga Betel Brooklyn; ketiganya menjadi hamba yang bertanggung jawab di sidang Kristen. Selama kunjungan tersebut, sebuah perhimpunan diadakan dengan dihadiri lebih dari 100 penduduk pulau itu di bawah naungan atap Quonset.
Yoshi Higa, seorang wanita penduduk asli Okinawa, turut hadir di perhimpunan itu. Di Okinawa, terdapat kebiasaan untuk memakamkan jenazah di sebuah gua yang besar, yang jalan masuknya dibentuk seperti rahim—melambangkan bahwa orang mati kembali ke tempat asalnya. Yoshi berlindung di gua semacam itu sewaktu pecah Pertempuran Okinawa yang mengerikan pada Perang Dunia II. Setelah melihat jenazah-jenazah bergelimpangan di sana, ia merasa yakin bahwa orang mati benar-benar mati. Sewaktu mempelajari Alkitab, ia langsung menerima ajaran tentang keadaan orang mati dan harapan kebangkitan yang menakjubkan.
Yoshi menjadi penyiar Okinawa yang pertama sekaligus perintis biasa yang pertama. Stasiun radio setempat sangat berminat untuk mengudarakan pembahasan Alkitab, tetapi para pemimpin agama Susunan Kristen malas menyediakan programnya. Akan tetapi, mereka melihat bahwa Yoshi benar-benar bersedia untuk mengisi kekosongan itu. Selama beberapa bulan, ia membacakan artikel-artikel dari majalah Menara Pengawal.
Tak lama kemudian, sebuah kebaktian wilayah dapat diadakan bagi kira-kira 12 penyiar lokal yang baru, bagian-bagian dari acara dibawakan dalam bahasa Jepang oleh Adrian Thompson dan Lloyd Barry secara bergantian. Pekerjaan berkembang pesat, jumlah penyiar dan perintis meningkat berkali-kali lipat.
Yoshi Higa memasuki dinas perintis pada bulan Mei 1954. Selama 43 tahun dalam dinas perintisnya yang setia, ia telah membantu lebih dari 50 orang belajar kebenaran, banyak dari antara ”surat-surat rekomendasi”-nya yang pertama berasal dari gereja setempat di Shuri. (2 Kor. 3:1-3) Ia terus melayani dalam dinas perintis di Ginowan.
Mitsuko Tomoyori, yang telah menjanda, adalah seorang Saksi lain yang sangat bergairah yang mulai merintis bersama putrinya, Masako, pada tahun 1957 di Shuri, ibu kota kuno Okinawa. Mata Mitsuko masih berbinar-binar sewaktu menceritakan kembali tentang pengalamannya selama 40 tahun berada dalam dinas perintis dan tentang banyaknya orang yang telah ia bantu untuk memeluk kebenaran yang membimbing kepada kehidupan abadi.
Pada tahun 1965, Lembaga Menara Pengawal mendirikan kantor cabang di Okinawa, dan Shinichi Tohara, utusan injil dari Hawaii, bertindak sebagai pengawas cabangnya. (Ia keturunan Okinawa.) Pengaturan ini terus berlangsung bahkan setelah kepulauan itu dikembalikan kepada pemerintah Jepang pada tahun 1972. Ketika pengaturan Panitia Cabang mulai berlaku pada bulan Februari 1976, Shinichi Tohara, James Linton (utusan injil asal Australia), dan Chukichi Une (penduduk asli Okinawa dan lulusan Gilead) dilantik untuk melayani dalam panitia tersebut.
Ketekunan Dibutuhkan
Pada tahun dinas 1976, dalam upaya untuk meluaskan pemberitaan kabar baik, para perintis istimewa ditugasi ke lebih banyak pulau di bawah kantor cabang Okinawa. Di beberapa pulau, terdapat tanggapan yang baik. Di pulau-pulau lainnya, butuh waktu bertahun-tahun untuk mengatasi kebiasaan, takhayul, dan ikatan keluarga yang kuat. Ketekunan yang besar dibutuhkan oleh para perintis istimewa yang ditugasi ke sana. Karena ketidakpercayaan penduduk setempat terhadap orang tak dikenal, nyaris mustahil bagi para perintis untuk mendapat akomodasi meskipun terdapat banyak rumah kosong. Kadang-kadang, satu-satunya rumah yang tersedia adalah bekas tempat orang bunuh diri. Namun, karena takhayul setempat, rumah semacam itu tidak dapat digunakan sebagai tempat berhimpun.
Meskipun demikian, dengan ketekunan, para perintis mulai melihat buah-buahnya. Di Pulau Tokuno Shima, sebuah keluarga datang menghadiri khotbah umum pada kunjungan pengawas wilayah. Sang ayah sangat gemar menyaksikan olahraga yang sangat populer di sana yaitu adu banteng. (Kedua banteng diadu untuk menentukan banteng yang mempunyai tenaga terbesar.) Ia mempunyai banteng aduan yang hebat. Namun, minatnya akan Alkitab bangkit melalui putrinya yang telah diberi kesaksian oleh Saksi-Saksi Yehuwa di Jepang. Keluarga tersebut menerima pengajaran Alkitab, dan ia berikut istrinya, putrinya dan ketiga putranya menjadi Saksi-Saksi yang berbakti. Dua keluarga tetangga juga masuk kebenaran. Kelompok ini menjadi semacam markas kegiatan Kristen. Sekarang, terdapat sebuah sidang beranggotakan 49 orang, termasuk 16 orang perintis, di pulau kecil ini.
Di Pulau Ishigaki yang terpencil di selatan, para penyiar terheran-heran karena dicari-cari oleh seorang pemuda yang adalah petinju kenamaan, untuk meminta pengajaran Alkitab. Ia pernah belajar sebelumnya di Yokohama, namun ia takut untuk memikul tanggung jawab yang ditunjukkan oleh kebenaran Alkitab. Untuk menghindarinya, ia pergi ke Iriomote, pulau yang jarang penduduknya yang ia yakini tidak akan ada seorang Saksi-Saksi Yehuwa pun di sana. Namun, tidak lama kemudian, secara tidak sengaja ia melihat publikasi Menara Pengawal dan tertegun sewaktu mengetahui bahwa Saksi-Saksi Yehuwa telah mengabar juga di sana. Ia menyimpulkan bahwa ia tidak akan pernah dapat melarikan diri dari Yehuwa. (Bandingkan Yunus 1:3.) Dengan menggunakan alamat penerbit yang terdapat pada salah satu publikasi tersebut, ia mencari Saksi-Saksi di Pulau Ishigaki yang terdekat. Dalam waktu singkat, ia menjadi seorang Saksi yang berbakti dan perintis yang bergairah.
Setelah kunjungan zona oleh Milton Henschel pada bulan September 1980, Okinawa sekali lagi berada di bawah kepengurusan kantor cabang Jepang. Saudara Tohara dan istri, serta Saudara Une dan istri, melanjutkan dinas sepenuh waktu di Okinawa, dan Saudara serta Saudari Linton kembali melakukan pekerjaan distrik di pulau-pulau yang lebih besar di Jepang.
Para Pengawas Keliling Memainkan Peranan Penting
Berkat semangat rela berkorban para pengawas keliling dan istrinya, mereka dapat berperan melalui banyak cara untuk menumbuhkan dan mematangkan sidang-sidang di Jepang. Dinas mereka mendatangkan pengaruh yang membangun bagi sidang-sidang. Saudara-saudara sadar bahwa para pengawas dan istrinya ini telah meninggalkan ’rumah serta ibu dan bapak demi kabar baik’.—Mrk. 10:29.
Sewaktu para pengawas wilayah mengunjungi sidang-sidang pada masa-masa awal, pemondokan yang tersedia tidak banyak yang memberikan privasi yang memadai. Namun, karena para pengawas wilayah dengan senang hati menerima apa pun yang disediakan, ini membuat saudara-saudara sangat menghargai mereka. Keiichi Yoshida mengenang pengalaman lucu sewaktu pada tahun 1983, ia dan istrinya menerima akomodasi di kediaman seorang saudara lajang dan keluarganya yang tidak seiman di sebuah rumah besar di tengah ladang di sebelah utara Honshu. Ia berkata, ”Kami disambut hangat oleh keluarga itu dan diantar ke ruang tidur kami—sebuah ruangan berisi meja sembahyang Buddha yang besar. Sewaktu kami sedang beristirahat, sang Kakek, yang mengenakan pakaian tidur, tiba-tiba membuka pintu sorong dan, tanpa permisi, membunyikan bel pada meja sembahyang, menyalakan dupa, mengucapkan doa, lalu berjalan ke luar melalui sisi lain dari ruangan tersebut. Anggota keluarga yang lain pun mengikutinya. Selama seminggu penuh, kami harus selalu siap mendapat kejutan karena tidak mengetahui kapan dan dari arah mana orang yang hendak bersembahyang datang. Tetapi, kami menikmati pekan yang menyenangkan bersama keluarga yang baik hati dan ramah tamah ini.”
Para pengawas keliling, yang sekarang ini berjumlah 209, rata-rata telah berada dalam dinas sepenuh waktu selama 20 tahun. Sebagian besar dari mereka adalah mantan perintis istimewa. Latar belakang ini memungkinkan mereka untuk memberikan pelatihan yang bagus dalam kesaksian dari rumah ke rumah. Kegairahan mereka dalam dinas pengabaran turut menyumbang kepada semangat merintis yang sangat bagus di Jepang.
Beberapa pengawas wilayah ini turut memotivasi orang-orang maupun keluarga-keluarga untuk pindah ke daerah yang lebih membutuhkan Saksi-Saksi Kerajaan. Yang lain-lain memberikan perhatian khusus kepada teman hidup yang belum seiman, dan hasilnya, beberapa dari antara mereka telah menjadi Saksi-Saksi yang terbaptis. Kaum muda pun telah dibantu untuk meraih cita-cita rohani sebagai hasil minat pribadi khusus yang diperlihatkan kepada mereka dan teladan para pengawas keliling.
Para Utusan Injil Terus Berperan Serta
Pada tahun 1970-an, para utusan injil ditugasi ke kota-kota yang lebih kecil. Di tempat-tempat ini, orang-orang cenderung lebih kolot dan terikat tradisi, jadi kemajuan pekerjaan menjadikan murid berjalan lebih lambat. Di mana ada sidang, para utusan injil membantu saudara-saudara setempat memperoleh pengalaman dengan membiarkan mereka mengambil pimpinan. Akita, Gifu, Kofu, Kawaguchi, Kochi, Nagano, Wakayama, dan Yamagata adalah sebagian kota yang mereka layani.
Dengan sabar mereka berupaya membantu Saksi-Saksi setempat menghargai betapa berhikmatnya orang yang memiliki wawasan kebenaran Alkitab yang luas. (Ibr. 6:1) Masao Fujimaki, pengawas umum sebuah sidang di Kofu, mengenang sewaktu sidang sedang mempelajari buku Membina Keluarga Bahagia. Seorang saudara lanjut usia merasa sulit menerapkan instruksi bagi suami untuk menyatakan kasih sayang secara terbuka kepada istrinya. Ia berkata, ”Ungkapan kasih sayang semacam itu mustahil bagi kami-kami yang dididik sebelum masa perang.” Secara pribadi, Richard Bailey, salah seorang utusan injil di sidang itu, dengan ramah membantunya, dengan mengatakan, ’Kebenaran yang kita pelajari semestinya dapat menembus latar belakang nasional atau generasi; kebenaran selalu praktis dan selalu berfaedah. Jika kita meremehkan bagian mana pun dari kebenaran, bisa jadi kita memberanikan diri untuk menolak bahkan aspek yang lebih penting darinya.’ (Luk. 16:10) Saudara ini paham, dan setelah itu ia terlihat duduk berdampingan dengan bahagia bersama istrinya—suatu pengalaman baru bagi mereka.
Dalam hal-hal lain pun, Saksi-Saksi setempat mendapat manfaat dengan bergaul bersama para utusan injil. Salah seorang saudari mengatakan demikian, ”Mereka selalu riang dan tahu caranya melayani Allah dengan sukacita. Saya juga belajar dari mereka pentingnya berpaut pada prinsip-prinsip yang berdasarkan kasih, bukannya membuat peraturan-peraturan.”—Ul. 10:12; Kis. 13:52.
Para utusan injil membantu banyak orang untuk lebih merasa bahwa mereka adalah bagian suatu persaudaraan seluas dunia. Kazuko Sato, yang pertama kali belajar di Tokyo bersama Melba Barry, ingat bagaimana ia dikuatkan sewaktu merintis di suatu daerah pedesaan yang terdapat banyak permusuhan agama. Karena kesepian, ia menulis kepada para utusan injil yang menjadi teman bergaulnya di sidang sebelumnya, ”Saya mengabar sendirian.” Sepucuk surat balasan datang berisi pesan dari beberapa utusan injil, beberapa dengan susah payah ditulis dalam huruf Jepang, berkata, ”Kazuko, kamu tidak sendirian! Dengarkan, dari kejauhan kamu akan mendengar suara langkah kaki, kaki saudara-saudara yang bergairah dan setia dari seluruh dunia.”—Bandingkan Penyingkapan 7:9, 10.
Sekarang ini, 41 utusan injil masih melayani dari lima rumah utusan injil di Jepang—di Yamagata, Iwaki, Toyama, dan dua rumah di Tokyo. Selain itu, sembilan utusan injil melayani dalam pekerjaan keliling, dan sembilan lainnya di Betel di Ebina. Para utusan injil ini memberikan teladan yang baik dalam keloyalan kepada Yehuwa dan organisasi-Nya. Melalui kata-kata dan perbuatan, mereka turut berperan dalam ’membuka lebar-lebar’ pandangan dan pemahaman yang mendalam akan kebenaran bagi Saksi-Saksi Yehuwa di Jepang.—2 Kor. 6:13; Ef. 3:18.
Kegiatan Musim Panas untuk Menggarap Daerah yang Belum Dikerjakan
Yang lain-lain juga ikut serta dalam menyebarkan kabar baik ke kota-kota yang jauh. Pada tahun 1971, undangan diulurkan kepada para perintis biasa selama bulan-bulan musim panas untuk menggarap daerah yang belum dikerjakan. Kemudian, pada tahun 1974, pengaturan perintis-istimewa-sementara selama tiga bulan musim panas diperkenalkan. Setiap tahun, 50 perintis-istimewa-sementara ditugasi ke 25 daerah yang berbeda, dan sejumlah besar lektur ditempatkan.
Pada tahun 1980, hanya ada sekitar 7.800.000 orang yang tinggal di daerah-daerah yang belum dikerjakan oleh sidang mana pun di Jepang. Jadi, sebaliknya daripada menugasi perintis istimewa sementara, kantor cabang mengundang sidang-sidang, kelompok perintis biasa, dan keluarga-keluarga untuk mengerjakan daerah yang belum dikerjakan ini selama bulan-bulan musim panas. Bagi Saksi-Saksi di Jepang, yang senang mengerjakan sesuatu bersama-sama, ini merupakan kegiatan yang menyenangkan.
Hasilnya benar-benar menghangatkan hati. Pada tahun 1986, seorang penyiar yang bekerja di suatu daerah yang belum dikerjakan mendatangi sebuah rumah di gunung di desa Miwa, Prefektur Ibaraki, dan disambut oleh seorang ibu rumah tangga yang mempunyai buku Membina Keluarga Bahagia dan Buku Cerita Alkitab. Ia memperoleh buku itu pada kesempatan sebelumnya dan telah membacanya berulang-kali. Ia mencari Alkitab di toko buku namun tidak menemukannya, dan ia senang sewaktu mendengar bahwa sebuah keluarga Kristen akan pindah ke desa itu. Pengajaran Alkitab langsung dimulai, dan sekarang seisi keluarga berada dalam kebenaran.
Lambat laun, kota dan desa yang tersisa ditugaskan ke sidang-sidang terdekat.
Instruksi Khusus bagi para Penatua
Seraya pekerjaan pemberitaan kabar baik tersebar, jumlah dan besarnya sidang juga berkembang. Sering kali, hanya ada satu atau dua saudara yang memenuhi syarat untuk mengambil pimpinan dalam sidang. Hanya sedikit dari antaranya yang mendapat banyak pelatihan untuk menangani urusan-urusan sidang. Namun setelah diperkenalkannya pengaturan kepenatuaan pada tanggal 1 Oktober 1972, para penatua yang baru dilantik diundang ke kantor cabang di Numazu dan diberikan instruksi khusus selama dua minggu.
Sekolah ini benar-benar tonggak sejarah. Para instruktur berupaya membantu saudara-saudara melihat pentingnya memperlihatkan kasih sejati dan bersikap seimbang serta masuk akal dalam berurusan dengan sesama Saksi. (2 Kor. 1:24) Mereka juga menekankan pentingnya memelihara keluarga sendiri secara rohani. (1 Tim. 3:4; 5:8) Ini biasanya tidak terlalu ditekankan dalam rumah tangga orang-orang Timur.
Saudara-saudara sangat berminat untuk menerapkan semua instruksi yang mereka dapatkan sepulangnya mereka dari sekolah. Akan tetapi, banyak yang cenderung untuk menghafal semua instruksi seperti yang mereka lakukan dahulu semasa sekolah formal. Takashi Abe, salah seorang instruktur, mengenang, ”Para siswa duduk berjam-jam hingga larut malam untuk menyalin catatan yang mereka buat dari diskusi hari itu. Kami berupaya mencegah mereka membuat banyak catatan dan peraturan, tetapi sebaliknya, menganjurkan mereka menggunakan kesanggupan berpikir dan menerapkan prinsip-prinsip Alkitab.”—Rm. 12:1; Ibr. 5:14.
Banyak saudara menghadiri sekolah ini dengan pengorbanan pribadi yang besar. Ada yang menempuh perjalanan dari Hokkaido yang bersalju, 1.300 kilometer di sebelah utara; yang lain-lain, dari Okinawa yang subtropis, 1.800 kilometer di sebelah selatan. Dari antara mereka, ada yang terpaksa harus mencari pekerjaan duniawi baru sekembalinya mereka ke keluarga mereka. Pada tahun 1977, diselenggarakan acara-acara sekolah selama dua hari yang diadakan di berbagai tempat di seluruh negeri. Ini memudahkan saudara-saudara untuk mengikutinya.
Menghadapi Tentangan Keluarga
Menjadi orang Kristen di Jepang bukannya tanpa tantangan. ”Khususnya di daerah pedesaan, para peminat menghadapi banyak tantangan dari sanak saudara di lingkungan masyarakat,” demikian penjelasan Hiroko Eto, yang telah merintis selama 37 tahun. ”Sanak saudara merasa malu bila ada anggota keluarganya yang berbeda dari orang kebanyakan, dan takut akan manusia benar-benar kuat.”
Ibu dari Hiroko, Yuriko Eto, menyukai Alkitab bahkan sebelum berkenalan dengan Saksi-Saksi Yehuwa. Tetapi, pada tahun 1954, ketika Saksi-Saksi membantunya untuk mengetahui bahwa maksud-tujuan Allah bukan hanya untuk mengambil kawanan kecil orang-orang Kristen yang setia ke surga, melainkan juga untuk membuat bumi menjadi firdaus yang dipenuhi hamba-hamba Yehuwa yang berbahagia, ia sangat antusias untuk membagikan kabar baik ini kepada orang-orang lain. Ia dan putrinya dengan sabar telah membantu banyak orang untuk mengatasi perasaan takut akan manusia untuk memperoleh perkenan Yehuwa.
Hiroko mendapat pengalaman berikut ini. Seorang ibu rumah tangga yang mulai belajar Alkitab menghadapi tantangan dari ibu mertuanya yang tinggal bersama dia dan suaminya. Karena tidak ingin merusak perdamaian keluarga, wanita ini berhenti belajar. ”Saya mencegat dia di jalan dan menganjurkan dia untuk berbaik hati terhadap ibu mertuanya,” kata Hiroko, ”dan memperlihatkan melalui teladan hasil-hasil baik karena mempelajari Alkitab. Ia dengan bijaksana mengajukan pertanyaan kepada suaminya tentang apa yang telah dipelajarinya dan lambat laun suaminya pun berminat. Pada mulanya, sang suami mengatakan kepada istrinya, ’Di kampung seperti ini, rasanya mustahil orang bisa menjadi Kristen.’ Akan tetapi, kasih akan Yehuwa membantu mereka untuk mengatasi banyak tentangan.” Sekarang, mereka dan putra sulung mereka telah dibaptis. Sang suami telah menjadi hamba pelayanan dan memimpin Pelajaran Buku Sidang di rumahnya, dan ibunya membuat kejutan bagi semua orang dengan menghadiri perhimpunan sewaktu putranya menyampaikan khotbah umumnya yang pertama.
Sering kali, tentangan datang dari teman hidup. Ada suami-suami yang menentang karena cemburu atau karena mereka dibesarkan di lingkungan yang mengagungkan supremasi kaum pria. Sewaktu Keiko Ichimaru yang baru menikah mulai belajar Alkitab pada awal tahun 1970-an, suaminya, Hiroyuki, menentang keras dan melarangnya hadir di perhimpunan. ”Saya benar-benar tidak bisa terima bila dinomorduakan setelah agama,” kata Hiroyuki belakangan. Keiko mengasihi suaminya, maka ia dengan bijaksana meminta sang suami untuk memeriksa apakah yang dipelajarinya memang baik. Sang suami memutuskan untuk mempelajari Alkitab sendiri namun ia tidak dapat memahaminya. Akhirnya, ia meminta istrinya untuk memperbolehkan ia ikut mendengarkan pada pelajaran Alkitab istrinya. Mereka berdua pun menjadi Saksi-Saksi terbaptis. Belakangan, Hiroyuki menjadi perintis biasa dan sekarang ia adalah seorang penatua.
Setelah pekerjaan pemberitaan Kerajaan mulai di Chikugo pada tahun 1971, Mayuki Sakamoto termasuk orang pertama yang menerima berita Alkitab. Sang suami, Toyota, menentang sewaktu istri dan putranya yang masih muda mulai menghadiri perhimpunan di kota terdekat. Karena bertekad melarang istrinya, Toyota menggencarkan tentangannya. Selama 14 tahun, bahkan setelah istrinya dibaptis pada tahun 1973, ia terus menentang. Suatu kali, ia membidikkan senapan pada istrinya dan berteriak, ”Jika kamu tidak berhenti beribadat, saya bunuh kamu!” Tanggapan istrinya yang tenang membuat Toyota tergugah. Ia tak habis pikir apa yang membuat istrinya begitu teguh.
Meskipun mengalami semua itu, Mayuki terus memperlihatkan kasih kepada suaminya. Ia tidak pernah menyerah untuk mencoba membantunya belajar kebenaran. (1 Ptr. 3:1, 2) Suatu hari, Toyota, karena tidak senang melihat istri dan putranya merintis sedangkan ia bekerja duniawi, mengajukan permohonan berhenti dari pekerjaan duniawinya. Ini merupakan tindakan yang serius karena pria-pria Jepang umumnya memandang pekerjaan mereka sebagai sesuatu yang suci. Toyota berharap agar istri dan putranya merasa kasihan padanya. Namun, sewaktu ia pulang dan memberi tahu mereka apa yang dilakukannya, mereka malah bertepuk tangan karena senang. Ini membuat Toyota berpikir. Tak lama kemudian, ia mulai belajar. Belakangan, ia menyertai istri dan putranya dalam pekerjaan perintis, dan kini ia melayani sebagai penatua Kristen.
Pada awal tahun 1970-an, pria-pria yang menghadiri perhimpunan untuk pertama kalinya sering berkomentar bahwa hadirinnya hanya wanita dan anak-anak. Tetapi sejak itu, puluhan ribu pria telah membuat kemajuan rohani yang bagus. Sekarang, organisasi memiliki rangka dasar yang kokoh berupa pria-pria matang secara rohani yang mengawasi segala kebutuhan organisasi. Di antara mereka, ada yang dulunya menentang pada tahun 1970-an.
Para Perintis Bersekolah
Karena tingginya persentase rohaniwan perintis (25 hingga 30 persen) di masing-masing sidang pada tahun 1970-an, ada banyak yang mendaftar untuk mengikuti Sekolah Dinas Perintis, yang dimulai pada bulan Januari 1978 di Jepang. Pendidikan ini turut menyebabkan kematangan sidang.
Yang pertama diundang untuk mengikuti sekolah adalah para perintis istimewa, utusan injil, dan pengawas keliling bersama istrinya. Shigeru Yoshioka, salah seorang instruktur awal, mengenang, ”Kami merasa sangat terbantu karena yang diundang mengikuti kelas-kelas awal adalah para perintis berpengalaman. Hal-hal yang kami pelajari dari komentar dan pengalaman para rohaniwan yang matang ini dapat kami bagikan kepada para siswa di kemudian hari.”
Sejak Februari 1980, Sekolah Dinas Perintis diselenggarakan di tiap-tiap wilayah. Para pengawas wilayah dan saudara-saudara matang lainnya yang mengikuti pendidikan bertindak sebagai instruktur. Dalam delapan tahun sejak diperkenalkannya sekolah tersebut, rata-rata terdapat kenaikan sebesar 22 persen per tahun dalam jumlah perintis biasa, dibandingkan dengan kenaikan 12 persen dalam jumlah penyiar. Sekarang, sebagian besar wilayah secara teratur mengadakan dua kelas atau lebih yang besarnya berkisar antara 25 sampai 30 siswa setiap tahunnya.
Sebagian besar perintis yang menghadiri sekolah ini masih baru dalam kebenaran, namun sebagai hasil sekolah ini, mereka memperoleh keyakinan dan keterampilan dalam pelayanan mereka dan mereka mempelajari pelajaran yang amat berharga sehubungan dengan kehidupan Kristen. Salah seorang perintis mengatakan, ”Hingga sekarang, dinas, mengasuh anak, kepribadian Kristen, dan pengetahuan Alkitab semuanya bercampur baur di kepala saya. Namun, melalui pendidikan di sekolah selama sepuluh hari ini, saya dapat mengelompokkan itu semua di tempatnya masing-masing.” Hingga bulan September 1997, sebanyak 3.650 kelas telah diadakan, yang dihadiri oleh 87.158 perintis.
Segala Macam Orang Menyambut
Orang-orang dari latar belakang yang beraneka ragam membentuk corak yang indah pada organisasi teokratis di Jepang. Toshiaki Niwa adalah penatua berpembawaan lembut di sebuah sidang di Yokohama. Namun, pada akhir Perang Dunia II, ia dilatih sebagai pilot Ohka, semacam pesawat terbang layang yang dilengkapi roket, untuk melakukan serangan bunuh diri kamikaze terhadap kapal laut AS. Dinas semacam itu dipandang sebagai bukti pengabdian kepada kaisar. Akan tetapi, perang berakhir sebelum ia berkesempatan untuk mati bagi negaranya. Belakangan, istrinya belajar Alkitab bersama Saksi-Saksi Yehuwa. Ketika Toshiaki mengetahui bahwa Saksi-Saksi telah mempertahankan kenetralan yang ketat selama masa perang, ia pun mulai berminat. Pada tahun 1977, ia menyertai istrinya dalam membagikan berita perdamaian Alkitab kepada orang-orang lain.
Dalam dunia hiburan pun kita menemukan orang-orang yang dengan senang hati mengubah gaya hidupnya untuk menjadi pemuji Yehuwa. Yoshihiro Nagasaki membentuk kelompok musik jazz Dixieland bersama beberapa teman kuliahnya. Mereka meminta pria yang mengajar jazz kepada mereka untuk menjadi pemimpin band. Pria ini, Yoshimasa Kasai, salah seorang musisi jazz terkemuka di Jepang, sementara itu telah bertemu dengan ”Trummy” Young, pemain trompet dari Hawaii yang datang berkunjung. ”Sejak hari itu, pengajaran dimulai, tetapi bukan pengajaran musik, melainkan kebenaran,” kenang Yoshihiro, yang sekarang melayani sebagai anggota Panitia Cabang. ”Pada mulanya kami tidak berminat, tetapi karena ia begitu antusias akan kebenaran Alkitab dan karena kami tidak ingin kehilangan dia sebagai pemimpin band kami, kami pun mendengarkan dia.” Mereka bahkan setuju untuk belajar. Akan tetapi, titik balik bagi Yoshihiro adalah sewaktu ia menghadiri kebaktian wilayah pada bulan April 1966. Di kebaktian itu, seorang siswi SMU yang sebelumnya telah ia kenal mengundang Yoshihiro untuk menyertainya dalam dinas pengabaran. Siswi itu memberikan kesaksian dari Alkitab, dan Yoshihiro menyerahkan selebaran kepada penghuni rumah. ”Untuk pertama kalinya, saya mulai merasakan makna kebenaran,” kenangnya. Setelah menghadiri kebaktian itu, ia berdinas setiap hari dan membuat kemajuan pesat. Empat dari enam anggota band itu sekarang adalah Saksi-Saksi yang aktif.
Shinji Sato adalah seorang imam di Kuil Izumo yang terkenal di Prefektur Shimane, salah satu kuil Shinto terpenting di Jepang. Ia juga bertindak sebagai instruktur sekte Izumo Oyashirokyo. Meskipun ia telah melayani sebagai imam Shinto selama hampir 20 tahun, ia merasa kecewa akan ketidakadilan dan kurangnya kasih yang ia amati di kalangan para imam. Ia menyadari bahwa dewa-dewa Shinto tidak dapat memberikan keselamatan, dan ia mulai mencari Allah yang sejati. Ia mulai membaca Alkitab, namun masih banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam benaknya.
Secara kebetulan, di jalanan, ia berjumpa seorang kenalan yang ia tahu adalah salah seorang Saksi-Saksi Yehuwa. Maka ia mengajukan pertanyaan yang ia rasa akan mengidentifikasi agama yang sejati, ”Apakah agamamu bebas dari politik? Apakah organisasimu tidak mencari laba? Apakah ajaran agamamu berasal dari Allah dan bukannya dari manusia? Apakah orang-orang di kantor pusatmu mempraktekkan apa yang mereka khotbahkan?” Lalu ia meminta, ”Jika organisasimu memenuhi syarat ini, apakah kamu bersedia mengajarkan Alkitab kepada saya?” Alangkah leganya ia ketika ia akhirnya terbebas dari Babilon Besar. (Pny. 18:4) Ia berkata, ”Sekarang, setelah menjadi salah seorang Saksi-Saksi Yehuwa dan mengajarkan kepada orang lain jalan Allah yang benar, saya merasakan persis apa yang dicatat dalam Alkitab, ’Berkat TUHANlah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya.’”—Ams. 10:22.
Artis dan musisi terkenal, penulis komik, pegulat sumo, dan atlet balap sepeda profesional, mereka semua telah meninggalkan kejayaan mereka di masa lalu. Para profesional seperti dokter, kaligraf kondang, dan pengacara telah melihat terang kebenaran dan menggunakan keterampilan mereka untuk memajukan kepentingan Kerajaan. Bekas anggota geng, anak berandal, polisi, dan politikus diam bersama dengan rukun bersama saudara-saudari rohani mereka. (Yes. 11:6-9) Biarawan Buddha, imam Shinto, dan seorang pendiri agama sendiri telah keluar dari Babilon Besar. (Pny. 18:2) Guru sekolah, pengusaha Jepang yang sukses, dan para perajin dengan berbagai keterampilan mengerjakan proyek teokratis bersama-sama. Organisasi Yehuwa telah bertumbuh hingga meliputi segala macam orang yang telah dibantu untuk ”mengenakan kepribadian baru yang diciptakan menurut kehendak Allah dalam keadilbenaran yang benar dan loyalitas”.—Ef. 4:24.
Semangat Merintis yang Antusias
Meskipun daerah pengabaran semakin menyusut dan apatisme agama semakin meningkat, antusiasme terhadap dinas perintis tetap tinggi. Pada musim semi, ketika sejumlah besar perintis ekstra memasuki barisan perintis, total seluruh perintis membengkak hingga lebih dari 50 persen jumlah penyiar. Pada bulan Maret 1997, 108.737 melayani sebagai perintis.
Pertanyaan yang sering diajukan adalah, ”Mengapa ada begitu banyak perintis di Jepang?” Tampaknya ada beberapa faktor. Dasar untuk pertumbuhan seusai masa perang di Jepang dibubuh oleh para utusan injil yang bergairah, dan upaya siswa-siswa yang penuh penghargaan untuk meniru orang-orang yang mengajar mereka. (Luk. 6:40) Sebagai hasilnya, suatu warisan berupa kegairahan akan pelayanan diturunkan kepada generasi murid-murid berikutnya. Selain itu, rumah-rumah ala Jepang pada dasarnya sederhana, tidak membutuhkan banyak waktu untuk merawatnya, dan yang terpenting, pada umumnya kehidupan orang Jepang tetap sederhana. Ini memudahkan para ibu rumah tangga untuk memprioritaskan kepentingan rohani. (Mat. 6:22, 23) Juga, iklim di Jepang pada dasarnya tidak ganas, dan kondisi politik serta ekonomi di negeri ini menguntungkan.
Latar belakang kebudayaan dan sifat-sifat bangsa Jepang tampaknya juga merupakan salah satu faktor. Umumnya, orang-orang Jepang bersifat penurut dan mudah diarahkan, senang menyambut anjuran dari kelompoknya, dan antusias dalam bekerja. Sehubungan dengan hal ini, Shinichi Tohara, seorang Jepang-Amerika yang datang ke Jepang sebagai salah seorang utusan injil pertama pascaperang, mengatakan, ’Pilot-pilot kamikaze mati bagi kaisar dengan mengarahkan pesawat terbangnya ke kapal perang musuh. Jika orang Jepang begitu setia kepada tuan-tuan manusia, apa yang akan mereka lakukan jika mereka menemukan Tuan yang sejati, Yehuwa?’ Ya, semangat yang tinggi untuk menyenangkan Yehuwa memotivasi mereka untuk mengajukan permohonan untuk dinas perintis.
Orang-Tua yang Merintis
Siapa saja yang merintis? Mayoritas adalah para saudari, sebagian besar sudah menikah dan mempunyai anak. Banyak perintis tidak mendapat dukungan rohani dari suami dan sanak saudaranya yang tidak seiman.
”Sewaktu saya mulai merintis, putri bungsu saya baru berusia beberapa bulan,” kata Mutsuko dari Fujisawa, yang telah merintis selama lebih dari 20 tahun. ”Suami saya bekerja di sebuah bank, dan sewaktu kami pulang dari perhimpunan pada malam hari, ia biasanya masih belum pulang. Meskipun dibutuhkan upaya yang sangat besar, saya ingin terus merintis.” Ia mendapat upahnya sewaktu ketiga anaknya, setamat mereka dari SMU, menyertainya dalam dinas perintis. Setelah beberapa tahun menentang dan kemudian bersikap tidak acuh, suaminya juga mulai berubah. Alangkah bersukacitanya Mutsuko sewaktu, di sidang, ia mendengarkan putranya menyampaikan setengah bagian pertama dari khotbah umum, disusul oleh suaminya, yang membawakan setengah bagian berikutnya!
Para ayah yang merintis juga memberikan pengaruh yang baik. Hisataka mengetahui bahwa ayahnya meninggalkan kedudukan sebagai pengajar mata kuliah pengolahan data agar dapat merintis. Selama liburan musim panas Hisataka semasa SD-nya, sang ayah mengajak dia untuk menemaninya melakukan pekerjaan duniawinya, mengantar susu pagi-pagi sekali. ”Sewaktu langit di ufuk timur mulai berwarna jingga cemerlang,” kenang Hisataka, ”Ayah menyatakan kepada saya perasaannya yang terdalam tentang melimpahnya berkat yang dihasilkan dari melayani Yehuwa sepenuh jiwa. Melihatnya berjerih lelah dengan penuh sukacita untuk Yehuwa lebih memotivasi saya dibandingkan dengan anjuran lisan mana pun.” Hisataka sekarang melayani sebagai salah seorang anggota keluarga Betel Ebina.
Diselamatkan dari Karoshi
”Jika Anda mati-matian ingin bekerja, bekerjalah di perusahaan Jepang,” demikian anekdot yang umum didengar. Ini karena kepala keluarga Jepang pada umumnya sangat berbakti kepada pekerjaannya dan bekerja berjam-jam di tempat kerjanya. Akan tetapi, banyak kepala keluarga yang dulunya memaksakan diri bekerja hingga nyaris karoshi (meninggal karena terlalu banyak bekerja) sekarang berbakti kepada, bukan perusahaan duniawi, melainkan kepada Allah Yehuwa dan menyertai keluarganya dalam dinas perintis.
Shunji dari daerah Kobe, yang dulunya bekerja untuk sebuah perusahaan konstruksi besar mengatakan, ”Faktor pendorong saya adalah keterikatan dengan bisnis dan keinginan untuk meraih sukses. Jika lokasi pekerjaan saya jauh dari rumah, saya menengok keluarga paling-paling hanya sejenak di akhir pekan.” Apa yang mengubah drastis keadaannya? Jawabnya, ”Saya takut mati, khawatir akan apa yang terjadi atas keluarga saya jika saya mati. Saya bertanya-tanya mengapa istri dan putra saya selalu bersukacita jika hendak mengabar.” Sewaktu Shunji membantu sidang setempat dengan memberikan perincian teknik dalam membangun Balai Kerajaan, seorang penatua menganjurkan dia untuk menerima pengajaran Alkitab di rumah. Ia bersedia, dan sekarang ia ikut bersukacita bersama keluarganya dalam dinas perintis biasa. Ia juga menikmati pelayanannya di Panitia Pembangunan Regional.
Butuh iman yang sungguh-sungguh dan semangat rela berkorban bagi kepala keluarga untuk meninggalkan status sebagai karyawan dengan jaminan pekerjaan seumur hidup dan kemudian berganti pekerjaan penggal waktu yang tidak menentu guna mempunyai waktu yang dibutuhkan untuk melayani sebagai perintis. Ayahnya Mitsunobu dari Chiba berganti pekerjaan. Ia menjadi pengumpul kertas bekas, dari kantor ke kantor, untuk didaur ulang di sebuah perusahaan besar tempat ia sebelumnya bekerja, sementara bekas rekan-rekan sejawatnya telah menduduki jabatan manajer. Dengan penghargaan yang sejati, Mitsunobu berkata, ”Saya sangat berterima kasih kepada orang-tua saya, yang secara pribadi mengajar saya cara menghargai dinas perintis, dengan demikian membantu saya menjadikannya karier saya sendiri!” Orang-orang semacam itu yang membuat penyesuaian dalam kehidupannya yakin bahwa imbalan materi hanya sementara saja, sedangkan harta rohani jauh lebih tinggi nilainya.—Mat. 6:19-21.
Jagalah Kesehatan supaya Panjang Umur!
Problem kesehatan yang serius juga berhasil diatasi oleh beberapa orang yang dengan tulus berhasrat untuk melakukan sebisa-bisanya dalam dinas Yehuwa. ”Paling-paling, Anda hanya sempat melihat putra Anda bertumbuh besar. Jangan bekerja berlebihan, tetapi jagalah kesehatan supaya Anda panjang umur.” Itulah yang dikatakan dokter yang mendiagnosis problem kesehatan Yaeko Ono sehubungan dengan jantungnya. Putranya pada waktu itu baru berusia tiga tahun. ”Bagaimana caranya saya dapat menjalani kehidupan ini sehingga saya tidak akan menyesal nantinya?” tanyanya kepada diri sendiri dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Setibanya di rumah, ia bertekad untuk menjadi perintis. Sewaktu sanak saudaranya mengetahui hal ini, mereka khawatir, tetapi itu tidak mengubah pendiriannya. Ia mengatakan, ’Saya mulai merintis pada bulan September 1978. Saya tidak tahu bahwa pada waktu itu saya sedang mengandung. Ibu saya sakit parah. Keadaan saya sendiri memburuk. Namun, kata-kata Yesus memberikan ketabahan kepada saya, ”Dengan iman sebesar biji moster, gunung pun dapat dipindahkan.” (Mat. 17:20) Saya memutuskan untuk melakukan sebaik-baiknya.’
Setelah 17 tahun, Yaeko mengatakan, ”Saya merasa bahwa tangan penghiburan Yehuwa telah melindungi saya.” Adakalanya, problem-problem nyaris membuatnya kewalahan, namun ia akan mengingat kembali berkat-berkat Yehuwa, dan hal ini membantunya untuk bertekun. Terpengaruh oleh gairahnya, sang suami mulai belajar. Dan sukacitanya mencapai puncak sewaktu, sebagai jawaban atas doanya yang sungguh-sungguh, sang suami menjadi rekan perintisnya!
Sekaliber inilah para perintis di Jepang. Masih banyak lagi yang dapat disebutkan—seperti misalnya seorang saudara yang lumpuh dari leher ke bawah namun senantiasa menjadi sumber anjuran bagi orang lain karena ia melayani sebagai perintis yang kegiatannya sebagian besar adalah lewat surat-menyurat, seorang saudari yang dilahirkan tepat pada pergantian abad ini dan menggunakan 13 tahun terakhirnya hingga tahun 1994 sebagai perintis di daerah yang dingin bersalju, dan seorang penatua tunanetra yang pindah ke sebuah kota untuk merintis dan membantu sidang kecil di sana. Mereka semua, sebagaimana halnya saksi-saksi yang setia pada zaman dahulu, sekalipun menderita kelemahan fisik, ”dibuat menjadi penuh kuasa” oleh Allah untuk melakukan kehendak-Nya.—Ibr. 11:32-34.
Menerjemahkan New World Translation ke Dalam Bahasa Jepang
Di seluruh dunia, salah satu tanda pengenal Saksi-Saksi Yehuwa adalah penggunaan Alkitab dalam kesaksian umum. Di Jepang, para penyiar sungguh-sungguh mendambakan sebuah Alkitab yang akurat dan mudah dibaca dalam bahasa Jepang modern. Banyak orang merasa sulit memahami terjemahan Alkitab klasik. Meskipun terjemahan Alkitab ini ditulis dengan ungkapan yang indah dan secara konsisten memuat nama suci Allah, orang-orang yang mengenyam pendidikan setelah masa perang mengalami kesulitan dalam memahami tata kalimatnya yang kuno. Oleh karena itu, pada bulan Januari 1970, saudara-saudara di kantor cabang sangat senang sewaktu menerima surat dari kantor pusat yang mengizinkan penerjemahan Kitab-Kitab Yunani New World Translation ke dalam bahasa Jepang.
Tiga tahun kemudian, pada Kebaktian Internasional ”Kemenangan Ilahi” di Osaka, hadirin sejumlah 31.263 memberikan sambutan meriah dengan luapan sukacita ketika Lyman Swingle, dari Badan Pimpinan, mengumumkan diterbitkannya edisi bahasa Jepang dari Kitab-Kitab Yunani Kristen Terjemahan Dunia Baru. Selama sembilan tahun sejak diterbitkannya terjemahan itu, 1.140.000 eksemplar telah disiarkan, kira-kira 75 kali besarnya jumlah penyiar pada waktu terjemahan itu pertama kali diterbitkan. Alkitab itu dicetak di Amerika Serikat, tetapi tidak lama kemudian, pencetakan dan penjilidan Alkitab itu dilakukan di fasilitas kami di Jepang.
Dapatkah Mutu Tempat Berhimpun Ditingkatkan?
Seraya jumlah sidang terus berlipat ganda di seluruh Jepang, semakin jelas bahwa tempat berhimpun yang memadai sangat dibutuhkan. Sebelum tahun 1970-an, sangat sedikit sidang yang mempunyai tempat berhimpun sendiri. Bahkan, hanya ada sembilan Balai Kerajaan yang ditahbiskan selama dekade 1960-an. Pada umumnya sidang-sidang berhimpun di gedung pertemuan umum yang disewa atau di rumah-rumah pribadi.
Sewaktu mengenang ketidaknyamanan ”perhimpunan darurat” ini, Ai Nakamura, seorang saudari di Hirosaki, mengatakan, ”Sekitar tahun 1963, kami menyewa Balai Pendidikan kota setiap akhir pekan, dan apabila gedung pertemuan itu sedang tidak dapat digunakan, sidang yang beranggotakan 15 orang datang ke rumah saya untuk berhimpun. Kami semua harus membantu membawa majalah, lektur, podium portabel, dan lain-lain, setiap kali hendak berhimpun.” Gedung-gedung pertemuan sewaan itu sering kali bau asap rokok serta sarat dengan dekorasi slogan politik dan agama. Ini sama sekali bertolak belakang dengan kandungan rohani perhimpunan Saksi-Saksi.
Molly Heron dan Lois Dyer masih ingat akan ruangan yang mereka sewa di Kyoto untuk tempat berhimpun. Itu adalah sebuah ruang beralaskan tatami, semacam tikar jerami, di lantai dua sebuah toko. Ruangan itu diapit oleh ruangan-ruangan lainnya. Di ruang sebelah, diadakan kursus samisen, alat musik petik ala Jepang; sedangkan di ruang sebelah lagi, para pria sedang bermain go, semacam catur Jepang. ”Di antara suara hiruk pikuk itu, kami berupaya memimpin pelajaran Menara Pengawal. Seperti itulah tempat yang kami dapat pakai pada masa itu,” kata Lois Dyer. Karena kami tidak mempunyai tempat berhimpun yang permanen seperti kelompok-kelompok agama lainnya, orang-orang cenderung merasa bahwa kami hanyalah sekte kecil dan darurat.
Tetapi, pada pertengahan tahun 1970-an, dengan bertambahnya jumlah sidang baru, saudara-saudara mencari gedung yang dapat mereka gunakan sebagai Balai Kerajaan. Pada bulan Juli 1974, ke-646 sidang menggunakan sekitar 200 Balai Kerajaan yang tersebar di seluruh negeri. Dari antaranya, 134 balai telah ditahbiskan pada tahun dinas 1974 saja.
Meskipun keadaan keuangan saudara-saudara kita terbatas, mereka benar-benar panjang akal. Misalnya, di Pulau Kyushu, Sidang Kitakyushu Wakamatsu membangun Balai Kerajaan seluas 130 meter persegi di atas sebidang tanah yang disediakan oleh salah seorang penyiar sidang setempat. Sidang memperoleh secara cuma-cuma papan kayu dan genteng bekas dari lima rumah yang sedang dirobohkan. Mereka juga mendapat kayu gratis dari rumah pemandian umum yang sudah tidak beroperasi lagi. Bahan-bahan bangunan yang mereka beli hanyalah untuk mempercantik bagian luar dan bagian dalam balai. Dari sebuah bioskop yang bangkrut di daerah itu, mereka memperoleh kursi-kursi secara cuma-cuma, mengecatnya kembali, dan memasangnya di dalam balai. Setelah bekerja keras selama enam bulan, saudara-saudara mempunyai sebuah Balai Kerajaan yang bagus.
Karena harga tanah yang luar biasa tinggi, beberapa Saksi yang memiliki properti di daerah perkotaan, merobohkan rumah mereka dan membangunnya kembali menjadi Balai Kerajaan di lantai pertama dan tempat tinggal mereka di lantai atas.
Konstruksi Kantor Cabang Diperlukan untuk Tetap Seiring Sejalan
Seraya seorang anak bertambah besar, pakaiannya pun bertambah sempit; demikian pula, fasilitas yang digunakan oleh kantor cabang Jepang berulang-kali membutuhkan perluasan untuk menangani pertambahan jumlah Saksi di negeri ini. Pada tahun 1971, dibuat rencana untuk mendirikan bangunan percetakan tiga lantai dan Rumah Betel lima lantai di Numazu, berhiaskan panorama yang jelas berupa Gunung Fuji nan indah.
Pada mulanya, bangunan percetakan sebagian besar digunakan untuk mencetak Menara Pengawal dan Sedarlah! dalam bahasa Jepang. Dalam hal ini, pencetakan edisi khusus Sedarlah! 8 Oktober 1972 di mesin cetak rotari Tokyo Kikai yang baru dipasang yang berbobot 40 ton merupakan suatu tonggak sejarah. Itulah majalah pertama yang diproduksi oleh saudara-saudara kita di percetakan kami di Numazu. Namun, para petugas ruang cetak harus banyak belajar. Adakalanya mereka bertanya-tanya apakah mereka mampu mengoperasikan mesin cetak ini dengan benar. ”Pada masa itu,” kata seorang saudara yang bertugas di ruang cetak, ”tinta pada beberapa huruf begitu tebalnya sehingga dapat terbaca dengan merabanya!” Huruf-huruf lainnya terlalu pudar atau tidak rata. Akan tetapi, seraya saudara-saudara mulai berpengalaman, mutu cetak membaik dan jumlah penempatan majalah dalam dinas pengabaran meningkat.
Ketika Saudara Knorr menyampaikan khotbah pada acara penahbisan fasilitas kantor cabang di Numazu pada tahun 1973, para undangan berkumpul di ruang kosong di lantai tiga bangunan percetakan yang baru. Sewaktu mengacu kepada rencana penggunaan ruangan itu, ia mengatakan, ”Ruang kosong ini menggambarkan iman saudara. Kita percaya bahwa ruang ini akan dibutuhkan setahun atau dua tahun lagi. Organisasi Allah sedang bergerak maju dengan kecepatan yang luar biasa.”
Seperti yang diperkirakan Saudara Knorr, ruang kosong ini segera terisi. Pada tahun 1974, dua bangunan tambahan dibutuhkan—untuk pergudangan dan untuk akomodasi bagi para pekerja. ”Ini adalah konstruksi pertama yang dilakukan sendiri oleh Saksi-Saksi di Jepang,” kata Toshio Honma. ”Kami agak khawatir apakah akan ada cukup tenaga yang berpengalaman. Allah memberkati kami dengan menyediakan orang-orang seperti Tadazo Fukayama, pengawas konstruksi yang telah berpengalaman kerja selama 30 tahun pada sebuah perusahaan kontraktor bangunan terkemuka.”
Setelah bertahun-tahun menggeluti pekerjaan yang membawanya jauh dari rumah, Tadazo baru mengundurkan diri dari pekerjaannya agar dapat menggunakan lebih banyak waktu bersama keluarganya. Jadi perasaannya campur aduk sewaktu ia diminta untuk mempertimbangkan kemungkinan datang ke Numazu guna mengawasi pekerjaan perluasan Betel. Apakah kali ini ia harus meninggalkan keluarganya lagi? ”Tidak!” demikian jawaban kantor cabang. Istri dan kedua putranya, yang berusia 18 dan 20 tahun, juga diundang.
Meskipun bangunan yang didirikan pada waktu itu relatif kecil dibandingkan dengan yang akan datang, proyek ini memberikan pengalaman dan keyakinan kepada saudara-saudara bahwa dengan bantuan Yehuwa, mereka bahkan dapat menangani proyek-proyek yang lebih besar.
Saudara-Saudara Setempat Menerima Tanggung Jawab yang Lebih Berat
Pada bulan April 1975, Lloyd Barry, yang telah menjadi pengawas cabang sejak tahun 1952, meninggalkan Jepang untuk melayani sebagai salah seorang anggota Badan Pimpinan Saksi-Saksi Yehuwa. Dengan bergairah ia ambil bagian dalam pekerjaan sewaktu organisasi teokratis berkembang dari 8 penyiar pada tahun 1949 hingga mencapai lebih dari 30.000 pemberita Kerajaan yang bergairah. Sewaktu ia berangkat, pengawasan kantor cabang dipercayakan kepada Toshio Honma, saudara asal Jepang yang pada waktu itu melayani sebagai pengawas percetakan.
Sehubungan dengan kesanggupan Saudara Honma, asistennya di percetakan mengatakan, ”Toshio bukan orang yang hanya duduk diam menunggu orang lain menyuruhnya melakukan suatu pekerjaan selangkah demi selangkah. Jika ia diberi tugas dan diberi tahu, ’Inilah tujuan yang akan kita capai’, ia akan mengerjakan tugas itu dengan giat dan penuh inisiatif. Ia seorang organisator yang baik dan orang-orang termotivasi olehnya.”
Perubahan lain sehubungan dengan pengorganisasian terjadi pada bulan Februari 1976. Serempak dengan cabang-cabang lain di seluas dunia, pengawasan kantor cabang di Jepang kini ditangani oleh suatu panitia yang terdiri dari saudara-saudara dan bukan oleh seorang pengawas cabang saja. Kelima anggota yang mula-mula diangkat adalah Toshio Honma, selaku koordinator, Masataro Oda, Shigeo Ikehata, Kiichiro Tanaka, dan James Mantz. Pengaturan baru ini langsung diterima oleh saudara-saudara Jepang, karena mereka telah terbiasa dengan konsep pendekatan kerja kelompok dan konsep bermufakat dalam proses pengambilan keputusan. Salah seorang anggota panitia belakangan menyatakan, ”Dengan adanya pengaturan Panitia Cabang, saudara-saudara melihat sekelompok saudara yang matang sebagai perwakilan dari organisasi. Hasilnya, perhatian saudara-saudara tertuju pada organisasi Allah dan bukannya kepada satu pribadi.” Apabila keputusan yang berat harus diambil, pengaturan ini menyediakan sekelompok pria rohani dengan beragam latar belakang dan kesanggupan untuk mempertimbangkannya dan untuk meminta bimbingan roh kudus dan Firman Allah.
Pada bulan Januari 1983, Masataro Oda, yang telah melayani di Betel sejak Februari 1960, menjadi koordinator. Ia menggantikan Saudara Honma, yang pada waktu itu telah mempunyai putra berusia dua tahun untuk dinafkahi. Yang pernah melayani sebagai anggota Panitia Cabang antara lain adalah Ryosuke Fujimoto, Percy Iszlaub, Isamu Sugiura, Yoshihiro Nagasaki, Makoto Nakajima, Kenji Mimura, dan Richard Bailey. Sekarang ini, ada tujuh saudara yang melayani sebagai anggota Panitia Cabang. Seraya pekerjaan berkembang, tiap-tiap saudara ini dengan rendah hati menyumbangkan bakatnya demi kemajuan kepentingan Kerajaan Allah di bagian dari ladang dunia ini.
”Pada saat ini, sewaktu kami mengenang kembali,” kata Saudara Oda, ”kami dapat melihat hikmat ilahi dari pengaturan kepanitiaan ini. Sejak tahun 1976, ketika pengaturan kepanitiaan diperkenalkan, pekerjaan telah mencapai taraf yang tidak mungkin lagi ditangani oleh satu orang saja. Yehuwa memberikan hikmat kepada Badan Pimpinan untuk mendelegasikan tanggung jawab kepada banyak saudara, dan dengan demikian arus pekerjaan berlangsung mulus tanpa hambatan.”
Saudara-Saudara Setempat Mengorganisasi Kebaktian
Demikian pula, pada tahun 1970-an, tanggung jawab sehubungan dengan pengorganisasian kebaktian mulai dialihkan kepada Saksi-Saksi setempat. Salah seorang pengawas distrik asal Jepang yang pertama melayani sebagai pengawas kebaktian adalah Takashi Abe. Ia memperoleh pengalaman yang berharga dengan bekerja bersama para utusan injil seperti Percy Iszlaub. Percy pernah menjadi pengawas kebaktian pada Kebaktian Internasional ”Damai di Bumi” yang diselenggarakan di Stadion Balap Sepeda Korakuen Tokyo pada tahun 1969. Dua tahun kemudian, Saudara Abe bertindak selaku pengawas kebaktian untuk kebaktian nasional yang diselenggarakan di stadion yang sama. Dengan pengalaman yang diperolehnya pada kebaktian tahun 1969, segala sesuatu berjalan lancar. Namun, tanggung jawab yang lebih berat menyusul.
Pada tahun 1973, Saudara Abe diangkat oleh Lembaga untuk menjadi pengawas kebaktian pada Kebaktian Internasional ”Kemenangan Ilahi” selama lima hari yang akan diselenggarakan di Osaka. Jumlah hadirin diperkirakan akan mencapai 30.000 orang, termasuk 400 anggota delegasi dari luar negeri. Bagaimana reaksinya? Ia mengenang, ”Ketika saya menerima surat pengangkatan, sampai-sampai saya jatuh sakit dan tidak dapat bangun dari tempat tidur selama beberapa hari, bahkan saya tidak dapat duduk. Yang terpikir hanyalah tantangan untuk mengorganisasi seluruh departemen kebaktian. Betapa senangnya saya ketika, beberapa bulan sebelum kebaktian, saya menerima buku kecil Convention Organization (Pengorganisasian Kebaktian) dari Lembaga! Dengan mengikuti prosedur yang berlandaskan Alkitab, banyak problem teratasi.”
Salah satu tantangan yang harus segera diatasi adalah menyediakan cukup tempat duduk bagi semua delegasi. Kebaktian akan diadakan di Festival Plaza di Expo (1970) Memorial Park, Osaka, tetapi plaza itu tidak mempunyai tempat duduk atau panggung. Sidang-sidang di sekitarnya diminta mencari informasi sehubungan dengan kursi lipat yang dapat disewa untuk kebaktian. Semua kepala sekolah di sebuah kota dihubungi. Juga, pimpinan pabrik peralatan listrik terbesar di Jepang ditanya apakah perusahaannya bersedia menyewakan kursi untuk kebaktian. Seorang wakil perusahaan mengadakan pertemuan dengan pengawas kebaktian sehubungan dengan permintaan ini. Meskipun perusahaan tidak mempunyai kursi lipat ekstra yang dapat mereka sewakan, mereka bersedia menyumbangkan uang untuk menyewa 5.000 kursi. Namun, masih butuh lebih banyak kursi. Apa jalan keluarnya? Membuat bangku-bangku dari perancah sewaan dari sebuah perusahaan konstruksi. Bangku-bangku tersebut selesai dibuat beberapa hari sebelum kebaktian, dan terdapat 31.263 orang yang mendengarkan khotbah umum. Karena jumlah yang berkembang pesat, inilah terakhir kalinya Saksi-Saksi Yehuwa di Jepang dan Okinawa dapat menikmati kebaktian bersama-sama.
Lima anggota Badan Pimpinan serta pengawas percetakan dari kantor pusat sedunia di Brooklyn menghadiri kebaktian dan menganjurkan hadirin. Ada pula delegasi-delegasi dari Amerika Serikat, Australia, Guatemala, Hawaii, Inggris, Jerman, Kanada, Nigeria, Papua Nugini, dan Selandia Baru, membuat kebaktian ini benar-benar bernuansa internasional.
Setelah kebaktian di Osaka, lebih banyak saudara setempat mulai memikul tanggung jawab pengorganisasian kebaktian. Ini memudahkan saudara-saudara untuk menyeimbangkan pekerjaan persiapan kebaktian dengan tanggung jawab mereka yang lain. Selain itu, para pengawas keliling sekarang dapat memusatkan perhatian pada penugasan mereka sebaliknya daripada menggunakan waktu berbulan-bulan sebelum tiap-tiap kebaktian untuk mempersiapkan jalannya kebaktian.
Kebaktian Internasional ”Iman yang Berkemenangan” Tahun 1978
Kebaktian internasional keempat yang diselenggarakan di Jepang adalah Kebaktian ”Iman yang Berkemenangan” yang berlangsung selama lima hari pada tahun 1978. Kali ini, empat lokasi kebaktian digunakan untuk menampung semua yang hadir. Di lokasi kebaktian utama di Osaka terdapat puncak hadirin sebanyak 31.785, termasuk lebih dari 200 delegasi asal Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Swiss, serta negara-negara lain di Eropa, Asia, dan Amerika Selatan. Tiga anggota Badan Pimpinan yang hadir turut ambil bagian dalam acara kebaktian.
Semangat kerja sama yang baik telah dipupuk selama bertahun-tahun. Saudara-saudara yakin sepenuhnya bahwa dengan bantuan Yehuwa, mereka sanggup menghadapi penugasan teokratis yang bahkan lebih besar lagi.
Dari Arena Boling Menjadi Balai Kebaktian
Halnya mulai nyata bahwa selain memiliki Balai Kerajaan, saudara-saudara membutuhkan fasilitas yang lebih besar yang selalu siap sedia untuk penyelenggaraan kebaktian. Pada awal tahun 1970-an, banyak fasilitas umum tidak disewakan kepada kelompok agama, dan kontrak sewa gimnasium dapat dibatalkan pada menit-menit terakhir karena pertandingan-pertandingan olahraga setempat mendapat prioritas. Hirofumi Morohashi, yang bertindak selaku pengawas kebaktian di Tokyo dan sekitarnya selama bertahun-tahun, mengenang insiden tertentu yang menggerakkan saudara-saudara untuk mulai membangun Balai Kebaktian sendiri. Ia mengatakan, ”Pada tahun 1974, kami membayar uang muka sebesar 200.000 yen [700 dolar AS] untuk menyewa sebuah balai di taman hiburan di Oyama City untuk kebaktian wilayah kami. Kemudian, taman hiburan itu bangkrut. Dengan susah payah kami berupaya mengambil kembali uang muka itu sambil mencari lokasi lain untuk menyelenggarakan kebaktian.” Kemudian, Percy Iszlaub memperlihatkan kepada mereka foto sebuah pabrik tenun di Australia yang telah direnovasi menjadi Balai Kebaktian yang cantik. Saudara-saudara di Tokyo merasa bahwa kinilah waktunya untuk mencoba sesuatu seperti itu.
Mereka menemukan arena boling yang tidak digunakan lagi. Letaknya di Higashi-Matsuyama, daerah pinggiran Tokyo. Pemilik bangunan itu, yang sama sekali tidak mengenal Saksi-Saksi Yehuwa, menyurati keluarga yang pernah menjadi induk semangnya di Amerika Serikat dan bertanya kepada mereka tentang Saksi-Saksi Yehuwa. Ia menerima surat balasan yang isinya dengan positif menceritakan bahwa Saksi-Saksi Yehuwa adalah kelompok agama yang paling dapat dipercaya di Amerika Serikat. Sejak saat itu, segala sesuatu berjalan mulus, dan kontrak pun ditandatangani.
Dengan demikian, pada bulan Desember 1976, Balai Kebaktian yang pertama di Jepang dirampungkan. Sementara itu, proyek konstruksi penting lainnya sedang berlangsung.
Yehuwa Mengatur Perpindahan
Pada waktu fasilitas yang diperluas di Numazu ditahbiskan pada tahun 1977, jumlah penyiar telah mencapai lebih dari 40.000. Kepada kantor cabang diinstruksikan untuk mencari sebidang tanah yang 300 persen lebih luas daripada properti di Numazu. Sebuah pabrik tekstil tua ditemukan di Ebina, terletak di antara Numazu dan Tokyo, di atas tanah seluas tujuh hektar. Tanah ini 1.600 persen lebih luas daripada lokasi di Numazu. Tetapi, apakah Badan Pimpinan akan menyetujui perpindahan semacam itu di sebuah negeri yang harga tanahnya luar biasa tinggi? Properti ini harganya dua kali lipat jumlah yang dibayarkan Amerika Serikat kepada Rusia sewaktu menebus Alaska pada tahun 1867. Untuk sementara, tidak ada tanggapan dari kantor pusat. ”Kemudian, tiba-tiba, Saudara Barry datang dari New York bersama Max Larson, pengawas percetakan Lembaga di Brooklyn, untuk melihat lokasi tanah, dan kami mendapat persetujuan,” kata Toshio Honma. ”Sewaktu mengenang kembali perkembangan yang kami alami selama 20 tahun terakhir, kami bersyukur kepada Yehuwa karena membimbing kami untuk membeli properti yang sangat luas tersebut.”
Pada bulan Januari 1979, konstruksi sebuah bangunan percetakan dua lantai, sebuah bangunan kantor, tiga bangunan tempat tinggal berisi 161 kamar Betel, sebuah Balai Kerajaan, dan dua bangunan bengkel yang lebih kecil dimulai. Itu adalah salah satu proyek konstruksi terbesar yang pernah dilakukan Saksi-Saksi Yehuwa di seluruh dunia pada waktu itu.
Banyak kepala keluarga yang memiliki keterampilan konstruksi meninggalkan pekerjaan duniawi mereka dan pindah bersama keluarganya ke Ebina atau kota-kota di sekitarnya agar dapat ambil bagian dalam pekerjaan pembangunan. Yoshiaki Nishio adalah salah seorang dari antaranya. Sewaktu ia menerima undangan pertamanya untuk ambil bagian dalam proyek ini sebagai pandai pipa, ia baru saja pindah ke sebuah kota kecil di Pulau Shikoku yang lebih membutuhkan tenaga pemberita. Karena ia mempunyai tiga anak kecil, belum mendapat pekerjaan, dan tidak punya cukup biaya, pada awalnya ia menolak. Tetapi, ketika ia menerima undangan yang ketiga lewat kilat khusus, ia merasa bahwa Yehuwa-lah yang menyuruhnya pergi. Ia membicarakan hal ini dengan istrinya, yang bersedia menafkahi keluarganya selama ia pergi. ”Ketika saya tiba di Betel, saya baru tahu bahwa ternyata yang diundang adalah kami berlima! Sungguh luar biasa!” kenang Yoshiaki. Ketiga anaknya menjadi perintis setelah mereka besar, dan salah seorang dari antaranya sekarang melayani sebagai anggota keluarga Betel di Ebina.
”Berulang-kali kami melihat Yehuwa membuka jalan bagi kami sehubungan dengan proyek konstruksi,” kenang James Mantz, ketua Panitia Konstruksi. ”Kami menghadapi rintangan yang luar biasa besar. Pemerintah Prefektur Kanagawa memberlakukan undang-undang antipolusi yang paling ketat di seluruh negeri. Kami dilarang untuk membuang setetes limbah pun di saluran air yang melintasi properti. Namun Yehuwa membuka jalan bagi kami. Pabrik yang terdahulu di properti itu biasa mendinginkan mesin dengan air dari tiga sumur. Air itu dialirkan ke saluran ini dan dimanfaatkan oleh para tetangga untuk mengairi ladang mereka. Ketika para tetangga mendengar bahwa persediaan air ini akan disingkirkan, mereka menghadap pejabat kota dan mengeluh, ’Kami bergantung pada air dari properti tersebut untuk mengairi ladang kami.’ Jadi pejabat kota membalikkan keputusannya dan menetapkan jumlah minimum air yang harus kami alirkan ke saluran air tersebut setiap hari untuk memenuhi kebutuhan para petani. Selain air limbah yang telah dimurnikan yang dialirkan ke saluran air, kami harus memompa air dari sumur kami guna memenuhi kebutuhan para petani.”
Dengan dihadiri oleh Frederick Franz, yang ketika itu adalah presiden Lembaga Menara Pengawal, bangunan-bangunan yang telah rampung ditahbiskan kepada Yehuwa pada tanggal 15 Mei 1982. Lloyd Barry dan istrinya, Melba, juga hadir dan ambil bagian dalam program penahbisan. Sewaktu Saudara Barry mewawancarai 14 rekan lulusan Gileadnya yang diutus ke Jepang dari kelas ke-11, hadirin dapat merasakan kasihnya yang dalam kepada saudara-saudara Jepangnya.
Kemajuan dalam Kuantitas dan Kualitas
Jumlah penyiar terus meningkat; demikian pula dengan permintaan akan lektur. Bahkan sebelum penahbisan fasilitas di Ebina, pada bulan Oktober 1979 kantor cabang sudah membeli mesin cetak ofset web (yang mencetak di atas gulungan kertas) yang pertama. Mesin cetak ini berbobot mati 75 ton, dengan panjang 20 meter, dan dapat memproduksi 300 majalah per menit, dalam tata warna penuh. Apakah mesin itu memenuhi kebutuhan kita?
”Pada tahun 1981,” kenang Saudara Mantz, ”kami mendapat kunjungan dari Saudara Jaracz selaku pengawas zona. Ia memperhatikan bahwa kegiatan cetak-mencetak kami terdiri dari dua regu kerja (shift) dan ia mengusulkan agar kami meminta persetujuan untuk membeli satu mesin cetak lagi. Kami sungkan untuk meminta tambahan satu mesin cetak lagi karena kami merasa bahwa menggunakan satu mesin cetak saja akan lebih menghemat. Akan tetapi, sebulan kemudian kami menerima instruksi dari Brooklyn untuk memesan mesin cetak ofset rotari kami yang kedua. Pada waktu itu, kami sama sekali tidak tahu tugas apa yang menanti kami. Tetapi, ketika mesin diantar pada bulan Mei tahun berikutnya, kami harus segera mulai memproduksi New World Translation lengkap dalam bahasa Jepang untuk diperkenalkan di kebaktian distrik yang akan berlangsung dua bulan lagi. Pada kebaktian itu, buku Saudara Dapat Hidup Kekal Dalam Firdaus di Bumi juga akan diperkenalkan. Jadi, sekali lagi kami dapat melihat tangan Yehuwa mengarahkan segala sesuatu. Kami tidak akan mungkin dapat memproduksi majalah, Alkitab, dan buku hanya dengan menggunakan satu mesin cetak saja.”
Mesin cetak yang ketiga, Mitsubishi berkekuatan tinggi, dipasang pada tahun 1984. Mesin ini memiliki dua web (gulungan kertas) dan empat unit warna selain unit ekstra warna hitam; mesin ini dapat memproduksi 1.000 majalah per menit. Pada waktu itu, mesin ini adalah yang tercepat di seluruh negeri dan menjadi bahan perbincangan di kalangan perusahaan percetakan duniawi. Ichiki Matsunaga, yang diberi pelatihan khusus untuk mengoperasikan mesin cetak itu, merasa tergetar ketika melihat mesin ini bekerja pada kecepatan maksimum. ”Namun,” katanya, ”yang bahkan lebih menggetarkan lagi adalah sewaktu membayangkan kecepatan yang luar biasa dari penyiaran berita-berita tercetak ini.”
Bagaimana 60.000 majalah per jam dapat ditangani secara efisien? Belakangan, saudara-saudara di bengkel mesin merancang dan membuat sistem ban berjalan elektris yang mengangkut majalah dari mesin cetak melewati mesin pengepresan hidraulis dan sebuah mesin potong (trimmer) dengan tiga bilah pisau sebelum diangkut ke bagian pengepakan. Pengawas pengoperasian menjelaskan, ”Mesin cetak ini memproses setengah ton gulungan kertas setiap 20 menit, dan di ujung sana, majalah langsung dikemas ke dalam kardus berlabel, siap untuk dikirim.” Dalam waktu lima menit, kertas keluar dari gulungannya melewati mesin cetak, mesin potong, dan ke dalam kardus. Sistem yang berkesinambungan ini mengurangi jumlah pekerja dan ruang penyimpanan.
Hasil cetak bermutu tinggi yang dimungkinkan oleh peralatan ini, disertai dengan perbaikan mutu gambar dan mutu kertas, sangat menambah daya tarik majalah kita. Para penyiar dengan penuh semangat menawarkannya dalam dinas pengabaran.
”Sederetan Spesialis”
Untuk mengimbangi laju perkembangan percetakan ofset, Lembaga mulai mengkomputerisasikan kegiatan pracetaknya. Apakah ada Saksi-Saksi asal Jepang dengan latar belakang teknik yang memadai yang merelakan diri untuk menggarap proyek itu? Ada! Yasuo Ishii, salah seorang pelopor teknis dalam bidang sains komputer di Jepang, telah menjadi hamba Yehuwa yang berbakti. Ia juga telah membagikan imannya kepada rekan-rekan sejawatnya. Sebagai hasilnya, enam orang insinyur sistem komputer sekaligus pakar pemrograman telah menjadi Saksi-Saksi yang terbaptis. Mereka semua menerima undangan untuk turut menggarap proyek Lembaga, sebagian sebagai anggota keluarga Betel dan yang lain sebagai komuter. Sewaktu mengenang kembali hal ini, Toshio Honma, koordinator Panitia Cabang pada waktu itu, mengatakan, ”Yehuwa mempunyai sederetan spesialis yang akan diutus-Nya pada waktu yang tepat.”
Sehubungan dengan komputer yang akan digunakan, kantor pusat di Brooklyn mengusulkan untuk menyewa komputer kerangka induk (mainframe) IBM model 4341 yang belum dipasarkan. Kantor cabang Lembaga di Jepang mendapat jatah giliran kedua untuk menerima salah satu komputer kerangka induk terbaru ini. Akan tetapi, agen IBM di Jepang merasa bahwa lebih baik perangkat komputer itu diberikan kepada salah satu pelanggan tetap mereka yang telah memiliki tenaga-tenaga pemrogram. Kelima saudara dan seorang saudari yang menggarap proyek ini segera mengajukan spesifikasi kebutuhan Lembaga yang unik. Setelah melihat spesifikasi yang terperinci ini, IBM Jepang langsung memprioritaskan pesanan kami sehingga kami termasuk penerima pertama komputer model terbaru ini.
Di bawah pengarahan yang terampil para spesialis ini, lebih dari 40 tenaga sukarela yang terdiri dari saudara-saudari muda mendapat pelatihan untuk menjadi pemrogram. Tujuannya adalah untuk membuat sebuah sistem yang sepenuhnya otomatis untuk penyusunan huruf dan komposisi dari publikasi-publikasi Lembaga yang berbahasa Jepang. Sistem ini kemudian dinamakan SCRIPT (System of Character Reproduction Incorporating Photo-Typesetting atau Sistem Reproduksi Huruf Berikut Penyusunan Huruf dan Tata-Letak-Gambar). Dalam waktu kurang dari dua tahun, sistem itu siap diuji coba. Publikasi pertama yang diproduksi dengan menggunakan sistem itu adalah buku setebal 192 halaman berjudul ”Datanglah Kerajaanmu”.
Pada tahun 1987, kapasitas komputer biasa telah sedemikian majunya sehingga dapat memenuhi kebutuhan khusus huruf-huruf Jepang. Jadi sewaktu terjadi kerusakan pada sistem penyusunan huruf dan tata-letak-gambar yang dihubungkan dengan sistem SCRIPT, dilakukan pengalihan ke sistem penyusunan huruf produksi Lembaga yang tidak begitu mahal. Keistimewaan-keistimewaan khusus yang telah dikembangkan oleh saudara-saudara kita untuk sistem SCRIPT, dengan menggabungkan ”abjad” Jepang yang terdiri dari sekitar 8.000 karakter yang rumit, kemudian dipadukan ke dalam sistem MEPS. Sejumlah pemrogram yang menggarap sistem komputer kantor cabang Jepang sekarang melayani di luar negeri untuk mendukung sistem percetakan Lembaga di seluas dunia.
Departemen Baru Mulai Beroperasi
Selama hampir 30 tahun, buku-buku berbahasa Jepang untuk disiarkan dalam dinas pengabaran diproduksi di percetakan Lembaga di Brooklyn. Namun, ketika konstruksi bangunan percetakan baru sedang berlangsung di Ebina pada tahun 1978, diambil keputusan bahwa kantor cabang Jepang akan mulai memproduksi buku-bukunya sendiri.
Ketika mengetahui rencana ini, presiden direktur dari sebuah perusahaan bahan perekat mengunjungi kami. Ketika ia mengetahui bahwa kami berniat untuk membuat bahan perekat sendiri, ia menawarkan jasa memasok bahan baku dan peralatan yang dibutuhkan. Atau jika kami setuju, ia senang membuatkan perekat untuk kami hanya dengan membayar harga pokoknya saja. Mengapa? Beberapa tahun sebelumnya, ia menghadiri pameran mesin cetak dan jilid di Chicago, AS. Di sana, ia dan rekan-rekannya berjumpa dengan saudara-saudara dari Betel Brooklyn, yang mengundang mereka mengunjungi percetakan Lembaga Menara Pengawal di New York. Mereka semua sangat terkesan melihat jalannya seluruh proses produksi, khususnya kebaikan hati dan kerja keras saudara-saudara. Sekarang, ia ingin membantu kami sebisa-bisanya. Ternyata bahan perekat yang kami beli darinya lebih murah daripada jika kami membuatnya sendiri. Berkat surat pengantar yang ia berikan, kami juga dapat berhubungan dengan pemasok bahan lainnya, dan ini menghasilkan penghematan yang luar biasa besar.
Banyak produsen mesin bersedia bekerja sama dengan cara yang serupa. Sewaktu wakil-wakil sebuah pabrik mesin potong dan mesin pengumpul buku (gatherer) datang ke Ebina untuk mempersiapkan kontrak, mereka sangat terkesan akan semua yang mereka lihat di lokasi konstruksi, khususnya dengan kerja keras para sukarelawan. Alhasil, mereka menawarkan potongan harga untuk mesin-mesin mereka hingga senilai 1.000.000 yen (10.000 dolar AS).
Siapa yang Dapat Melatih Saudara-Saudara?
Dari antara para pekerja di percetakan, tidak seorang pun yang telah berpengalaman dalam bidang penjilidan. Robert Pobuda diundang ke Brooklyn untuk dilatih selama enam minggu dan untuk memperoleh informasi guna melatih saudara-saudara di Jepang. Bahan-bahan pengajaran diterjemahkan, dan kursus pelatihan penjilidan diselenggarakan. Ini disertai bantuan para tenaga profesional dari perusahaan komersial yang datang dan memberikan instruksi kepada saudara-saudara dalam penggunaan bahan-bahan penjilidan buku. Kami juga mengatur tur ke beberapa perusahaan penjilidan komersial untuk mengamati cara kerja mereka.
Suatu kali, setelah mengadakan tur ke salah satu perusahaan penjilidan tersebut, saudara-saudara diundang ke kantor presiden direkturnya. ”Tahukah kalian mengapa saya mengizinkan kalian datang?” tanyanya. ”Biasanya, kami tidak pernah membiarkan para personel perusahaan penjilidan lain melihat-lihat pabrik kami, namun seminggu sebelum kalian meminta izin untuk tur, seorang Saksi datang ke rumah saya dan menawarkan majalah Menara Pengawal dan Sedarlah! Saya terkesan akan tata krama orang itu dan akan apa yang saya baca dalam majalah-majalah tersebut.” Ia menerima lebih banyak lektur, termasuk langganan Menara Pengawal dan Sedarlah!, serta menawarkan bantuan untuk melatih sejumlah saudara selama sebulan di pabriknya.
Selama bertahun-tahun sejak itu, saudara-saudara yang bekerja di bagian penjilidan terus mengembangkan keterampilan mereka dan memperdalam pengetahuan mereka. Perusahaan-perusahaan penjilidan komersial bahkan mengirimkan pekerjanya untuk tur ke percetakan kami. Mereka selalu terkesan akan kebersihan dan keapikan yang mereka saksikan di sana. James Mantz, mantan pengawas percetakan, mengenang, ”Kami mengizinkan salah satu perusahaan penjilidan untuk membuat rekaman video seraya wakil perusahaan itu berkeliling meninjau percetakan sebagaimana tur biasa. Mereka hendak menggunakan video itu untuk melatih para personel pabrik mereka. Mereka memiliki perlengkapan yang sama dan melakukan pekerjaan yang mirip, namun mereka ingin menggunakan para pekerja Betel sebagai model karena sikap mereka, yang tampak dari raut wajah mereka yang gembira sewaktu sedang bekerja, dan karena mereka bekerja dengan sangat efisien.” Saudara Mantz juga ingat akan kekaguman seorang eksekutif perusahaan yang mengadakan tur ke tempat penjilidan Lembaga. Eksekutif itu mengatakan, ”Para pemuda Jepang menderita sindrom tiga ’K’—kiken, kitanai, dan kitsui.” Arti kata-kata itu adalah berbahaya, kotor, dan sangat berat. Jika sifat suatu pekerjaan mencakup salah satu unsur itu, kebanyakan anak muda tidak berminat melakukannya. Tetapi, tidak demikian halnya di percetakan Ebina.
Yang khususnya menarik adalah penjilidan istimewa (deluxe) kami. Penjilidan di fasilitas Ebina merupakan salah satu sumber informasi utama sehubungan dengan penjilidan istimewa di Jepang. Di penjilidan ini, kami memproduksi Alkitab bersampul kulit secara massal.
Memproduksi New World Translation Lengkap
Pengalihan ke teknik pencetakan ofset, pemasangan fasilitas penjilidan, dan pengembangan sistem SCRIPT semuanya menjadi dasar untuk memproduksi New World Translation lengkap.
Izin untuk memulai penerjemahan bagian Kitab-Kitab Ibrani New World Translation dikeluarkan pada tahun 1975. Ini merupakan kerja kelompok. Tiga penerjemah dikhususkan untuk menggarap proyek ini. Bagaimana caranya mempertahankan keselarasan yang tinggi di antara para penerjemah yang beragam itu? Para penerjemah itu membuat semacam daftar pengalihbahasaan—berikut informasi tentang penamaan, binatang, tanaman, mineral, warna, penyakit, dan hal-hal seperti perkakas, pakaian, makanan, dan persembahan korban—dan kemudian mengedarkannya di kalangan mereka sendiri. Ratusan kelompok kata yang bersinonim dan frase penting juga harus dipelajari dengan teliti dan ditambahkan ke dalam daftar. Belakangan, para penerjemah Alkitab bahasa Jepang termasuk di antara mereka yang diundang untuk berbagi pengalaman dengan para perancang sistem pendukung penerjemahan Alkitab di kantor pusat. Saran-saran yang mereka sumbangkan sekarang digunakan oleh para penerjemah Alkitab di seluas dunia.
New World Translation lengkap dalam bahasa Jepang dicetak dan dijilid di fasilitas kami di Ebina. Agar dapat memproduksi 136.000 salinan Alkitab untuk diperkenalkan di 17 Kebaktian Distrik ”Kebenaran Kerajaan” pada tahun 1982, Departemen Grafis, ruang cetak, dan penjilidan beroperasi 24 jam setiap hari. Beberapa saudara bekerja antara 12 hingga 16 jam secara beregu. Mereka bekerja dengan motivasi tinggi, dengan mencamkan bahwa mereka sedang melaksanakan pekerjaan seperti yang dilakukan Ezra, ’sang penyalin yang mahir sehubungan dengan hukum Allah’, pada zaman purba. Namun, jika dahulu Ezra melakukan pekerjaannya secara manual, sekarang mereka menggunakan mesin cetak ofset web berkecepatan tinggi untuk menyediakan publikasi ini dalam bahasa Jepang. Sebagai pengingat untuk meniru penyalin yang mahir itu, mereka menempelkan kata-kata Ezra 7:6 di sisi mesin cetak.
Pada tahun itu, semua saudara yang melayani di penjilidan menghadiri kebaktian terakhir di Fukushima. Sehubungan dengan penjilidan Alkitab untuk diperkenalkan di kebaktian itu, mereka merampungkannya delapan menit sebelum hari kerja berakhir sehari sebelum kebaktian tersebut. Shigeru Yoshioka, yang ketika itu melayani di penjilidan, mengenang, ”Tenaga kami benar-benar terkuras, namun begitu kami melihat air mata sukacita di wajah saudara-saudara sewaktu menerima New World Translation lengkap yang telah lama ditunggu-tunggu itu, kami semua merasa bahwa kerja keras kami tidak sia-sia.”
Karena memiliki terjemahan Alkitab berbahasa Jepang dalam bentuk elektronik, tidaklah sulit untuk menghasilkan edisi-edisi dalam berbagai ukuran. Bertahun-tahun sejak dirampungkannya Alkitab pada tahun 1982, hampir 3.000.000 salinan Alkitab New World Translation bahasa Jepang dalam berbagai edisi telah diterbitkan.
Penambahan Berikutnya untuk Mendukung Pertumbuhan
Seperti seorang remaja yang cepat besar, organisasi teokratis di Jepang berkembang dengan sangat pesat sehingga fasilitas-fasilitas kantor cabang perlu ditambah. Pada bulan Februari 1984, diumumkan proyek penambahan fasilitas, yang mencakup proyek perluasan percetakan enam lantai dan bangunan tempat tinggal delapan lantai, masing-masing memiliki ruang bawah tanah. Percetakan yang baru akan memiliki luas lantai hampir 22.500 meter persegi, dua kali lebih besar daripada percetakan Ebina yang semula. Bangunan tempat tinggal yang baru akan memiliki 128 kamar untuk menampung para sukarelawan Betel.
Pekerjaan konstruksi untuk proyek ini dimulai pada bulan September 1984 dan selesai pada bulan Februari 1988. Pada periode ini, jumlah penyiar di Jepang melampaui angka 100.000, dan angka itu terus bertambah. Selain untuk memenuhi meningkatnya kebutuhan di ladang Jepang, proyek ini juga akan memperlengkapi kantor cabang guna memenuhi kebutuhan pencetakan untuk negeri-negeri lain. Pada tanggal 13 Mei 1989, bangunan-bangunan baru tersebut ditahbiskan bagi Yehuwa, Pribadi yang telah memungkinkan adanya pertambahan sehingga fasilitas-fasilitas ini dibutuhkan.
Mengutamakan Pemeliharaan Keluarga di Atas Kepentingan Lain
Media massa Jepang sewaktu-waktu menyorot Saksi-Saksi Yehuwa. Salah satu aksi media massa pada tahun 1986 membuat masyarakat tersadar akan betapa besar kepedulian Saksi-Saksi Yehuwa terhadap anak-anak mereka. Sebuah tajuk berita di Mainichi Daily News berbunyi, ”Eksekutif Puncak JNR Meletakkan Jabatannya Demi Berkumpul Bersama Keluarganya”. Di Jepang, kepala keluarga yang mempunyai anak berusia belasan tahun menghadapi dilema sewaktu ia dipindahtugaskan, meskipun bila itu berupa kenaikan jabatan. Pemindahtugasan diberikan tanpa mempertimbangkan situasi keluarga. Apabila anak-anak telah duduk di sekolah menengah, para orang-tua sering kali enggan memboyong keluarga meninggalkan kota asalnya. Sang ayah biasanya menerima transfer dan meninggalkan keluarganya. Dalam bahasa Jepang, ini disebut tanshinfunin. Artikel surat kabar itu melaporkan bahwa Takeshi Tamura, salah seorang Saksi-Saksi Yehuwa, diangkat menjadi direktur jenderal Biro Kyushu untuk Perkeretaapian Nasional Jepang (JNR). Akan tetapi, ia memilih untuk meletakkan jabatan bergengsi itu karena ia tidak rela berpisah dari keluarganya. ”Pekerjaan direktur jenderal itu dapat dijabat oleh siapa saja. Tetapi, sayalah satu-satunya ayah bagi anak-anak saya,” kata Saudara Tamura, sebagaimana dikutip dalam surat kabar itu.
Masyarakat terheran-heran. Belum lama berselang, media massa mencap negatif Saksi-Saksi Yehuwa, menggambarkan mereka sebagai orang-orang kejam yang tidak segan-segan membiarkan anak-anak mereka mati. Dan sekarang, ada seorang pria yang, karena ingin berkumpul bersama keluarganya, cukup berani untuk meletakkan jabatan yang dikejar mati-matian oleh sebagian besar karyawan JNR. Para reporter televisi pergi dari rumah ke rumah. Mereka mewawancarai para pengusaha yang tanshinfunin yang baru turun dari kereta api untuk berakhir pekan bersama keluarganya. Para reporter itu bertanya bagaimana perasaan mereka sehubungan dengan keputusan Saudara Tamura. Reaksi yang umum dijumpai adalah, ’Saya kagum akan keputusannya. Seandainya saja saya punya keberanian untuk berbuat hal yang sama.’
Ketika mengenang kembali apa yang terjadi, Saudara Tamura mengatakan, ”Saya tidak tahu bagaimana surat kabar Mainichi mendapat informasi itu. Biasanya, jika informasi semacam itu sampai bocor, JNR sengaja mengubah seluruh rencana penugasan untuk membuktikan bahwa apa yang dilaporkan itu tidak benar. Akan tetapi, kali ini JNR sengaja membiarkan keadaannya seperti yang diberitakan media. Yehuwa pasti berada di belakang semua ini. Melalui media, masyarakat Jepang tahu bahwa Saksi-Saksi Yehuwa adalah orang-orang yang mempedulikan keluarganya.” Sekarang, Saudara Tamura dan seluruh keluarganya melayani sebagai pemberita sepenuh waktu. Ia adalah pengawas umum di sidangnya, dan putranya adalah sukarelawan sementara di Betel.
Kemajuan di Okinawa
Setelah Okinawa masuk ke dalam pengawasan kantor cabang Jepang, terdapat kemajuan lebih jauh di daerah itu, meskipun tradisi kuno masih berpengaruh kuat atas kehidupan masyarakat. Usia bukan penghalang bagi Kiku Sunagawa yang berusia 70 tahun untuk memasuki dinas perintis. Selama bertahun-tahun, wanita ini terbelenggu oleh yuta, atau cenayang, setempat. Tetapi ia sangat tersentuh sewaktu mengetahui dari Alkitab bahwa Allah yang sejati mempunyai nama dan bahwa Ia dapat membaca hati. Wanita ini langsung memusnahkan segala miliknya yang berhubungan dengan yuta. Kemudian ia bertekad untuk belajar membaca supaya ia dapat memperoleh pengetahuan yang lebih lengkap tentang kehendak Allah. Pemimpin pelajarannya dengan sabar memberi dia bantuan yang dibutuhkan. Ia dibaptis pada tahun 1981, dan pada tahun berikutnya ia memasuki dinas perintis.
Meskipun dahulu ia buta huruf, sekarang ia sanggup mengajar suami yang sudah lanjut usia dari seorang pelajar Alkitab untuk membaca dan menulis, supaya suami-istri ini dapat sama-sama maju ke arah pembaptisan. Suami-istri yang penuh penghargaan ini memberikan sebidang tanah kepada Sidang Akamichi sehingga mereka dapat membangun Balai Kerajaan baru yang bagus. Upaya Kiku juga diberkati sewaktu kedua adik perempuannya membebaskan diri dari pengaruh yuta untuk dapat melayani Allah yang sejati, Yehuwa.
Pada tahun 1989, sepasang suami-istri lanjut usia di Hamamatsu menerima penugasan untuk memberikan kesaksian di pulau kecil bernama Aguni Jima, sekitar 60 kilometer dari pantai di Okinawa. Mereka menjual cincin kawin mereka untuk menutupi biaya perjalanan ke pulau terpencil ini. Mereka membaktikan waktu selama dua puluh hari untuk mengunjungi ke-600 rumah di pulau itu. Suatu hari, sewaktu mereka berjalan menyusuri pagar batu di bawah sengatan matahari, dua gadis kecil menawarkan minuman dari kantin mereka. Tergerak oleh kebaikan hati gadis-gadis itu, suami-istri ini memutuskan untuk mengunjungi orang-tua mereka. Ketika mereka memperkenalkan diri sebagai Saksi-Saksi Yehuwa, orang-tua gadis-gadis ini dengan hangat memeluk mereka. Orang-orang ini belum bertemu dengan seorang Saksi pun sejak mereka pindah dari Okinawa delapan bulan sebelumnya. Pengajaran Alkitab melalui pos diatur, dan belakangan pengajaran Alkitab dialihkan ke sebuah sidang di Naha, Okinawa. Kedua orang-tua ini bersama putri mereka yang tertua dibaptis pada tahun 1993. Mereka membantu banyak orang di pulau terpencil itu untuk mempelajari kebenaran.
Pada tahun 1980, ketika Okinawa dialihkan kembali ke kantor cabang Jepang, jumlah penyiar di Okinawa dan pulau-pulau sekitarnya adalah 958 di 22 sidang. Sekarang, pemberita Kerajaan yang dengan aktif melayani di Prefektur Okinawa berjumlah 2.600.
Bantuan Panitia Pembangunan Regional
Selama beberapa dekade, sidang-sidang membangun Balai Kerajaan dengan mengandalkan pengalaman dan sumber daya sendiri, tetapi terdapat masalah-masalah struktural, hukum, dan lain-lain. Kebanyakan sidang tidak memperhatikan keselarasan warna. Sebagian besar sukarelawan belum berpengalaman, dan butuh waktu yang lama untuk merampungkan proyek. Proyek pembangunan yang lamanya berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, membahayakan kerohanian sidang dan khususnya orang-orang yang terlibat dalam konstruksi. Tibalah waktunya untuk mempertimbangkan kemungkinan menerapkan dasar-dasar pembangunan kilat yang sedang digunakan di Amerika Serikat.
Panitia Pembangunan Regional yang pertama, dibentuk di Tokyo pada bulan September 1990. Kemudian, tujuh panitia lagi dibentuk untuk meliputi bagian-bagian lain di negeri ini. Pada bulan Maret 1991, Balai Kerajaan pertama di Jepang yang dibangun menurut metode konstruksi kilat dimulai, bertempat di Nakaminato, Prefektur Ibaraki. Sekalipun badai yang ganas pada hari kedua menyebabkan penundaan sementara, balai berkapasitas 120 kursi itu dirampungkan hanya dalam empat hari.
Sejak itu, Panitia Pembangunan Regional yang semula berjumlah 8 di seluruh Jepang kini meningkat menjadi 11, membantu pembangunan 80 hingga 100 Balai Kerajaan setiap tahun. Ini termasuk bangunan Balai Kerajaan ganda dan balai dengan ruang parkir bawah tanah mengingat tingginya harga tanah. Di Okinawa, Panitia Pembangunan Regional harus memodifikasi rencana bangunan agar tahan menghadapi taifun yang sering melanda pulau-pulau di sana.
Sehari sebelum proyek pembangunan kilat Sidang Kochinda di Okinawa akan dimulai, saudara yang menyumbangkan tanah meninggal. Upacara pemakamannya direncanakan pada pukul 16.00 hari Minggu berikutnya—di Balai Kerajaan yang belum didirikan. Saudara itu cukup kondang di daerah tersebut, sehingga pemakamannya diumumkan melalui media. Sewaktu melihat fondasi beton di lokasi konstruksi, orang-orang bertanya, ”Apakah kalian mampu menyelesaikan bangunan ini tepat pada waktunya untuk menyelenggarakan upacara pemakaman?” Ya, balai ini rampung pada waktunya, dan banyak orang, termasuk dari kalangan hukum dan politik, berkumpul di sana untuk mendengarkan khotbah pemakaman.
Hingga sekarang, terdapat 1.796 Balai Kerajaan di seluruh Jepang dan Okinawa, dan sejumlah 511 dari antaranya telah didirikan atau direnovasi dengan metode konstruksi kilat. Balai-balai ini merupakan kesaksian yang mengesankan akan keberadaan Saksi-Saksi Yehuwa dan mendatangkan pujian bagi Allah yang mereka sembah.
Balai Kebaktian di Seluruh Negeri
Demikian pula halnya dengan Balai Kebaktian, tempat diselenggarakannya kebaktian wilayah dan kebaktian istimewa. Mulai tahun 1980-an, Balai Kebaktian dibangun satu demi satu—di Kansai, Ebina, Chiba, Tokai, Hyogo, Gumma, Hokkaido, dan Tochigi. Balai Kebaktian kesembilan, yang dibangun di Kyushu, dirampungkan pada tahun 1997.
Teladan tingkah laku saudara-saudara yang bekerja keras sering kali dapat mengubah hati para tetangga yang semula kurang bersimpati. Sewaktu Balai Kebaktian Tokai dibangun di dekat Nagoya, seorang tetangga menentang proyek itu dan berupaya mengorganisasi kampanye untuk menghentikannya. Ia datang ke lokasi setiap hari untuk melihat apa yang sedang dilakukan di sana. Pada suatu hari, ia datang sambil membawa gergaji. Ketika saudara yang bertugas mengawasi proyek bertanya kepadanya apa yang hendak ia lakukan, ia mengatakan, ”Saya telah menyaksikan apa yang kalian lakukan sampai sekarang. Dan kelihatannya semak-semak bambu ini menghalangi jalan kalian. Izinkan saya ikut menyumbangkan tenaga hari ini.” Ia turun tangan untuk membantu.
Pada tahun 1995, ketika saudara-saudara membangun Balai Kebaktian Hokkaido di pulau paling utara Jepang, dana sangat terbatas. Jadi, mereka senang ketika memperoleh 2.000 tempat duduk gratis. Bagaimana ceritanya? Sewaktu konstruksi berlangsung, suatu gempa bumi besar menghantam Kobe dan kota-kota sekitarnya, sehingga banyak bangunan tidak dapat digunakan lagi. Kobe Kokusai Kaikan, yang mencakup gedung konser yang indah, adalah salah satu dari antaranya. Setelah diputuskan bahwa gedung tersebut akan dihancurkan, warta berita di televisi menayangkan para musisi yang sedang menyampaikan salam perpisahan kepada gedung tersebut. Begitu melihat warta berita itu, Saksi-Saksi yang sedang melakukan pekerjaan bantuan kemanusiaan di Kobe menghubungi pengawas proyek peruntuhan bangunan itu dan mendapat izin untuk mengangkut tempat duduk serta mengirimkannya ke Balai Kebaktian Hokkaido. Sepertiga dari 2.000 tempat duduk itu masih baru, dan selebihnya dapat digunakan setelah dibekleding. Perusahaan yang meruntuhkan bangunan tersebut sangat senang karena mereka tidak usah pusing-pusing menyingkirkan kursi-kursi itu.
Sejak pembangunan Balai Kebaktian Tochigi dan Hokkaido pada tahun 1995, saudara-saudari yang memenuhi syarat untuk melayani di bawah Panitia Pembangunan Regional Balai Kerajaan juga dilibatkan dalam pembangunan Balai Kebaktian. Saudara-saudara sangat menghargai Balai Kebaktian mereka dan kesempatan untuk bergaul bersama selama kebaktian. Mereka memahami bahwa bangunan-bangunan yang indah ini merupakan bukti berkat Yehuwa yang limpah atas upaya mereka mempersembahkan korban-korban pujian yang layak.
Lokasi Kebaktian yang Cocok
Pada tahun 1980-an, kebanyakan dari kebaktian distrik yang besar diselenggarakan di stadion terbuka. Terdapat risiko sengatan panas matahari dan kelembapan pada musim panas serta taifun, yang mulai menghantam Jepang sekitar waktu kebaktian musim panas.
Pada tahun 1983, disusun rencana sebuah kebaktian distrik dengan target hadirin lebih dari 20.000 orang, dari tanggal 18 hingga 21 Agustus di Greenery Square di Expo Memorial Park di Osaka. Dalam rangka persiapan, para sukarelawan mendirikan dua buah tenda besar pada hari Minggu tanggal 14 Agustus. Akan tetapi, angin taifun berkecepatan 160 kilometer per jam sedang menuju Osaka. Saudara-saudara memutuskan untuk membongkar tenda agar terhindar dari bahaya. ”Kantor pengawas kebaktian menjadi seperti stasiun pemantau cuaca, karena saudara-saudara dengan cermat mengamati pergerakan taifun,” kata Shogo Nakagawa, pengawas kebaktian.
”Tanggal 16 merupakan hari penuh doa. Jika kebaktian hendak dimulai pada waktunya, saudara-saudara harus mulai mendirikan tenda pukul 05.00, pada tanggal 17 Agustus. Surat kabar petang tertanggal 16 Agustus memuat tajuk: ’Hujan Badai Diperkirakan Akan Mengguyur Osaka’. Jika kami harus mendirikan tenda sesuai jadwal, taifun itu harus datang lebih awal dan berbelok ke arah kanan, dan awan barat harus tersapu bersih. Itulah persisnya yang terjadi. Pada pukul 04.00, tanggal 17 Agustus, terjadi hujan lebat di Osaka sebelah selatan, tetapi tidak di sekitar lokasi kebaktian. Tenda-tenda didirikan kembali untuk kebaktian yang mulai pada pukul 13.20, pada hari Kamis tanggal 18 Agustus sebagaimana dijadwalkan.”
Akan tetapi, lambat laun, lapangan olahraga tertutup dan ruangan-ruangan berkapasitas lebih dari 10.000 tempat duduk mulai tersedia. Pada tahun 1990-an, Saksi-Saksi Yehuwa mulai menyewa ruangan-ruangan ber-AC ini. Salah satu pertemuan di ruangan tertutup ini diselenggarakan di Tokyo Dome Stadium pada tahun 1992. Secara keseluruhan, 39.905 orang menghadiri Kebaktian Distrik ”Para Pembawa Terang” ini. Karena stadion ini terletak di pusat kota Tokyo, kebaktian ini merupakan kesaksian yang baik bagi orang-orang di sekitarnya. Seorang pria yang bekerja di dekat stadion berterus terang kepada seorang perintis yang berkunjung ke rumahnya bahwa sebelumnya ia dan rekan sekerjanya bersikap kritis terhadap Saksi-Saksi Yehuwa. Tetapi setelah menyaksikan para delegasi kebaktian, ia meminta maaf dan berkata, ”Sekarang, pandangan saya telah berubah, saya akan membaca majalah-majalah itu bersama istri saya.”
Para Pengungsi Disambut
Pada tahun 1980-an, terdapat ujian terhadap kesanggupan saudara-saudara untuk memenuhi kebutuhan jenis lain. Sebagaimana halnya orang-orang Kristen pada abad pertama berkesempatan untuk memperlihatkan dalamnya kasih mereka dengan menyediakan bantuan bagi rekan-rekan seiman mereka yang membutuhkan bantuan di Yudea, demikian pula Saksi-Saksi Yehuwa di Jepang pada tahun-tahun belakangan ini berkesempatan untuk memperlihatkan sifat-sifat Kristen ini sewaktu bencana melanda. (Kis. 11:28, 29; Rm. 15:26) Cara mereka melakukan itu memberikan bukti penggenapan kata-kata Yesus, ”Dengan inilah semua akan mengetahui bahwa kamu adalah murid-muridku, jika kamu mempunyai kasih di antara kamu sendiri.”—Yoh. 13:35.
Contoh pertama bantuan kemanusiaan yang ekstensif terjadi setelah Gunung Mihara, di Pulau Izu Oshima, meletus pada tanggal 21 November 1986. Pada pukul 16.17, Jiro Nishimura, seorang penatua di satu-satunya sidang di pulau itu, merasakan adanya letusan besar. ”Ketika saya pergi ke luar,” kata Saudara Nishimura, ”terdapat awan bagaikan jamur raksasa di atas Gunung Mihara, mirip seperti ledakan bom atom.” Dalam satu jam saja, 80 gempa bumi mengguncang pulau itu. Dalam semalam, lebih dari 10.000 orang diungsikan dari pulau tersebut.
Dalam beberapa jam setelah letusan, panitia bantuan kemanusiaan ditugasi ke Semenanjung Izu dan ke Tokyo untuk menangani kebutuhan Saksi-Saksi yang diungsikan. Setelah dikeluarkan perintah pengungsian, Yoshio Nakamura beserta saudara-saudara dari sidang-sidang di Tokyo bergegas ke dermaga-dermaga pada pukul dua pagi untuk membantu para anggota Sidang Izu Oshima. Salah seorang pengungsi belakangan mengatakan, ”Begitu kami turun dari kapal, kami melihat papan tanda berbunyi ’Saksi-Saksi Yehuwa’. . . . Istri saya menitikkan air mata karena perasaan lega bertemu dengan saudara-saudara yang menjemput kami di dermaga.”
Letusan Gunung di Shimabara
Kurang dari lima tahun kemudian, pada bulan Juni 1991, Gunung Fugen, di Semenanjung Shimabara dekat Nagasaki, meletus. Lebih dari 40 orang tewas. Seorang Saksi dan anak-anaknya yang rumahnya dilalui arus gas dan abu yang sangat panas nyaris tak tertolong. Dari antara 42 penyiar Sidang Shimabara, 30 orang terpaksa mengungsi. Sidang tidak dapat lagi menggunakan Balai Kerajaan mereka, karena balai tersebut terletak di kawasan bahaya. Sidang-sidang di seluruh negeri diberi tahu tentang kebutuhan saudara-saudara di daerah ini, dan sebuah nomor rekening bank dibuka untuk dana bantuan kemanusiaan. Sambutan dari saudara-saudara begitu cepat; dan sedemikian besarnya sehingga bank setempat kewalahan. Mereka meminta agar pengiriman uang untuk sementara ditunda dahulu sampai mereka selesai memproses pengiriman sebelumnya. Dalam kurang dari satu bulan, Panitia Bantuan Kemanusiaan setempat meminta sidang-sidang untuk tidak lagi mengirimkan uang, karena mereka telah menerima lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Selain untuk membantu saudara-saudara yang kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal, sumbangan yang dikirimkan memungkinkan dibangunnya sebuah Balai Kerajaan baru yang bagus di Shimabara dan satu balai lagi untuk Sidang Arie yang baru terbentuk, yang sekarang dihadiri oleh setengah dari para pengungsi.
Kegiatan bantuan kemanusiaan, serta perhatian pengasih yang dinyatakan melalui 3.000 pucuk surat yang diterima, sangat menyentuh hati Saksi-Saksi di daerah yang tertimpa musibah. Sebagai hasilnya, pada bulan April tahun berikutnya setelah musibah, ke-28 penyiar dari Sidang Shimabara serta 20 anggota terbaptis dari Sidang Arie semuanya mendaftar sebagai perintis ekstra pada bulan tersebut. Itu merupakan tanda terima kasih mereka kepada Yehuwa.
Bantuan Hukum Dibutuhkan
Tentu saja, Setan tidak senang akan kegiatan yang terpadu dari hamba-hamba Yehuwa. Sebagaimana halnya di negara-negara lain, ia berupaya meletakkan halangan guna memperlambat gerak maju umat Yehuwa. Sewaktu-waktu, perkara-perkara perlu diajukan ke meja hijau.—Bandingkan Kisah 25:11.
Guna menangani situasi yang membutuhkan nasihat hukum, sebuah departemen hukum dibentuk di kantor cabang pada awal tahun 1980-an. Pada tahun 1991, seorang pengacara muda, beserta istrinya, menawarkan diri untuk melayani sepenuh waktu di kantor cabang. Setelah berkonsultasi dengan saudara-saudara lain yang berprofesi di bidang hukum, ia mempersiapkan banyak informasi yang berguna bagi badan penatua sehubungan dengan perkara-perkara seperti sewa-menyewa dan kepemilikan Balai Kerajaan, cara sepatutnya untuk menangani kekerasan terhadap umat Yehuwa, serta langkah-langkah bijaksana untuk mengurus perceraian dan konflik perwalian anak. Selain itu, kantor cabang juga mendapat advis yang dibutuhkan untuk mengatasi perubahan undang-undang sehubungan dengan penerbitan, ekspor lektur Alkitab, dan perkara-perkara sejenis.
Hati Nurani Beragama Diajukan ke Meja Hijau
Kasus terkenal yang diajukan ke meja hijau melibatkan Kunihito Kobayashi, pemuda berusia 16 tahun yang terdaftar sebagai mahasiswa di Kobe Municipal Industrial Technical College. (Di Jepang, perguruan tinggi menawarkan pendidikan tambahan selama lima tahun yang mencakup tiga tahun pendidikan sekolah menengah.) Di sekolah-sekolah tertentu terdapat ketentuan bahwa siswa-siswa yang tidak ikut serta dalam latihan bela diri akan dinyatakan tidak naik kelas atau bahkan dikeluarkan dari sekolah. Dengan demikian, hak siswa untuk mendapatkan pendidikan diabaikan. Pada waktu kunjungan zona dari Lloyd Barry ke kantor cabang pada bulan Desember 1986, diusulkan agar Kantor cabang memilih seorang siswa teladan yang terlibat masalah ini, lebih baik lagi jika siswa tersebut adalah putra seorang penatua, kemudian kasus dikeluarkannya sang siswa dari sekolah diajukan ke pengadilan.
Pada tahun 1990, Kunihito Kobayashi bersama empat siswa lainnya menolak pelatihan kendo (seni pedang ala Jepang) dalam menaati perintah di Yesaya 2:4 untuk ’menempa pedang menjadi mata bajak dan tidak belajar perang lagi’. Akibatnya, mereka semua dinyatakan tidak naik kelas. Kunihito, meskipun menduduki peringkat teratas secara akademis, akhirnya dikeluarkan dari sekolah karena dinyatakan tidak lulus mata pelajaran pendidikan olahraga dan kesehatan selama dua tahun berturut-turut. Kunihito dan keempat rekannya mengajukan tindakan ini ke pengadilan, menuntut hak konstitusional mereka yang dilanggar pihak sekolah sehubungan dengan kebebasan beribadat dan memperoleh pendidikan. Setelah beberapa kali naik banding, kasus Kunihito akhirnya sampai ke Mahkamah Agung. Pada tanggal 8 Maret 1996, para hakim di Dewan Hakim Kedua dari Mahkamah Agung dengan suara bulat memenangkan kasus Kunihito, menjatuhkan vonis bersalah kepada sekolah yang telah memaksa Kunihito untuk memilih antara agamanya atau pendidikannya. Baru pertama kali inilah mahkamah agung memenangkan kasus atas pertimbangan bahwa kebebasan beragama lebih penting daripada wewenang suatu sekolah dalam mengatur kurikulumnya. Kepala sekolah yang baru mengumpulkan seluruh siswa, mengakui bahwa sekolah kurang bijaksana dalam menangani kasus ini, dan meminta mereka untuk ”menyambut kembali dengan hangat Tn. Kobayashi sebagai rekan siswa”. Pada bulan April 1996, empat tahun setelah dikeluarkan dari sekolah, Saudara Kobayashi, yang sekarang berusia 21 tahun, kembali bersekolah.
Keputusan ini dilaporkan secara luas di seluruh negeri, dan Saksi-Saksi Yehuwa bersukacita karena nama Yehuwa dan jalan-jalan-Nya yang adil-benar kembali dimuliakan di hadapan khalayak ramai dan kesaksian yang baik pun diberikan.—Mat. 10:18.
Memperlihatkan Respek terhadap Hukum Allah Berkenaan Darah
Meskipun kepedulian Saksi-Saksi Yehuwa akan kehidupan sesamanya sangat terkenal, upaya keras perlu dikerahkan dalam mengatasi prasangka yang berurat-berakar sehubungan dengan respek Saksi-Saksi terhadap kesucian darah. (Kej. 9:4; Kis. 15:28, 29) Sebelum tahun 1980-an, kantor cabang menyimpan daftar rumah sakit dan dokter yang telah melakukan pembedahan tanpa darah. Tetapi, ini bukan daftar dokter yang bersedia bekerja sama; beberapa adalah dokter yang dengan setengah hati melakukan operasi tanpa darah.
Upaya lebih lanjut apa yang dapat dilakukan untuk membantu Saksi-Saksi yang membutuhkan nama-nama dokter yang bersedia melakukan pembedahan tanpa darah? Akihiro Uotani, yang terlibat langsung dalam memenuhi kebutuhan ini, mengenang, ”Kami benar-benar kehabisan akal, karena sering kali kami tidak tahu bagaimana menjawab telepon dari saudara-saudara yang panik untuk meminta Lembaga mencarikan nama dokter yang bersedia mengoperasi tanpa darah.” Kemudian, pada awal tahun 1989, Jepang mendapat kabar tentang pengaruh diadakannya seminar oleh Panitia Penghubung Rumah Sakit (PPRS) di Amerika Serikat. Karena berminat, kantor cabang mengirim surat meminta informasi lengkap kepada kantor pusat di Brooklyn. Belakangan, pada bulan November tahun itu, sepucuk surat diterima dari Pelayanan Informasi Rumah Sakit di Brooklyn, yang memberitahukan bahwa Panitia Penerbitan telah menyetujui diselenggarakannya seminar PPRS di Jepang pada bulan Maret 1990. Ini adalah seminar pertama yang diadakan di luar Amerika Serikat.
Selain ke-91 anggota PPRS yang baru dilantik, terdapat 111 pengawas keliling, 25 Saksi yang berprofesi sebagai dokter dari Jepang, 44 saudara dari Republik Korea, dan 3 instruktur dari Brooklyn yang akan hadir. Seminar ini akan diadakan dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Korea dan Jepang.
”Selama seminar, para instruktur berulang-kali menekankan perlunya ’memberikan penyuluhan kepada para dokter’,” kenang Saudara Uotani. ”Beberapa saudara sangat meragukan apakah mengadakan temu wicara dengan para dokter dan mengunjungi rumah sakit dengan tujuan memberikan penyuluhan merupakan hal yang dapat diterima di Jepang. Keraguan ini beralasan, karena orang-orang Jepang pada umumnya menerima dengan amat patuh pengobatan apa pun yang diberikan dokter, dan para dokter tidak lazim membahas prosedur pengobatan dengan orang awam. Akan tetapi, setelah seminar, ketiga instruktur membentuk kelompok-kelompok kerja bersama para anggota PPRS dan mengunjungi rumah sakit di sekitar Tokyo, dengan hasil yang sangat baik.”
Memberikan Penyuluhan kepada Media Massa dan para Dokter
Karena laporan-laporan yang penuh prasangka dan informasi yang tidak akurat yang muncul di surat kabar, dirasa perlu untuk memberikan penyuluhan kepada media massa serta para dokter sehubungan dengan pendirian kita berkenaan darah. Jadi, sejak bulan September 1990, setelah diterbitkannya brosur Bagaimana Darah Dapat Menyelamatkan Kehidupan Anda?, kantor cabang melancarkan kampanye untuk mengadakan temu wicara dengan para reporter yang menulis tentang artikel-artikel kedokteran untuk surat kabar lokal dan nasional. Ternyata, hasilnya sangat sukses. Beberapa reporter, karena terkesan akan apa yang diperlihatkan kepada mereka, bahkan mengusulkan untuk menulis artikel tentang para dokter yang bersedia mengoperasi tanpa darah.
Hasil-hasil baik lainnya dari kampanye ini adalah bahwa para reporter ilmiah di surat kabar terkemuka memberikan informasi kepada PPRS Osaka, bahwa Komite Etika dari Pusat Penanggulangan Penyakit Menular Nasional sedang mendiskusikan bagaimana caranya berurusan dengan Saksi-Saksi Yehuwa. Segera, sepucuk surat dikirimkan untuk meminta suatu temu wicara dengan direktur lembaga itu. Direktur dan wakil ketua Komite Etika hadir pada acara temu wicara tersebut. Sebagai hasilnya, pada tanggal 22 April 1991, diambil keputusan untuk merespek hak Saksi-Saksi untuk menolak transfusi darah.
Setelah awal yang baik ini, komite-komite etika di rumah sakit lainnya dihubungi dengan hasil yang serupa. Ketika Komite Etika pada Rumah Sakit dan Rumah Sakit Bersalin Metropolitan Tokyo sedang mempersiapkan pedoman untuk menangani penolakan transfusi darah atas dasar agama, seorang wakil Pelayanan Informasi Rumah Sakit dari kantor cabang dan anggota-anggota PPRS Tokyo diundang untuk berpartisipasi. Ke-13 anggota komite mengusulkan agar ke-16 rumah sakit yang dikelola pemerintah kota Tokyo merespek keinginan pasien dewasa yang menghendaki pengobatan tanpa darah sekalipun bila para dokter merasa bahwa darah perlu diberikan. ”Dalam kasus seorang pasien yang dibawa ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadar namun memiliki dokumen sah yang menyatakan keinginannya untuk tidak menerima transfusi, dokter harus memprioritaskan keinginan sang pasien,” demikian laporan Mainichi Shimbun. Selanjutnya, dinyatakan bahwa ”keinginan siswa-siswa sekolah menengah sehubungan dengan transfusi akan direspek sebagaimana halnya orang dewasa”.
Bahkan rumah-rumah sakit yang sebelumnya memasang tanda ”Tidak Menerima Saksi-Saksi Yehuwa” telah mengubah sikap mereka dan bersedia menangani Saksi-Saksi serta menggunakan metode tanpa darah dalam melakukannya. Sekarang, terdapat lebih dari 15.000 nama dalam daftar dokter yang bersedia bekerja sama. Beberapa dokter merasa diabaikan jika PPRS setempat tidak menyertakan nama mereka. Pada bulan Oktober 1995, Rumah Sakit Shin-Tokyo di Matsudo memulai program perawatan tanpa darah, yang sepenuhnya merespek pendirian Saksi-Saksi sehubungan dengan darah. Dengan demikian, langkah maju yang baik telah diambil sehubungan dengan masalah penting ini.
Kasih Disertai Pengorganisasian
Seperti yang dinubuatkan oleh Yesus Kristus, gempa-gempa bumi besar terus melanda di berbagai tempat pada hari-hari terakhir ini. (Mat. 24:3, 7) Salah satunya menghantam daerah Kobe pada hari Selasa, tanggal 17 Januari 1995. Gempa bumi yang berkekuatan 7,2 pada skala Richter ini menelan korban sebanyak 5.000 jiwa dan membuat ribuan orang lainnya kehilangan tempat tinggal. Dari antara 9.000 Saksi yang tinggal di daerah bencana, 13 Saksi yang terbaptis dan 2 penyiar belum dibaptis tewas. Hiroshi dan Kazu Kaneko, sepasang suami-istri perintis istimewa yang melayani di Sidang Nishinomiya Tengah, ditemukan di bawah reruntuhan sebuah apartemen tua pada pagi hari itu. Dibutuhkan empat jam lebih untuk mengeluarkan Saudara Kaneko, tetapi Kazu, istrinya, tewas tertimpa reruntuhan. Karena Hiroshi terimpit reruntuhan cukup lama, ginjalnya gagal berfungsi sehingga keadaannya sempat kritis selama beberapa hari. ”Musibah ini memberi saya pelajaran yang tak terlupakan tentang betapa tak bernilainya harta materi,” kata Hiroshi. ”Sebaliknya, saya menyadari pentingnya sifat-sifat batiniah seperti iman dan harapan. Sifat-sifat itu membantu kita mengatasi keadaan terburuk yang kita hadapi.”
Tergerak oleh kasih yang dalam akan saudara-saudara mereka, Saksi-Saksi segera bertindak untuk memberikan bantuan. Untunglah, wilayah-wilayah di sekitar Kobe telah diorganisasi sedemikian rupa sehingga membelah kota dari utara ke selatan. Karena daerah bencana terletak di sepanjang garis pantai dari timur ke barat, tiap-tiap wilayah mempunyai sidang-sidang di luar daerah bencana yang dapat memberikan bantuan. Para penatua dari sidang-sidang di luar daerah bencana mengambil inisiatif untuk mengorganisasi bantuan kemanusiaan. Sehari setelah guncangan pertama, iring-iringan 16 sepeda motor mengantar makanan dan air untuk sidang-sidang di pusat kota Kobe.
Para pengawas wilayah langsung membentuk pusat-pusat bantuan kemanusiaan darurat untuk mengurus Saksi-Saksi di daerah bencana. Kantor cabang menunjuk enam Balai Kerajaan yang selamat sebagai depot untuk mengumpulkan sumbangan barang-barang. ”Dalam waktu lima jam, balai-balai itu telah penuh sesak,” kenang Yoshihiro Nagasaki, seorang anggota Panitia Cabang yang tiba di daerah bencana dengan membonceng di sepeda motor seorang rekan Saksi. ”Kami harus meminta saudara-saudara untuk mengalihkan sebagian sumbangan barang-barang ke Balai Kebaktian terdekat.” Pusat-pusat perbekalan didirikan dan dari sana, wakil dari sidang-sidang setempat dapat mengambil barang-barang yang mereka butuhkan, dan para penatua di setiap sidang akan membagikan barang-barang itu kepada para anggotanya.
Alkitab menganjurkan orang-orang Kristen untuk ”mengerjakan apa yang baik kepada semua, tetapi teristimewa kepada mereka yang ada hubungannya dengan kita dalam iman”. (Gal. 6:10) Saksi-Saksi dengan senang hati membagikan kepada para tetangga apa pun yang mereka terima. Dua hari setelah gempa bumi Kobe, sewaktu seorang penatua Saksi sadar bahwa bantuan untuk Saksi-Saksi sudah cukup namun bahwa orang-orang lain teramat sangat membutuhkan, ia segera mengirimkan dua minibus penuh bahan makanan ke pusat pengungsi setempat.
Bantuan Lebih Lanjut Dibutuhkan
Perhatian juga diberikan pada kebutuhan emosi dan rohani. Pengaturan segera dibuat untuk melanjutkan perhimpunan sidang. Salah satu sidang berhimpun di taman pada hari terjadinya gempa bumi. Pada hari Minggu setelah gempa, sebagian besar sidang di daerah bencana mengadakan Pelajaran Menara Pengawal sebagaimana biasa. Untuk menangani kebutuhan emosi dan rohani para korban, selain para pengawas wilayah yang resmi, tujuh pengawas wilayah tambahan dikirim ke lima wilayah yang terkena bencana. Mereka mengadakan kunjungan khusus untuk menguatkan saudara-saudara dan membantu mereka agar tetap mendahulukan kepentingan Kerajaan sekalipun mengalami musibah.
Sepuluh Balai Kerajaan dinyatakan tidak dapat digunakan. Rumah banyak saudara telah rusak sebagian dan bahkan seluruhnya. Ke-11 Panitia Pembangunan Regional di Jepang masing-masing mengorganisasi regu-regu beranggotakan 21 pekerja untuk memperbaiki rumah yang hancur. Regu bantuan kemanusiaan Saksi-Saksi dari Amerika Serikat datang atas biaya sendiri untuk ikut serta dalam pekerjaan ini. Sewaktu pekerjaan mereka selesai, regu ini telah memperbaiki 1.023 rumah dan meratakan 4 rumah yang hancur total. Lima Balai Kerajaan dibangun kembali, dan empat lainnya diperbaiki oleh saudara-saudara yang rela berkorban yang datang dari berbagai penjuru negeri ini.
Para anggota keluarga yang tidak seiman diperlakukan dengan baik hati sebagaimana halnya terhadap anggota keluarga yang seiman. Seorang saudari yang suaminya tidak seiman dan mempunyai empat orang anak, kehilangan putra keduanya akibat gempa bumi. Keluarga ini tinggal di Balai Kerajaan bersama 70 Saksi lainnya selama satu minggu. Ketika mengamati bagaimana saudara-saudara memperlihatkan kepedulian dan memberikan bantuan praktis, sang suami mulai menghargai organisasi Yehuwa. Pada suatu hari, ia mengunjungi kantor pusat bantuan kemanusiaan di Suita. Ia melihat banyak saudara bekerja keras untuk membantu orang-orang yang bahkan tidak mereka kenal. Emosinya begitu tergugah sampai-sampai ia tidak kuasa menahan air matanya. Pada hari itu juga, ia menerima pengajaran Alkitab.
Menghadapi Perubahan secara Konstruktif
Seraya tahun-tahun berlalu, situasi di Jepang telah berubah. Pada akhir bulan Maret 1992, empat puluh tiga tahun setelah kelompok utusan injil yang pertama tiba pada tahun 1949, seluruh wilayah yang ditugaskan pada kantor cabang Jepang telah menerima kabar baik Kerajaan secara teratur. Akan tetapi, sikap dan keadaan orang-orang juga telah berubah, dan ini menuntut kelentukan di pihak Saksi-Saksi Yehuwa.
Rodney Kealoha, utusan injil yang telah melakukan pekerjaan keliling selama bertahun-tahun, mengamati, ”Dua puluh lima tahun yang lalu [pada tahun 1970-an], orang-orang Jepang sangat sopan dan ramah. Ketika Saksi-Saksi mengunjungi mereka, meskipun mereka tidak berminat, mereka mendengarkan.” Orang-orang meluangkan waktu untuk membaca dan pada umumnya memiliki respek yang dalam akan moral yang baik dan ketertiban sosial. Akan tetapi, lambat laun mereka disimpangkan oleh kemakmuran materi yang meningkat. Para istri mulai memasuki angkatan kerja. Semakin sedikit orang yang berada di rumah pada siang hari. Mereka yang ada di rumah sering kali terlalu sibuk untuk berbicara tentang agama berlama-lama dan tidak bersedia menerima lektur yang mereka rasa tidak sempat mereka baca.
Bangunan-bangunan apartemen berpengamanan ketat dan rumah-rumah yang dipasangi interkom dibangun di sana-sini. Para penyiar di daerah ini harus menyesuaikan diri untuk memberikan kesaksian melalui interkom. Mereka belajar caranya mengunjungi kembali orang-orang yang sekadar memperlihatkan sopan santun dan kebaikan hati. Hiroko, seorang perintis di Sapporo, ditolak melalui interkom oleh seorang wanita yang mengatakan bahwa ia beragama Shinto. Karena merasa yakin bahwa wanita ini baik hati, yang terpancar dari suaranya yang ceria dan sopan santunnya, Hiroko berkunjung kembali. Lambat laun, wanita ini mulai bersahabat dengan Hiroko melalui interkom. Setelah sepuluh bulan berkunjung dengan cara demikian, wanita itu akhirnya mengatakan, ”Tunggu sebentar,” dan kemudian muncul di depan pintu serta mengundang Hiroko masuk. Pembahasan tentang topik keluarga segera mengarah pada pengajaran Alkitab, dan kemudian pada pembaptisan. Rupanya, sang saudari baru ini, yang sekarang adalah seorang perintis, memang baik hati.
Karena banyak orang jarang berada di rumah pada siang hari, Pelayanan Kerajaan Kita mengimbau agar kesaksian pada malam hari dan kesaksian di jalan ditingkatkan. Para penyiar langsung menyambut imbauan itu dengan antusias. Tak lama kemudian, di seluruh Jepang, mereka terlihat menawarkan Menara Pengawal dan Sedarlah! di jalan-jalan, khususnya di sekitar stasiun kereta api yang sibuk.
Salah satu contoh yang khas adalah seorang saudari di dekat Yokohama. Sekalipun ia bekerja sepenuh waktu, ia ingin merintis ekstra. Seorang penatua mengusulkan agar setiap hari sebelum pergi kerja, ia dapat melakukan kesaksian di jalan di dekat stasiun kereta api dari pukul 6.00 hingga pukul 8.00. Setelah mengatasi sifatnya yang pemalu dan ejekan dari beberapa komuter, ia mendapat trayek dengan 40 orang yang senang menerima majalah. Ini termasuk para komuter, petugas stasiun, dan para pemilik toko terdekat. Rata-rata penempatan majalahnya adalah 235 eksemplar per bulan di daerah yang biasanya seorang perintis menempatkan sekitar 30 majalah. Dengan membagikan topik-topik Alkitab kepada orang-orang selama beberapa menit saja setiap hari, ia dapat memulai enam pengajaran Alkitab—salah satunya bersama seorang polisi.
Para penyiar lainnya menerapkan saran untuk mengadakan kesaksian lewat telepon sehingga dapat mencapai orang-orang di bangunan-bangunan berpengamanan ketat. Banyak pengajaran Alkitab dihasilkan berkat kegigihan dan upaya untuk menyuguhkan suatu topik yang menarik. Ketika seorang saudari yang melalui telepon bertanya kepada seorang wanita apakah ia pernah memikirkan masa depan macam apa yang tersedia baginya dan bagi keluarganya, wanita ini menjawab pernah. Karena kecewa akan ketidaksanggupan orang lain untuk membantunya, ini mempengaruhi kesehatannya. Akibatnya, ia mengasingkan diri di rumah. Tergerak akan kepedulian yang tulus yang diperlihatkan oleh Saksi ini, ia setuju untuk bertemu di pasar swalayan terdekat. Setelah diperlihatkan isi buku Membina Keluarga, ia setuju untuk mendapatkan pengajaran Alkitab.
Kegiatan dinas pengabaran yang penuh semangat disertai upaya pendewasaan sidang-sidang telah menghasilkan pertumbuhan yang tetap dan teratur. Serangkaian puncak penyiar dimulai sejak bulan Januari 1979 dan terus meningkat tanpa terputus selama lebih dari 18 tahun. Menjelang bagian akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an, pertambahan penyiar di Jepang rata-rata berjumlah lebih dari 10.000 per tahun. Pada bulan Maret 1995, terdapat 200.000 pemberita Kerajaan di seluruh negeri. Pada bulan Agustus 1997, terdapat 220.663 penyiar yang tergabung dalam 3.785 sidang, dibandingkan dengan 14.199 penyiar dalam 320 sidang pada bulan Agustus 1972. Akan tetapi, jumlah yang meningkat ini bukan semata-mata meliputi para penyiar yang bahasa aslinya adalah Jepang.
Bantuan bagi Kelompok-Kelompok Berbahasa Asing
Sebagai dampak menguatnya perekonomian Jepang, banyak pekerja dari negara-negara berbahasa non-Jepang pindah ke negeri ini. Di antaranya termasuk Saksi-Saksi Yehuwa. Bahasa Jepang bukan lagi bahasa tunggal yang digunakan oleh hampir setiap orang di negeri ini. Bagaimana masyarakat berbahasa asing dapat dibantu secara rohani?
Sebelum tahun 1980-an, masyarakat berbahasa asing relatif sedikit jumlahnya. Kelompok terpencil atau sidang kecil telah dibentuk di Misawa, Tachikawa, dan Okinawa demi manfaat istri dan anak-anak para personel militer AS serta para peminat lainnya.
Yang terbesar dari antaranya adalah untuk pangkalan-pangkalan militer Amerika di Okinawa. Pada tahun 1968, Karl dan Evalyn Emerson, mantan utusan injil di Korea, pindah bersama putra mereka yang masih muda untuk membantu masyarakat berbahasa Inggris di Okinawa. Untuk mengerjakan ladang yang subur ini, belakangan mereka mendapat rekan-rekan yakni Bill dan Mary Ives, serta Wayne dan Penny Frazee dari Sekolah Gilead kelas ke-40 dan ke-52. Dengan mengendarai mobil reyot 360 cc untuk menjelajahi Pangkalan Udara Kadena, Wayne sangat efektif sewaktu bekerja di antara para peserta wajib militer karena ia sendiri pernah bekerja di angkatan bersenjata. Wayne dan Penny dapat membantu sekitar 100 orang hingga pembaptisan selama 15 tahun melayani di Okinawa. Sedemikian efektifnya pelayanan mereka sehingga komandan dari salah satu pangkalan menyuruh mereka mengabar di tempat lain saja. Mengapa? ”Kalian merampas orang-orang terbaik saya,” keluhnya.
Meskipun para anggota sidang keluar-masuk silih berganti, karena adanya perpindahan penugasan ke pangkalan militer lainnya, ribuan orang telah menghadiri perhimpunan dan ratusan orang telah dibantu untuk berpihak kepada Yehuwa. Mayoritas dari antara mereka terus melayani Yehuwa sekembalinya mereka ke Amerika Serikat. Ada yang telah menjadi penatua dan hamba pelayanan. Salah seorang dari antaranya, Nick Simonelli, belakangan mengikuti pendidikan di Sekolah Gilead kelas ke-93, mengikuti jejak pemimpin pengajaran Alkitabnya. Ia sekarang melayani di Ekuador bersama istrinya.
Daerah Berbahasa Inggris di Jepang
Di pengujung tahun 1970-an, seraya Perang Vietnam berakhir, kelompok-kelompok berbahasa Inggris di Jepang lambat laun menyusut. Namun, pada awal tahun 1980-an, setelah mengamati sejumlah orang berbahasa Inggris di sekitar Pangkalan Udara Angkatan Laut Amerika Serikat Atsugi, yang jaraknya hanya 15 menit berkendaraan dari Betel, James Mantz, Jr., mengundang orang-tuanya, yang ketika itu tinggal di Kalifornia, AS, untuk pindah ke Asia dan membantu. (Bandingkan Kisah 16:9.) Jadi pada bulan Maret 1981, pada usia 62 dan 59 tahun, James Mantz, Sr., dan istrinya, Ruth, pindah ke Sagamihara, dekat pangkalan Atsugi. ”Daerah penugasan kami adalah di mana pun kami dapat menjumpai orang-orang berbahasa Inggris,” kenang Ruth. ”Sewaktu kami melakukan kesaksian umum, Ruth sering kali menghentikan prajurit-prajurit muda Amerika yang sedang bersepeda sambil membentangkan tangannya dan menunjukkan majalah-majalah kepada mereka,” kenang seorang anggota keluarga Betel Ebina. Sayang sekali, James Mantz, Sr., meninggal tidak lama setelah ia tiba di Jepang, tetapi Ruth tetap tinggal di daerah itu dan membantu sejumlah orang untuk menerima kebenaran. Kelompok Sagamihara yang berbahasa Inggris menjadi sebuah sidang pada bulan Oktober 1985.
Seraya perekonomian Jepang berkembang semakin kuat selama tahun 1980-an, jumlah orang asing meningkat pesat. Ribuan orang dari Filipina, Amerika Selatan, Afrika, Cina, dan Korea mengalir ke negeri ini sebagai tenaga kerja asing. Lembaga mengambil langkah-langkah untuk mengulurkan bantuan rohani kepada para pekerja asing ini. Para perintis Jepang yang berbahasa Inggris, termasuk banyak anggota keluarga Betel, ditugasi untuk membantu. ”Sewaktu Lembaga mulai turun tangan,” kata salah seorang saudara yang bergabung di sidang berbahasa Inggris selama bertahun-tahun, ”kemajuannya langsung kelihatan.” Pada tanggal 1 September 1997, terdapat 18 sidang berbahasa Inggris, membentuk wilayah tersendiri.
Bantuan untuk Orang-Orang Brasil
Sejumlah besar orang Jepang, yang orang-tua atau kakek-neneknya beremigrasi ke Brasil, pulang kembali ke Jepang untuk bekerja, tetapi mereka tidak menguasai bahasa Jepang maupun bahasa Inggris. Pada tahun 1986, suami-istri mantan utusan injil, Kazuyuki dan Nanako Kiritani, yang pernah melayani di Brasil, pindah ke Yokohama, tempat tinggal beberapa saudari berbahasa Portugis dan para pelajar Alkitab mereka. Kelompok kecil ini mulai menyelenggarakan Pelajaran Menara Pengawal serta Sekolah Pelayanan Teokratis yang diringkas satu kali sebulan dalam bahasa Portugis.
Pada musim semi tahun 1991, Lembaga mengundang tiga penatua asal Brasil, yang tinggal di Tokyo, Nagoya, dan Toyohashi, serta Saudara Kiritani, untuk membicarakan perkembangan ladang berbahasa Portugis. Pada bulan Agustus 1991, empat kelompok berbahasa Portugis mulai berfungsi. Kantor cabang merekrut para pekerja Betel yang rela, kemudian memberikan kursus bahasa Portugis di Betel. Dengan penuh semangat mereka mempelajari bahasa itu dan menjadi dasar terbentuknya kelompok-kelompok berbahasa Portugis. Kelompok-kelompok yang baru terbentuk itu segera menjadi sidang, dan dalam kurun waktu enam tahun, terdapat 21 sidang berbahasa Portugis, dan mereka juga membentuk wilayah sendiri.
Ladang Berbahasa Spanyol Dibuka
Pada bulan September 1987, perhimpunan pertama yang diadakan dalam bahasa Spanyol diselenggarakan untuk membantu delapan saudari yang sebelumnya bergabung dengan kelompok berbahasa Portugis. Louis Delgado, seorang saudara lajang dari Peru, mengambil pimpinan. Pada waktu itu, beberapa saudari menempuh perjalanan selama enam jam untuk menghadiri perhimpunan berbahasa Spanyol, namun upaya itu sepadan dengan bantuan rohani yang mereka peroleh. Karena hambatan bahasa, beberapa wanita berbahasa Spanyol yang bersuamikan warga negara Jepang demi jaminan keuangan mengalami kesulitan dalam perkawinan mereka dan sulit menyatakan perasaannya kepada para penatua di sidang-sidang berbahasa Jepang.
Dinas pengabaran untuk kelompok berbahasa Spanyol juga merupakan tantangan. Untuk mengorganisasi wilayah pengabaran, mereka naik kereta api Lintasan Yamanote, yang mengelilingi Tokyo pusat, turun di ke-29 perhentiannya, dan kemudian mencari nama-nama Spanyol di tiap-tiap rumah. Meskipun ini melelahkan dan menghabiskan banyak waktu, kegiatan ini menghasilkan daerah pengabaran untuk mereka kerjakan secara tetap.
Pada siang hari, beberapa kelompok saudari mengunjungi daerah tempat para wanita Kolombia tinggal. Wanita-wanita ini bekerja di kelab-kelab malam yang biasanya dikelola oleh yakuza, Mafia Jepang. Apabila ada salah seorang wanita yang membuat kemajuan rohani, yakuza akan turun tangan dan memindahkan wanita itu ke tempat lain. Akan tetapi, salah seorang pelajar Alkitab membuat kemajuan hingga ia sadar bahwa ia harus berganti pekerjaan agar dapat menyenangkan Yehuwa. Ini berarti ia harus lari dan bersembunyi dari yakuza. Dengan bantuan pemimpin pengajarannya, akhirnya ia dapat kembali ke negeri asalnya.
Dengan demikian, pada awal tahun 1990-an, ketika sejumlah pekerja asing mengalir ke Jepang dari Peru, Argentina, Paraguay, Bolivia, dan negara-negara lain, Yehuwa memiliki sekelompok kecil berbahasa Spanyol yang siap untuk memelihara kebutuhan rohani mereka. Pada tahun 1991, kelas-kelas pelajaran bahasa Spanyol dimulai bagi para pekerja Betel yang bersedia membantu. Dalam waktu satu tahun, beberapa dapat membawakan khotbah umum. Pada tahun 1993, sidang berbahasa Spanyol yang pertama dibentuk di Tokyo. Pada tahun 1997, terdapat 13 sidang berbahasa Spanyol yang berkembang. Mereka membentuk wilayah berbahasa asing tersendiri.
Membantu Orang-Orang Asia
Sejumlah besar orang Cina juga mengalir ke Jepang. Dari antaranya terdapat ribuan siswa serta anak-anak keturunan Jepang yang ditinggalkan di Cina pada akhir Perang Dunia II. Diperkirakan, lebih dari 300.000 orang Cina tinggal di Jepang, dan 200.000 di antaranya tinggal di daerah Tokyo. Sewaktu melayangkan pandangan dan mengamati ladang berbahasa Cina ini, saudara-saudara kita dapat melihat bahwa ladang telah masak untuk dituai, ’tetapi pekerjanya sedikit’.—Mat. 9:37; Yoh. 4:35.
Masayuki Yamamoto dan istrinya, Masako, telah melayani dalam dinas utusan injil selama delapan tahun di Taiwan. Pada tahun 1992, bahasa Cina diajarkan kepada sejumlah pekerja Betel yang bersedia membantu masyarakat berbahasa Cina. Segera, Masayuki menghubungi para penyiar yang dapat berbahasa Cina, dan sebuah kelompok berbahasa Cina mulai terbentuk dengan beranggotakan 28 penyiar. Sebagian besar dari mereka adalah para perintis Jepang yang, meskipun masih berjuang keras untuk menguasai bahasa Cina, namun sangat berhasrat untuk membantu para peminat yang menggunakan bahasa itu. Kegairahan di pihak para Saksi Jepang menggugah hati orang-orang Cina. Seorang gadis menerima buku Tokoh Terbesar Sepanjang Masa dari seorang saudara yang satu sekolah dengannya. Sang gadis membaca buku itu dalam satu minggu. Ini menggugahnya untuk mulai menghadiri semua perhimpunan. Ia takjub melihat begitu banyak orang Jepang yang belajar bahasa Cina hanya supaya mereka dapat membagikan kabar baik kepada orang-orang berbahasa Cina. Ia dan adik lelakinya membuat kemajuan pesat, dan dalam waktu satu tahun mereka dibaptis. Ia memimpin pengajaran Alkitabnya sendiri bahkan sebelum dibaptis.
Pada bulan Mei 1993, kebaktian wilayah pertama dalam bahasa Cina diselenggarakan. Terdapat 399 hadirin dan 8 orang yang dibaptis. Tidak lama kemudian, terdapat lima sidang berbahasa Cina-Mandarin yang aktif, serta sebuah kelompok pelajaran buku sidang berbahasa Cina di sebuah sidang berbahasa Jepang.
Kelompok Bahasa Lainnya
Pada akhir tahun 1980-an, Penn Pitorest dan istrinya, Phiksang, mulai belajar Alkitab. Mereka berdua adalah pengungsi dari Kamboja dan masing-masing telah kehilangan orang-tua dalam sebuah pembantaian di negeri asalnya. Kemajuannya agak lambat karena hampir tidak ada publikasi dalam bahasa Kamboja untuk dipelajari. Tetapi belakangan mereka dibaptis. Didorong oleh kepedulian akan kebutuhan rohani sesama pengungsi asal Kamboja, pasangan ini berupaya memimpin pengajaran Alkitab bersama mereka. Tidak lama kemudian, sebuah kelompok kecil berbahasa Kamboja terbentuk. Mereka mendapat bantuan lebih banyak pada tahun 1994 ketika Menara Pengawal mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Kamboja. Setelah itu, sepuluh saudara dari Betel belajar bahasa itu dan ditugasi untuk menghadiri perhimpunan berbahasa Kamboja.
Meskipun kelompok bahasa asing terbesar di Jepang adalah Korea, kebanyakan dari mereka mengerti bahasa Jepang, jadi selama bertahun-tahun, tidak ada sidang khusus bagi mereka. Akan tetapi, belakangan didapati bahwa orang-orang Korea yang tinggal di Jepang dapat menangkap kebenaran lebih cepat jika mereka belajar dalam bahasa mereka sendiri. Ini menyebabkan terbentuknya kelompok berbahasa Korea di dekat Betel pada bulan April 1996 dan belakangan, sebuah kelompok di Itami City, Prefektur Hyogo.
Yang tidak terabaikan adalah kelompok berbahasa isyarat. Banyak sukarelawan bersedia mempelajari bahasa isyarat Jepang untuk membantu para tunarungu di seluruh negeri. Sejak tahun 1982, Lembaga telah mengorganisasi penerjemahan bahasa isyarat di beberapa kebaktian distrik. Akan tetapi, upaya terpadu untuk membantu para tunarungu dimulai pada tahun 1992, ketika sidang-sidang berbahasa isyarat dibentuk di kota Fukuoka dan Kumamoto. Video-video berbahasa isyarat juga telah dipersiapkan. Sekarang, ada 11 sidang dan 9 kelompok yang lebih kecil di seluruh Jepang yang aktif membantu para tunarungu.
Dengan demikian, Saksi-Saksi Yehuwa di Jepang telah membuat upaya yang bagus untuk menjangkau dan membantu banyak kelompok bahasa di negeri ini, sehingga manfaat dari kabar baik dapat mereka peroleh dalam bahasa yang paling mereka kuasai.
Antusiasme untuk Sekolah Baru
Pada tahun 1993, terbuka suatu kesempatan baru yang menakjubkan bagi para penatua dan hamba pelayanan lajang di Jepang. Kesempatan ini memungkinkan mereka memperluas pelayanan mereka di dalam maupun di luar negeri. James Hinderer dan David Biegler, dua saudara yang telah berpengalaman puluhan tahun dalam pekerjaan keliling, diutus dari Amerika Serikat untuk memimpin kelas pertama Sekolah Pelatihan Pelayanan di Jepang. Kelas pertama sekolah ini, yang dipimpin dalam bahasa Inggris, juga dihadiri oleh tujuh pengamat dari Jepang, Republik Korea, dan Filipina. Para pengamat ini dipersiapkan untuk melayani sebagai instruktur di negeri mereka masing-masing.
Sewaktu berbicara tentang bagaimana mereka mendapatkan manfaat dari sekolah ini, salah seorang siswa dari kelas pertama mengatakan, ”Saya rasa, banyak dari antara kami merasa sulit untuk menalar sendiri berdasarkan prinsip Alkitab yang relevan dan mengambil keputusan dengan menerapkan prinsip itu. Bagi kami, adalah lebih mudah untuk menuruti peraturan. Tetapi, selama sekolah, melalui dua pertanyaan yang paling sering diajukan, yakni ’Mengapa?’ dan ’Bagaimana?’, kami dilatih untuk merenungkan alasan-alasan di balik fakta dan jawaban.” Dengan nada serupa, siswa lain di kelas itu mengenang apa yang terjadi ketika salah seorang instruktur menyarankan agar hamba pelayanan yang mengurus majalah dapat mempersiapkan adegan penawaran majalah terbaru dan kemudian memperagakannya di hadapan para penyiar di sidang. Seorang siswa mempertanyakan apakah pelayanan tambahan semacam itu memang perlu dan ini mengarah kepada penjelasan yang mengesankan tentang perbedaan antara keadilbenaran dan kebaikan. Sang instruktur menjelaskan, ”Keadilbenaran dicapai apabila instruksi tertulis terpenuhi, tetapi kebaikan justru melebihi apa yang dituntut demi manfaat orang lain. Kita perlu, bukan sekadar melakukan hal yang adil-benar, melainkan juga melakukan kebaikan dan berbuat apa saja semampu kita demi manfaat anggota sidang, tanpa peraturan tertulis.”
Saudara-saudara muda di Jepang pada umumnya tidak ingin cepat-cepat mengakhiri masa lajangnya. Rata-rata usia peserta 18 kelas pertama adalah 29 tahun, 13 tahun dalam kebenaran, dan 8 tahun dalam dinas sepenuh waktu. Pada bulan Agustus 1997, lebih dari 790 siswa telah lulus dari 33 kelas Sekolah Pelatihan Pelayanan, dan ribuan lainnya sedang menunggu undangan. Setelah lulus, beberapa menerima penugasan wilayah, perintis istimewa, dan pekerjaan utusan injil.—Mzm. 110:3.
Manfaatnya langsung terasa sewaktu para penatua dan hamba pelayanan yang terlatih baik ini bekerja sama dengan sidang. Salah seorang penatua, sewaktu berkomentar tentang pengaruh baik yang diberikan seorang lulusan di sidangnya, berkata, ”Sidang menjadi lebih hidup dan ceria. Semangat merintis berkembang, dan semua anggota sidang tergugah untuk sangat menghargai pentingnya melakukan sesuatu berdasarkan prosedur teokratis. Antusiasme anak-anak muda akan perkara-perkara rohani diperdalam, dan banyak yang ikut serta dalam Sekolah Pelayanan Teokratis.” Dengan demikian, sidang-sidang dikuatkan dan dibina.
Mengirimkan Delegasi ke Kebaktian di Luar Negeri
Selama bertahun-tahun, ada banyak kesempatan bagi Saksi-Saksi Yehuwa di Jepang untuk ’membuka hati lebar-lebar’ dalam menyatakan kasih terhadap persaudaraan internasional. (2 Kor. 6:13) Karena ongkos perjalanan ke luar negeri semakin terjangkau, Lembaga mengundang kantor cabang Jepang untuk mengirimkan delegasi ke kebaktian internasional yang diadakan di Eropa, Afrika, Asia, Amerika, Hawaii, dan Selandia Baru.
Jumlah anggota delegasi yang menyambut undangan itu meningkat dari tahun ke tahun, dan bukan hal yang aneh bila terdapat banyak perintis dan rohaniwan sepenuh waktu lainnya di antara para anggota delegasi. Pada tahun 1996, ketika kebaktian istimewa diadakan di Republik Ceko dan di Hongaria, terdapat 1.114 rohaniwan sepenuh waktu di antara 1.320 anggota delegasi dari Jepang.
Apa yang dilihat dan didengar di kebaktian-kebaktian istimewa ini memperluas pandangan mereka dan memberi mereka daya pendorong tambahan untuk melayani Yehuwa sepenuh hati. Shigeo Ikehata, yang berkunjung ke Republik Korea, Hong Kong, Filipina, dan Taiwan untuk kebaktian internasional 1978, menjelaskan, ”Saya sangat terkesan oleh ikatan kasih yang ada di antara saudara-saudari di negeri-negeri asing. Melihat sendiri bahwa Saksi-Saksi Yehuwa dipersatukan bersama oleh bahasa yang murni khususnya sangat mempengaruhi penghargaan saya akan hak istimewa dinas saya dan isi doa-doa saya.”
Dengan mengunjungi negeri-negeri tempat hamba-hamba Yehuwa telah bertahan menghadapi penganiayaan hebat dan mendengar sendiri pengalaman mereka, para anggota delegasi tergugah untuk meniru iman mereka. Misako Oda menghadiri kebaktian internasional pertama di bekas Uni Soviet, di St. Petersburg, tahun 1992. Ia mengenang, ”Ketika nyanyian pembukaan mulai dilantunkan pada hari pertama kebaktian, seorang saudari Rusia yang duduk di sebelah saya mulai terisak-isak. Ketika saya menoleh ke atas, saya dapat melihat banyak saudari Rusia lainnya menitikkan air mata, tidak kuasa melanjutkan nyanyian itu. Saya sangat bersyukur kepada Yehuwa atas kebaikan hatinya yang tidak layak saya terima, dengan mengizinkan saya, yang belum pernah merasakan penganiayaan yang mereka alami, untuk berada bersama mereka dan ikut merayakan peristiwa kemenangan bersejarah bagi Yehuwa dan bagi saudara-saudara yang setia.”
Seorang saudari perintis muda, Seiko Namba (sekarang Nakajima), mengingat betul kebaktian di Buenos Aires pada tahun 1990. Ia mengatakan, ”Saya belajar dari saudara-saudari di Argentina bagaimana caranya menyatakan kasih dan penghargaan, serta pentingnya memperlihatkan perasaan tersebut kepada orang-orang lain. Seorang saudari lanjut usia memeluk saya ketika kami hendak berpisah dan memberi saya cendera mata. Dengan derai air mata, ia berulang-kali mengatakan, ’Hasta luego en el Paraíso’ [Sampai jumpa di Firdaus]. Setibanya saya di Jepang, saya berupaya menyatakan kasih dan kebaikan hati yang sama kepada orang-orang di sidang dan di daerah saya.” Para anggota delegasi Jepang lainnya, sekalipun pada umumnya pemalu dan tertutup, juga terbantu oleh pergaulan bersama saudara-saudara Amerika Latin untuk lebih terbuka dalam menyatakan kasih mereka.
Selama bertahun-tahun, kantor cabang Jepang mendapat hak istimewa untuk mengirimkan ribuan anggota delegasi ke kebaktian istimewa yang diadakan di negeri-negeri lain. Sambutan yang besar atas undangan yang dikirimkan ke sidang-sidang membuktikan tingkat antusiasme dan penghargaan yang tinggi dari saudara-saudara untuk berada bersama keluarga besar internasional Kristen mereka.
Menyumbang bagi Kebutuhan Sedunia
Merupakan hak istimewa untuk dapat menyumbang dengan berbagai cara bagi kebutuhan persaudaraan sedunia. Setelah memperoleh pengalaman dalam bidang percetakan yang berharga, kantor cabang Jepang dapat membantu kantor-kantor cabang terdekat untuk memenuhi kebutuhan pencetakan mereka. Lebih dari 9.000.000 eksemplar Menara Pengawal dan Sedarlah! sekarang dihasilkan setiap bulannya di percetakan Ebina dalam sepuluh bahasa.
Kantor cabang Jepang sekarang mencetak buku, Alkitab, buku kecil, dan brosur dalam 26 bahasa, termasuk bahasa Cina, Laos, Sinhala, Tamil (untuk Sri Lanka), Thai, dan 11 bahasa Filipina— semuanya dalam tata warna penuh. Mesin cetak ofset rotari berkecepatan tinggi memungkinkan percetakan melayani dengan cepat kebutuhan dalam dinas pengabaran. Pada bulan September 1993, misalnya, bahan-bahan dikirimkan ke Jepang untuk pencetakan edisi istimewa Alkitab berbahasa Tagalog yang telah lama ditunggu-tunggu yang mencakup Kitab-Kitab Yunani Kristen Terjemahan Dunia Baru. Pada pertengahan bulan Oktober, 70.000 Alkitab berbahasa Tagalog telah dicetak dan dikirimkan, tepat pada waktunya untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara di kebaktian distrik pada bulan Desember. Alkitab dalam bahasa Cebuano dan Iloko segera menyusul. Sekarang penjilidan istimewa Alkitab berbahasa Portugis dan Spanyol juga ditangani di percetakan Ebina.
Setelah departemen Pelayanan Penerjemahan dibentuk di kantor pusat sedunia pada tahun 1989, kantor cabang Jepang diundang untuk ikut memberikan bantuan kepada para penerjemah di seluruh kawasan Asia-Pasifik. Lebih dari setengah penduduk dunia tinggal di sini, tetapi banyak dari antara penduduknya, yang menggunakan beragam bahasa, belum memiliki publikasi Menara Pengawal dalam bahasa mereka. Saudara-saudara Jepang yang memiliki keterampilan penerjemahan dan yang sangat mengenal peralatan komputer mendapat hak istimewa untuk mengunjungi India, Pakistan, Sri Lanka, Nepal, Lebanon, Malaysia, Thailand, Kamboja, Indonesia, Myanmar, Kepulauan Solomon, Guam, dan negara-negara lain, untuk membantu membentuk, melatih, dan mengorganisasi regu-regu penerjemah serta untuk memasang perangkat lunak yang dikembangkan Lembaga guna membantu para penerjemah.
Anjuran Timbal Balik
Yang hendaknya tidak diabaikan adalah ke-76 saudara-saudari asal Jepang yang, seperti para utusan injil yang melayani di Jepang, telah dengan penuh minat menerima penugasan untuk memajukan kepentingan kerajaan di sembilan negara di luar Jepang. Dari antaranya termasuk 13 lulusan Sekolah Pelatihan Pelayanan. Negara-negara tempat mereka bertugas antara lain Brasil (7), Guam (2), Kamboja (1), Kepulauan Solomon (5), Malaysia (2), Nigeria (1), Papua Nugini (11), Paraguay (8), dan Taiwan (39). Surat-surat yang mereka kirimkan dari daerah penugasan menunjukkan bahwa mereka telah berhasil mengatasi bahasa baru, kebiasaan, dan makanan serta penyakit-penyakit tropis, dan mereka juga bersedia melayani di tempat-tempat yang masih terbelakang, kadang-kadang tanpa air bersih, gas, atau listrik, sangat kontras dengan situasi di Jepang yang modern dan makmur. Mereka telah mengembangkan kasih kepada orang-orang lokal dan telah belajar memperlihatkan kepuasan yang saleh. Mereka senang dapat memajukan kepentingan Kerajaan melalui cara ini.
Ketika ekspansi teokratis di Jepang sekali lagi membutuhkan perluasan kantor cabang, pekerjaan berlangsung dengan kerja sama internasional. Proyek ini meliputi menara kembar 13 tingkat sebagai bangunan tempat tinggal dan bangunan 5 tingkat untuk kantor departemen dinas. Pada tahun 1994, Frank Lee, dari Amerika Serikat, ditugasi untuk melayani sebagai pengawas konstruksi. Steve Givins, hamba internasional dari Amerika Serikat, juga melayani dalam panitia konstruksi. Lebih dari 49 tenaga sukarela datang dari Amerika Serikat, Australia, Finlandia, Inggris, Italia, Kanada, Kosta Rika, Luksemburg, Prancis, dan Selandia Baru untuk ikut serta dalam pekerjaan ini. Dengan senang hati mereka semua mengorbankan kehidupan yang lebih mapan di negeri asalnya agar dapat membagikan pengalaman dan keterampilan dengan saudara-saudara di luar negeri dan untuk memajukan kepentingan Kerajaan.
Yang juga menonjol adalah sambutan yang luar biasa dari saudara-saudara Jepang, sewaktu lebih dari 4.600 pekerja yang berpengalaman dan belum berpengalaman mengajukan permohonan untuk ikut serta dalam proyek ini. Sebagian besar dari mereka harus membuat penyesuaian besar agar dapat bekerja dalam proyek meskipun untuk waktu yang singkat. Itu termasuk meninggalkan pekerjaan dan keluarga. Tetapi mereka merasa diberkati dengan limpah atas upaya mereka.
Lanjut Usia tetapi Masih Bergairah
Pertumbuhan kumpulan besar pemuji Yehuwa di Jepang berawal dari kedatangan para utusan injil dari Sekolah Gilead kelas ke-11 pada tahun 1949 dan 1950. Yang lain-lain menyertai mereka, termasuk dari kelas ke-7 dan kelas-kelas yang kemudian. Lima puluh sembilan orang dari antara mereka masih berada dalam dinas sepenuh waktu di Jepang. Beberapa dari antaranya sekarang berusia 70 dan 80 tahun, dan mereka semuanya masih bergairah dalam dinas. Lois Dyer, setelah 64 tahun bertekun dalam dinas sepenuh waktu, mengatakan, ”Saya terus-menerus berdoa dengan yakin seperti halnya Daud yang berkata dengan sepenuh hati, ’Janganlah meninggalkan aku apabila kekuatanku habis, . . . juga sampai masa tuaku dan putih rambutku, ya Allah, janganlah meninggalkan aku.’” (Mzm. 71:9, 18) Yehuwa tidak meninggalkan orang-orang yang loyal ini, yang telah menggunakan sebagian besar kehidupannya dalam dinas Kerajaan dengan setia. Salah seorang anggota keluarga utusan injil mengatakan sebagai berikut, ”Organisasi Yehuwa seperti seorang ibu yang membungkus kita dalam selimut hangat dan mendekap kita erat-erat.”
Dua puluh satu orang dari antara para utusan injil kawakan ini sekarang tinggal di rumah utusan injil Tokyo Mita. Bangunan yang dahulu pernah digunakan sebagai kantor cabang di Tokyo ini telah direnovasi seluruhnya untuk menampung para utusan injil berusia lanjut ini. Benar-benar anggota keluarga utusan injil yang unik! Rata-rata usia mereka adalah 74 tahun dan rata-rata telah berada dalam kebenaran selama 50 tahun. Delapan dari antara mereka adalah lulusan Sekolah Gilead kelas ke-11. Secara keseluruhan, keluarga utusan injil ini telah memberikan timbunan kesaksian selama bertahun-tahun, membantu sekitar 567 orang untuk belajar kebenaran. Sekalipun beberapa anggota keluarga telah memasuki usia 80-an dan mengalami problem kesehatan yang serius, mereka sama sekali bukan pengangguran. Pada tahun dinas 1997, rata-rata jam dinas mereka melebihi 40 jam dalam dinas pengabaran per bulan, dan menempatkan total 17.291 majalah dan ratusan buku di daerah mereka yang sangat sering dikerjakan. Para utusan injil kawakan ini dihormati oleh para anggota sidang dan direspek oleh para tetangga mereka.
Ruth Ulrich, yang sekarang berusia 87 tahun, telah menggunakan 68 tahun masa hidupnya dalam dinas perintis dan utusan injil. Ia mengatakan, ”Iman saya sungguh dikuatkan ketika melihat semua orang ini datang dari agama kafir ke dalam kebenaran dan benar-benar menjadi saudara dan saudari kami.”
Seraya kita melihat kembali ”album keluarga” kita yang menceritakan sejarah modern Saksi-Saksi Yehuwa di Jepang, kita telah melihat banyak hamba Yehuwa yang bergairah ini. Tetapi, ini baru sebagian kecil dari 220.000 orang lebih di Jepang yang sedang memberitakan kabar baik tentang Kerajaan Allah. Para utusan injil sangat puas dengan prestasi anak-cucu rohani mereka, hingga generasi ketiga dan keempat. Mereka juga menanti-nantikan dengan penuh minat untuk melihat peranan Yehuwa di masa yang akan datang, dalam penutup sistem perkara ini serta dalam dunia baru-Nya yang menakjubkan, yang sekarang sudah di ambang pintu!
[Gambar penuh di hlm. 66]
[Gambar di hlm. 71]
Para penyiar Jepang yang loyal sebelum masa perang: (1) Jizo dan Matsue Ishii, (2) Miyo Idei, (3) Katsuo dan Hagino Miura
[Gambar di hlm. 72, 73]
Beberapa utusan injil yang mulai melayani di Jepang pada tahun 1949-50: (1) Don dan Mabel Haslett, (2) Lloyd dan Melba Barry, (3) Jerry dan Yoshi Toma, (4) Elsie Tanigawa, (5, 6) Percy dan Ilma Iszlaub, (7) Norrine Thompson (née Miller), (8) Adrian Thompson, (9) Lois Dyer, (10) Molly Heron, (11) Shinichi dan Masako Tohara
[Gambar di hlm. 79]
N. H. Knorr (kiri, atas) berkhotbah di kebaktian, pada tahun 1951, di rumah utusan injil Kobe
[Gambar di hlm. 81]
Grace (atas) dan Gladys Gregory, dari Sekolah Gilead kelas ke-11
[Gambar di hlm. 82]
Margrit Winteler (kanan, kelas ke-23 Gilead) bergabung dengan kakaknya, Lena (kelas ke-15) di Jepang
[Gambar di hlm. 88]
Don Haslett dan Lloyd Barry di Rumah Betel Tokyo, tahun 1953
[Gambar di hlm. 89]
Perintis istimewa Jepang yang telah melayani selama 40 tahun (kiri ke kanan): Takako Sato, Hisako Wakui, Kazuko Kobayashi
[Gambar di hlm. 90]
Kantor cabang Okinawa, 1979
[Gambar di hlm. 95]
Bersiap-siap melakukan kesaksian pada musim dingin di Hokkaido
[Gambar di hlm. 95]
Atas: Adeline Nako
Bawah: Lillian Samson
[Gambar di hlm. 99]
Yuriko Eto
[Gambar di hlm. 102]
Keluarga perintis yang berbahagia hendak memulai dinas pengabaran
[Gambar di hlm. 110]
Kantor cabang di Tokyo, tahun 1949-62
Kantor cabang di Tokyo, tahun 1963-73
Fasilitas kantor cabang di Numazu, tahun 1972-82
[Gambar di hlm. 115]
Toshio Honma, pengawas cabang pada pertengahan tahun 1970-an
[Gambar di hlm. 116]
Panitia Cabang pada tahun 1997 (kiri ke kanan): Richard Bailey, Shigeo Ikehata, Isamu Sugiura, Masataro Oda, Makoto Nakajima, Yoshihiro Nagasaki, Kenji Mimura
[Gambar di hlm. 124]
James Mantz turut mengawasi percetakan (difoto bersama istrinya, Sarah)
[Gambar di hlm. 132]
Balai Kebaktian: Hyogo, Ebina, Kansai
[Gambar di hlm. 139]
Kunihito Kobayashi
[Gambar di hlm. 142]
Kobe setelah gempa bumi tahun 1995
[Gambar di hlm. 150]
Masayuki dan Masako Yamamoto
[Gambar di hlm. 156]
Delegasi Jepang pada kebaktian di luar negeri: (1) Kenya, (2) Afrika Selatan, (3) Rusia
[Gambar di hlm. 158]
Kantor cabang dan Rumah Betel di Ebina; inset memperlihatkan tambahan yang dibuat pada tahun 1997