-
MozambikBuku Kegiatan Saksi-Saksi Yehuwa 1996
-
-
Perintah Penangkapan
Seraya persiapan-persiapan untuk hari kemerdekaan, tanggal 25 Juni 1975, mulai rampung, pendirian yang netral dari Saksi-Saksi Yehuwa sesungguhnya menjadi lebih nyata lagi. Saudara-saudara yang bertanggung jawab berupaya berdialog dengan pemerintah yang baru, tetapi tidak berhasil. Presiden yang baru dilantik sebenarnya memberikan suatu perintah sewaktu ia berseru selama sebuah pidato di radio, ”Kami akan menghabisi Saksi-Saksi Yehuwa ini . . . Kami percaya bahwa mereka adalah agen-agen yang tertinggal dari kolonialisme bangsa Portugis; mereka adalah bekas PIDE . . . Oleh karena itu, kami menganjurkan agar rakyat segera menangkap mereka.”
Terjadilah badai penganiayaan. Yang disebut kelompok-kelompok penggerak dikerahkan di lingkungan tetangga, dengan satu tujuan yang sama, untuk menangkap semua Saksi-Saksi Yehuwa—di tempat kerja, di rumah, di jalan, kapan saja siang atau malam, di seluruh negeri. Setiap orang dipaksa untuk hadir di pertemuan lingkungan tetangga yang diadakan di tempat-tempat kerja dan di tempat-tempat umum, dan setiap orang yang tidak bergabung dengan kerumunan orang yang berteriak ”Viva Frelimo” diidentifikasi sebagai musuh. Demikianlah semangat yang umum sewaktu gairah nasionalistis memuncak.
Namun, sudah dikenal dengan baik bahwa Saksi-Saksi Yehuwa, meskipun netral sehubungan dengan urusan-urusan politik, berpegang pada hukum dan peraturan, memperlakukan para pejabat dengan respek, bersifat jujur, dan memiliki kesadaran berkenaan dengan pembayaran pajak. Selama bertahun-tahun, pemerintah Mozambik menegaskan fakta ini. Akan tetapi, pada waktu itu, situasi Saksi-Saksi Yehuwa di Mozambik terbukti menjadi seperti yang dialami orang-orang Kristen masa awal yang dihukum mati di arena-arena orang Romawi karena menolak membakar dupa bagi kaisar, dan seperti saudara-saudara mereka di Jerman yang dijebloskan ke dalam kamp-kamp konsentrasi karena menolak meneriakkan ”Heil Hitler”. Di seluruh dunia, Saksi-Saksi Yehuwa dikenal karena penolakan mereka untuk mengkompromikan ketaatan mereka kepada Yehuwa dan kepada Yesus Kristus, yang mengatakan mengenai para pengikutnya, ”Mereka bukan bagian dari dunia, sebagaimana aku bukan bagian dari dunia.”—Yoh. 17:16.
Pendeportasian Massal—Ke Mana?
Dalam waktu singkat penjara-penjara di Mozambik menjadi terlalu sesak dengan ribuan Saksi-Saksi Yehuwa. Banyak anggota keluarga menjadi terpisah. Propaganda yang hebat membangkitkan permusuhan demikian terhadap Saksi-Saksi sehingga, meskipun para penatua tidak menganjurkannya, banyak yang lebih suka menyerahkan diri, merasa lebih aman bersama saudara-saudara dan sanak saudara mereka yang telah berada di penjara.
Sejak bulan Oktober 1975, kantor-kantor cabang di Zimbabwe (dahulu Rhodesia) dan Afrika Selatan menerima laporan-laporan yang membanjir dari para pengawas wilayah, berbagai panitia yang bertanggung jawab, dan saudara-saudara secara perseorangan, menyampaikan gambaran yang suram. Pada waktunya, hal ini disampaikan kepada Badan Pimpinan dari Saksi-Saksi Yehuwa. Segera setelah persaudaraan seluas dunia menerima kabar tentang situasi yang suram dari saudara-saudara di Mozambik, doa yang terus-menerus demi kepentingan saudara-saudara yang dianiaya ini membubung ke surga dari semua bagian bumi, selaras dengan nasihat di Ibrani 13:3. Hanya Yehuwa yang dapat memelihara mereka, dan Ia melakukannya dengan cara-Nya sendiri.
Kemungkinan besar bukanlah maksud dari pihak pemerintah yang berwenang yang lebih tinggi untuk menimpakan perlakuan yang brutal semacam itu atas Saksi-Saksi Yehuwa yang sungguh-sungguh dialami. Akan tetapi, beberapa dari pihak berwenang yang lebih rendah, dalam upaya yang penuh tekad untuk mengubah pendirian yang berurat-berakar dan didasarkan atas hati nurani, mencoba dengan cara-cara kekerasan memaksa orang berseru ”Viva”. Salah satu dari banyak contoh adalah yang dialami Julião Cossa dari kota Vilanculos, yang dipukuli selama tiga jam dalam upaya membuatnya mengkompromikan imannya, tetapi tanpa hasil. Apabila para penyiksa ini kadang-kadang berhasil memaksa seseorang berseru ”Viva”, mereka masih belum puas. Mereka akan menuntut agar Saksi tersebut juga berseru ”Enyahkan Yehuwa” dan ”Enyahkan Yesus Kristus”. Kekejaman yang diderita oleh saudara-saudara kita terlalu banyak untuk diceritakan dan terlalu mengerikan untuk dilukiskan. (Lihat Awake!, 8 Januari 1976, halaman 16-26.) Akan tetapi, mereka mengetahui bahwa, seperti rasul Paulus menulis kepada orang-orang Kristen di Filipi pada abad pertama, pendirian mereka yang berani dalam menghadapi kesengsaraan dan penganiayaan merupakan bukti akan dalamnya kasih mereka kepada Allah dan memberikan jaminan bahwa Ia akan memberi mereka imbalan berupa keselamatan.—Flp. 1:15-29.
Kondisi yang menyesakkan akibat penjara yang terlalu padat, yang diperburuk oleh keadaan yang kotor dan kekurangan makanan, menyebabkan kematian lebih dari 60 anak selama periode empat bulan di penjara Maputo (sebelumnya Lourenço Marques). Saudara-saudara yang masih bebas, melakukan sebisa-bisanya dalam upaya memelihara saudara-saudara mereka di penjara. Pada bulan-bulan terakhir tahun 1975, beberapa Saksi menjual barang-barang milik mereka dengan maksud terus menyediakan makanan bagi saudara-saudara mereka yang dipenjara. Namun, memperkenalkan diri mereka kepada orang-orang di penjara berarti mempertaruhkan kebebasan mereka sendiri, dan banyak yang ditangkap sewaktu memenuhi kebutuhan saudara-saudara mereka. Ini adalah jenis kasih yang Yesus katakan harus diperlihatkan para pengikutnya yang sejati kepada satu sama lain.—Yoh. 13:34, 35; 15:12, 13.
Sebaliknya, selama periode yang sama ini, beberapa Saksi di Propinsi Sofala diperlakukan sama sekali berbeda. Setelah ditangkap mereka dibawa ke Hotel Grande yang mewah di kota Beira dan diberikan makanan sewaktu menunggu untuk dibawa ke tujuan akhir mereka.
Ke mana tujuan mereka? Ini adalah suatu misteri, bahkan bagi para pengemudi dari banyak bis dan truk yang akan mengangkut mereka.
Tempat Tujuan—Carico, Distrik Milange
Antara bulan September 1975 dan Februari 1976, semua Saksi-Saksi Yehuwa yang ditahan, tidak soal di penjara atau di tanah lapang, dipindahkan. Tujuan yang tidak diberitahukan juga merupakan senjata lain lagi yang digunakan oleh polisi dan pihak berwenang setempat untuk mencoba mengintimidasi saudara-saudara. ”Kalian akan dimakan oleh binatang buas,” mereka diberi tahu. ”Itu adalah tempat yang tidak diketahui di utara, dan kalian tidak akan pernah kembali.” Anggota-anggota keluarga yang tidak seiman bersama-sama menangis dan meratap, mendesak agar mereka menyerah. Akan tetapi, sangat sedikit yang berkompromi. Bahkan orang-orang berminat yang masih baru dengan berani mempertaruhkan nasib mereka bersama Saksi-Saksi Yehuwa. Seperti kasus Eugênio Macitela, seorang pendukung cita-cita politik yang bergairah. Minatnya timbul ketika mendengar bahwa penjara-penjara dipenuhi oleh Saksi-Saksi Yehuwa. Untuk mengetahui siapa mereka, ia meminta suatu pengajaran Alkitab, semata-mata untuk ditangkap dan dideportasi satu minggu kemudian. Ia ada di antara orang-orang pertama yang dibaptis di kamp-kamp konsentrasi, dan dewasa ini ia melayani sebagai pengawas wilayah.
Saksi-Saksi tidak menunjukkan rasa takut atau kegelisahan sewaktu mereka dibawa dari penjara dan dimuat ke dalam bis-bis, truk, dan bahkan pesawat terbang. Salah satu dari iring-iringan yang mengesankan meninggalkan Maputo pada tanggal 13 November 1975. Ada 14 bis, atau machibombos sebagaimana mereka menyebutnya di sini. Kegembiraan saudara-saudara yang tampaknya tak terlukiskan, mendorong tentara-tentara yang bertugas untuk bertanya, ”Bagaimana mungkin kalian begitu gembira sedangkan kalian bahkan tidak tahu ke mana kalian akan pergi? Tempat ke mana kalian akan pergi sama sekali tidak menyenangkan.” Tetapi sukacita saudara-saudara tidak berkurang. Sementara sanak saudara yang tidak seiman menangis, merasa khawatir akan masa depan orang-orang yang mereka kasihi, Saksi-Saksi menyanyikan lagu-lagu Kerajaan, seperti lagu yang berjudul ”Dengan Berani Maju Terus”.
Di setiap kota sepanjang jalan, para pengemudi menelepon atasan mereka untuk mencari tahu tujuan mereka, dan mereka diperintahkan untuk melanjutkan ke pemberhentian berikutnya. Beberapa pengemudi tersesat. Namun, akhirnya mereka sampai di Milange, sebuah kota dan distrik yang terletak di Propinsi Zambézia, 1.800 kilometer dari Maputo. Di sana saudara-saudara diterima oleh pengurus dengan ”sambutan selamat datang”, suatu pidato berisi kecaman-kecaman pedas dan penuh ancaman.
Kemudian mereka dibawa 30 kilometer ke arah timur, ke suatu tempat di tepi Sungai Munduzi, daerah yang dikenal sebagai Carico, masih termasuk distrik Milange. Ribuan Saksi-Saksi Yehuwa dari Malawi, yang telah melarikan diri dari gelombang penganiayaan di negeri mereka sendiri, telah tinggal di sana sebagai pengungsi sejak tahun 1972. Kedatangan yang tidak disangka-sangka dari saudara-saudara Mozambik merupakan kejutan bagi Saksi-Saksi Malawi. Dan suatu kejutan bagi Saksi-Saksi Mozambik untuk diterima oleh saudara-saudara yang berbicara dalam bahasa asing. Akan tetapi, itu adalah kejutan yang paling menyenangkan, dan saudara-saudara Malawi menerima Saksi-Saksi Mozambik dengan sangat hangat dan ramah sehingga para pengemudi terkesan.—Bandingkan Ibrani 13:1, 2.
Pengurus distrik tersebut adalah pria yang telah berada di penjara Machava bersama dengan saudara-saudara bertahun-tahun sebelumnya. Sewaktu menerima masing-masing kelompok, ia bertanya, ”Di mana Chilaule dan Zunguza? Saya tahu mereka akan tiba.” Sewaktu Saudara Chilaule akhirnya tiba, pengurus tersebut mengatakan kepadanya, ”Chilaule, saya benar-benar tidak tahu bagaimana menerima Anda. Kita berada di pihak yang berbeda sekarang.” Ia berpegang pada ideologi-ideologinya dan tidak membuat persoalan lebih mudah untuk bekas teman-teman satu selnya. Ia adalah, seperti yang ia katakan tentang dirinya, ”seekor kambing yang memerintah di antara domba-domba”.
Dukungan yang Pengasih dari Persaudaraan Internasional
Persaudaraan internasional dari Saksi-Saksi Yehuwa menyatakan keprihatinan mereka yang pengasih kepada saudara-saudara di Mozambik. Mereka membanjiri kantor-kantor pos negeri tersebut dengan pesan-pesan berisi permohonan kepada pemerintah Mozambik. Rekan-rekan sekerja di perusahaan telekomunikasi sering mengejek Augusto Novela, seorang Saksi, dan mengatakan bahwa Saksi-Saksi Yehuwa hanya sebuah sekte setempat. Tetapi mereka dibungkamkan sewaktu mesin teleks mulai menerima pesan-pesan dari seluruh dunia. Tanggapan yang membanjir membuktikan bahwa umat Yehuwa benar-benar dipersatukan oleh kasih.
Setelah kira-kira sepuluh bulan, seorang menteri pemerintah, mengadakan kunjungan untuk memeriksa kamp tersebut, mengakui bahwa saudara-saudara dipenjarakan karena tuduhan-tuduhan palsu. Akan tetapi, masih terlalu awal untuk mengharapkan kebebasan.
Tantangan dari Kehidupan yang Baru
Pasal yang baru telah dibuka dalam sejarah umat Yehuwa di Mozambik. Saudara-saudara Malawi di daerah tersebut telah mengorganisasi diri mereka menjadi delapan kampung. Mereka telah memperoleh banyak pengalaman selama menyesuaikan diri dengan gaya hidup yang baru di daerah semak belukar dan telah mengembangkan keterampilan mereka dalam membangun rumah-rumah, Balai-Balai Kerajaan, dan bahkan Balai-Balai Kebaktian. Mereka yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman dalam pertanian juga belajar banyak tentang jenis pekerjaan ini. Banyak orang Mozambik, yang tidak pernah menggarap machamba (ladang yang ditanami), untuk pertama kali akan mengalami bekerja keras di ladang. Selama beberapa bulan pertama, pendatang-pendatang yang baru mendapat manfaat dari keramahtamahan yang pengasih dari saudara-saudara Malawi mereka, yang menerima mereka di rumah dan membagi makanan kepada mereka. Tetapi kini waktunya bagi saudara-saudara Mozambik untuk membangun kampung-kampung mereka sendiri.
Ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Musim hujan telah mulai dan daerah tersebut dengan limpah dicurahi air dari langit yang belum pernah terjadi. Akan tetapi, sewaktu Sungai Munduzi, yang mengalir melewati tengah kamp tersebut, meluap di daerah yang biasanya dilanda kekeringan, saudara-saudara melihat ini sebagai tanda dari cara Yehuwa memelihara mereka. Sungguh, selama 12 tahun berikutnya, sungai tersebut tidak pernah sekali pun kering seperti yang sudah-sudah. Di lain pihak, ”tanah berlumpur dan licin, yang biasanya disebabkan oleh cuaca hujan, membuat tantangan tambahan bagi bekas para penghuni kota”, kenang Saudara Muthemba. Lagi pula, tidak mudah bagi kaum wanita untuk menyeberangi sungai sementara menyeimbangkan diri mereka di jembatan-jembatan yang dibuat seadanya, yang tidak lebih daripada batang pohon. ”Bagi pria-pria yang biasa ke kantor, tantangan kami adalah pergi ke hutan-hutan rimba dan menebang pohon untuk membangun rumah-rumah kami,” kenang Xavier Dengo. Keadaan-keadaan ini ternyata menjadi ujian bagi beberapa orang yang tidak siap.
Kami mengingat bahwa pada zaman Musa, bersungut-sungut mulai timbul di antara ”orang-orang bajingan” yang menyertai orang-orang Israel keluar dari Mesir dan menuju padang belantara dan bahwa itu kemudian meluas kepada orang-orang Israel sendiri. (Bil. 11:4) Demikian pula, di antara orang-orang yang adalah Saksi-Saksi belum terbaptis, sekelompok orang yang bersungut-sungut mempertunjukkan diri mereka yang sebenarnya sejak permulaan, dan beberapa orang yang terbaptis bergabung dengan mereka. Mereka mendekati pengurus dan memberitahunya bahwa mereka bersedia membayar berapa pun agar dipulangkan kembali sesegera mungkin. Tetapi ini tidak menghasilkan perjalanan pulang sesegera apa pun seperti yang mereka harapkan. Mereka tetap di Milange, dan banyak dari antara mereka menjadi seperti kerikil di dalam sepatu bagi orang-orang yang setia. Mereka dikenal sebagai ”para pemberontak”. Mereka tinggal di antara saudara-saudara yang setia tetapi selalu siap mengkhianati mereka. Kasih mereka kepada Allah tidak bertahan di bawah ujian.
Mengapa Balai-Balai Rubuh
Saudara-saudara Malawi di kamp-kamp menikmati cukup banyak kebebasan beribadat. Sewaktu saudara-saudara Mozambik tiba, mereka pada awalnya memperoleh manfaat dari hal ini. Setiap hari, mereka berkumpul di salah satu Balai Kebaktian yang besar untuk membahas ayat harian. Sering kali seorang pengawas wilayah Malawi yang memimpin. ”Sungguh menguatkan,” kenang Filipe Matola, ”setelah berbulan-bulan dipenjarakan dan bepergian, untuk mendengarkan nasihat-nasihat rohani dalam kumpulan begitu banyak saudara.” Akan tetapi, kebebasan yang relatif ini tidak berlangsung lama.
Pada tanggal 28 Januari 1976, para pejabat pemerintah, disertai tentara-tentara, pergi ke kampung-kampung dan mengumumkan, ”Kalian dilarang beribadat dan berdoa di balai-balai ini atau di mana saja di kampung-kampung ini. Balai tersebut akan dinasionalisasi dan digunakan oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhannya.” Mereka memerintahkan saudara-saudara untuk mengeluarkan semua buku mereka, dan kemudian mereka menyita buku-buku ini. Tentu saja, saudara-saudara menyembunyikannya sedapat mungkin. Menyusul hal ini, bendera dinaikkan di depan setiap balai, dan tentara-tentara ditempatkan sebagai penjaga untuk memastikan dipenuhinya ketetapan tersebut.
Meskipun balai-balai dibangun dari tonggak-tonggak kayu dan kelihatan sederhana, balai-balai tersebut cukup kuat. Namun, dalam waktu singkat, semuanya mulai hancur. Xavier Dengo mengingat bahwa pada satu kesempatan ia dan pengurus tersebut baru saja tiba di salah satu kampung sewaktu balai tersebut benar-benar mulai rubuh, bahkan meskipun tidak sedang hujan dan juga tidak ada angin bertiup. Sang pengurus menyatakan, ”Apa yang terjadi? Kalian adalah orang-orang jahat. Setelah dinasionalisasi, semua balai rubuh!” Pada peristiwa berikutnya, pengurus mengatakan kepada salah seorang penatua, ”Kalian pasti telah berdoa agar balai-balai tersebut rubuh, . . . dan Allah kalian membuatnya rubuh.”
Organisasi di Kampung-Kampung
Sembilan kampung Mozambik bermunculan berjajar dan berhadapan dengan delapan kampung Malawi yang telah berdiri. Dua kelompok ini, yang dipersatukan oleh ”bahasa yang murni”, tinggal bersama selama 12 tahun berikutnya. (Zef. 3:9) Daerah dari masing-masing kampung tersebut dibagi menjadi blok-blok, dibatasi oleh jalan-jalan yang terpelihara dengan baik, setiap blok mencakup delapan kapling seluas kira-kira 25 kali 35 meter. Sidang-sidang dikelompokkan menurut blok-blok. Setelah pelarangan diumumkan di kamp-kamp, mereka tidak dapat membangun Balai-Balai Kerajaan yang mencolok. Maka, sebagai gantinya, mereka membangun rumah khusus berbentuk L untuk memenuhi tujuan tersebut. Seorang janda atau seorang lajang tinggal di sini untuk memberi kesan bahwa mereka adalah penghuninya. Kemudian, pada waktu perhimpunan diadakan, pembicara akan berdiri di sudut dari ”L” tersebut dan dengan demikian dapat memandang wajah para hadirin di tiap sisi.
Sekeliling batas masing-masing kampung terdapat machamba kampung tersebut. Setiap sidang juga mengurus sebuah ”machamba sidang”, dan semua ambil bagian dengan menanami sebagai sumbangan mereka untuk kebutuhan sidang.
Ukuran masing-masing kampung bervariasi menurut populasi. Suatu sensus pada tahun 1979 memperlihatkan bahwa Kampung Mozambik No. 7 adalah yang terkecil, hanya dengan 122 penyiar dan 2 sidang, sementara Kampung No. 9, merupakan yang terbesar dan paling jauh, memiliki 1.228 penyiar dan 34 sidang. Seluruh kamp memiliki 11 wilayah. Seluruh kamp ini, terdiri dari kampung-kampung Malawi dan Mozambik serta daerah-daerah yang berdiri sendiri, menjadi dikenal oleh saudara-saudara sebagai Lingkungan Carico. Sensus terakhir yang kami miliki dalam catatan adalah pada tahun 1981, sewaktu populasi di seluruh Lingkungan Carico adalah 22.529, yang dari antaranya 9.000 orang adalah penyiar yang aktif. Belakangan ada pertumbuhan lebih jauh. (Samora Machel, yang belakangan menjadi presiden, mengumumkan populasi menjadi 40.000, menurut brosur Consolidemos Aquilo Que nos Une [Penggabungan yang Menyatukan Kita], halaman 38-9.)
Zaman Chingo—Suatu Zaman yang Sukar
Tentu saja, Saksi-Saksi Yehuwa tidak dibawa ke Milange semata-mata untuk menjadi masyarakat petani. Bukanlah tanpa alasan bahwa pemerintah menyebut kamp itu Pusat Pendidikan Ulang Carico, seperti terbukti dengan adanya pusat administratif di tengah-tengah Kamp Malawi No. 4, dilayani oleh staf pemerintah, dengan perkantoran dan pemukiman. Juga terdapat satu kamp komandan, tentaranya, dan penjara tempat banyak saudara kita ditahan selama periode-periode yang berbeda, sesuai keputusan dari komandan.
Komandan yang paling terkenal buruk dari antara semua adalah Chingo. Periodenya selama dua tahun sebagai komandan dikenal sebagai zaman Chingo. Bertekad untuk mematahkan pendirian yang tak kenal kompromi dari Saksi-Saksi Yehuwa dan ”mendidik ulang” mereka, ia menggunakan setiap taktik psikologis yang ia ketahui, juga kekerasan, untuk dapat mencapai maksudnya. Meskipun sebenarnya tidak mengenyam pendidikan formal, ia seorang pembicara yang fasih dan meyakinkan, dengan kegemarannya menggunakan perumpamaan. Ia menggunakan kecakapannya untuk mencoba mengindoktrinasi saudara-saudara dengan filsafat politiknya dan melemahkan kasih mereka kepada Allah. Salah satu rancangannya adalah ”seminar lima hari”.
”Seminar Lima Hari”
Sang komandan mengumumkan bahwa ”seminar lima hari” telah dijadwalkan dan bahwa Saksi-Saksi hendaknya memilih pria-pria yang paling cakap dari kampung-kampung, orang-orang yang dapat meneruskan informasi demi kepentingan pemerintah. Orang-orang ini akan dikirim ke seminar yang akan diadakan di suatu lokasi yang jauh. Saudara-saudara menolak, meragukan maksud-maksudnya. Akan tetapi, ”para pemberontak” yang hadir menunjuk saudara-saudara yang berada dalam kedudukan yang bertanggung jawab termasuk para pengawas wilayah. Di antaranya adalah Francisco Zunguza, Xavier Dengo, dan Luis Bila. Sebuah truk membawa pergi 21 pria dan 5 wanita. Mereka mengadakan perjalanan ratusan kilometer ke sebelah utara, ke daerah sebelah utara Lichinga, di Propinsi Niassa. Di sana pria-pria dijebloskan ke dalam ”kamp pendidikan ulang” bersama para kriminal, sementara para wanita dibawa ke sebuah kamp pelacuran.
Di sini mereka mengalami penyiksaan yang hebat, termasuk apa yang para penyiksa mereka sebut ”gaya Kristus”. Lengan korban ditarik lurus ke kedua sisi, seolah-olah di atas sebuah salib, dan kemudian sebilah kayu ditaruh sejajar dengan lengan. Tali nilon dililitkan dengan kuat mengelilingi lengan dan kayu sepanjang kedua lengan, dari ujung jari yang satu ke ujung jari yang lain. Dengan terhentinya peredaran darah sama sekali pada tangan, lengan, dan bahu, ia dibiarkan dalam posisi ini selama jangka waktu yang panjang sekali, dalam upaya yang sia-sia untuk memaksanya berseru ”Viva Frelimo”. Karena perlakuan yang tidak manusiawi dan kejam ini, Luis Bila, seorang penatua yang setia, mendapat serangan jantung dan meninggal.
Saudari-saudari menjadi sasaran perlakuan berupa ”pelatihan”, yang mengharuskan mereka berlari hampir tak ada habis-habisnya, kadang-kadang masuk dan keluar air; berjungkir balik, naik dan turun gunung-gunung tanpa henti; dan dijadikan sasaran penghinaan lain yang tak terhitung. Seminar macam apa! ”Pendidikan ulang” macam apa!
Meskipun mendapat perlakuan kejam seperti ini, mayoritas saudara ini tetap menjaga integritas mereka; hanya dua orang yang berkompromi. Salah seorang saudara berhasil mengirim surat kepada Menteri Dalam Negeri di Maputo, mengungkapkan perlakuan ini. Hal ini ada pengaruhnya. Gubernur Niassa datang sendiri dengan helikopter. Ia segera mencopot sang komandan dan para pembantunya dari semua wewenang serta mengumumkan, ”Ini dapat menyebabkan mereka sendiri ditangkap karena melakukan tindakan yang Frelimo tidak pernah maksudkan.” Sewaktu para tahanan lainnya yang mengalami perlakuan serupa mendengar hal ini, mereka berteriak karena gembira, dengan mengatakan, ”Terima kasih kepada kalian, kami telah dibebaskan.” Saudara-saudara menjawab, ”Panjatkan syukur kepada Yehuwa.”
Setelah beberapa waktu mereka dipindahkan ke kamp-kamp lain, tempat perlakuan yang diberikan hanya berupa bekerja paksa. Seluruhnya, hampir dua tahun berlalu sebelum mereka dikembalikan ke Carico—dan Chingo ada di sana menerima mereka. Ia terus membuat upaya yang sia-sia untuk melemahkan loyalitas mereka kepada Yehuwa dengan mengadakan ”seminar-seminar” serupa. Akhirnya, ketika sudah akan meninggalkan Carico, ia memberikan nasihat dengan gaya perumpamaannya yang khas. Sewaktu mengakui kekalahannya, ia mengatakan, ”Seorang pria mengerahkan banyak pukulan ke sebuah pohon, dan tidak perlu banyak pukulan lagi untuk merobohkannya, ia digantikan oleh yang lainnya yang, dengan hanya satu pukulan, selesailah pekerjaan tersebut. Saya mengerahkan banyak pukulan tetapi gagal menyelesaikannya. Yang lainnya akan datang setelah saya. Mereka akan menggunakan metode-metode lain. Jangan menyerah. . . . Terus kukuhkan pendirian kalian. . . . Jika tidak, mereka akan menerima semua kemuliaan.” Akan tetapi, karena menjaga kasih mereka kepada Yehuwa kuat, saudara-saudara berupaya keras memastikan bahwa hanya Yehuwa yang layak menerima kemuliaan.—Pny. 4:11.
Orang-Orang yang Tetap Tinggal di Kota
Apakah semua Saksi-Saksi Mozambik berada dalam penjara atau dalam kamp-kamp penahanan pada waktu itu? Meskipun musuh-musuh mencari mereka dengan teliti sekali di tempat-tempat kerja dan sebenarnya di setiap lingkungan tetangga, ada beberapa orang yang luput. Tidak setiap orang bergairah menangkap mereka untuk dijebloskan ke dalam penjara ataupun untuk dihukum. Tetapi Saksi-Saksi terus-menerus berada dalam bahaya ditahan. Kegiatan sehari-hari seperti membeli bahan-bahan makanan atau mengambil air di keran umum mengandung risiko.
Lisete Maienda, yang tetap tinggal di Beira mengenang, ”Saya tidak diberi kartu yang diperlukan untuk membeli makanan karena saya tidak pergi ke pertemuan-pertemuan politik yang diwajibkan. Untunglah, seorang penjaga toko yang ramah memanggil saya secara diam-diam dan menjual beberapa kilogram tepung kepada saya.” (Bandingkan Penyingkapan 13:16, 17.) Saudara Maienda diberhentikan dari pekerjaannya di pelabuhan Beira sebanyak enam kali, tetapi setiap kali, majikannya mencari dia kembali karena keterampilan khususnya sangat berguna bagi perusahaannya.
Meskipun memberi kesaksian dan berhimpun bersama merupakan kegiatan yang berisiko tinggi, terang tidak sirna dari kota-kota utama mana pun di negeri tersebut. Keluarga Maienda di Beira bergabung dengan kelompok anak muda yang berani dan haus akan kebenaran di daerah sekitar Esturro. Bersama-sama mereka menjaga agar terang bersinar di ibu kota Propinsi Sofala. Gairah dari kelompok di Beira sangat besar sehingga, meskipun menghadapi bahaya, mereka menyeberangi perbatasan ke Rhodesia (sekarang Zimbabwe) agar dapat memperoleh makanan rohani.
Kantor cabang di Salisbury (sekarang Harare) bekerja dengan berani dan tanpa lelah untuk mengurus semua saudara yang tersebar di sekitar daerah bagian utara. Dengan demikian, sewaktu kabar sampai ke kantor bahwa sebuah kelompok masih berhimpun di kota Tete, kantor cabang mengutus dua saudara untuk memberi perhatian kepada kebutuhan kelompok tersebut, karena, seperti Epafroditus, seorang rekan sekerja rasul Paulus, mereka rindu untuk melihat saudara-saudara. (Flp. 2:25-30) Salah seorang dari saudara-saudara ini adalah Redson Zulu yang sangat dikasihi, dikenal di seluruh daerah utara karena khotbahnya yang menggugah dalam bahasa Chichewa. Dengan risiko besar ia dan rekannya mengadakan perjalanan menerobos hutan belantara dengan sepeda untuk melayani saudara-saudara Mozambik mereka yang terpencil.
Demikian pula, terang kebenaran terus bernyala di Propinsi Nampula. Sekelompok orang yang belum dibaptis tinggal di sana dan, dengan cara mereka sendiri, terus mengadakan perhimpunan. Mulanya, hadirin berjumlah 8 orang, tetapi jumlah ini segera bertumbuh menjadi 50. Sewaktu seorang saudara dikirim dari Carico untuk dirawat di rumah sakit di Nampula, ia berhasil menghubungi salah seorang anggota dari kelompok yang belum terbaptis tersebut, seseorang yang bekerja di rumah sakit. Saudara itu mengirim kabar ke Lembaga, dan kantor cabang menyuruhnya mengadakan pembahasan dengan kelompok tersebut agar mempersiapkan orang-orang yang sudah siap untuk pembaptisan. Lima orang dibaptis. Mereka menerima bantuan lebih lanjut sewaktu seorang Saksi dari Belanda yang berada di Nampula untuk bekerja duniawi menyediakan rumahnya untuk perhimpunan. Pada waktunya, beberapa orang dari kelompok tersebut memenuhi syarat untuk memikul tanggung jawab sebagai penatua.
Bantuan di Penjara Pusat
Pada tahun 1975, sekelompok demi sekelompok tahanan dikirim ke utara dari penjara Maputo, sementara yang lainnya terus berdatangan menggantikan tempat mereka. Kemudian, kira-kira pada akhir bulan Februari 1976, pemerintah memutuskan untuk berhenti mengangkut tahanan Saksi-Saksi yang tidak ada hentinya.
Beberapa bulan kemudian, Presiden Samora Machel mengadakan kunjungan ke penjara pusat Maputo. Saudari Celeste Muthemba, salah seorang tahanan, menggunakan kesempatan untuk memberikan kesaksian kepada presiden. Ia mendengarkan dengan sikap yang ramah, tetapi setelah ia pergi, saudari tersebut ditegur dengan keras oleh kalangan yang berwenang di penjara. Akan tetapi, satu minggu kemudian suatu perintah diberikan untuk membebaskannya, beserta dengan dokumen yang menjamin perlindungannya terhadap pelecehan lebih lanjut karena alasan-alasan politik dan hak untuk memperoleh pekerjaannya kembali di rumah sakit pusat. Selain itu, kuasa diberikan untuk pembebasan semua Saksi-Saksi Yehuwa dari penjara.
Mereka yang berada di Maputo mengorganisasi diri mereka menjadi sidang-sidang. Tidak lama kemudian, 24 sidang dibentuk menjadi satu wilayah yang terbentang dari bagian timur laut Maputo sampai Inhambane. Fidelino Dengo ditugaskan untuk mengunjungi mereka. Selain itu, kantor cabang Afrika Selatan membentuk suatu panitia yang terdiri dari penatua-penatua untuk mengurus kebutuhan rohani dari kelompok-kelompok ini. Mereka mengembangkan metode pengabaran tidak resmi yang berhati-hati. Mereka membuat pengaturan bagi saudara-saudara untuk menghadiri kebaktian-kebaktian di negeri tetangga Swaziland. Dan tepat di Mozambik, sewaktu beberapa kembali dari Carico, saudara-saudara mengadakan kebaktian-kebaktian yang disamakan sebagai pesta ”selamat datang”.
Dan di Carico? Apa pengaturannya sehubungan dengan kegiatan rohani di sana?
Panitia ”O.N.” Mengawasi Kamp-Kamp
Saudara-saudara Malawi, di bawah pengawasan kantor cabang Zimbabwe, telah membentuk suatu panitia khusus untuk mengurus kebutuhan-kebutuhan rohani di kamp-kamp. Sewaktu saudara-saudara dari bagian selatan Mozambik dibawa ke Carico, mereka juga memperoleh manfaat dari pengaturan yang sudah berfungsi di sini. Dua saudara dari selatan, Fernando Muthemba dan Filipe Matola, ditambahkan kepada panitia tersebut.
Panitia O.N. (Ofisi ya Ntchito: Kantor Dinas, dalam bahasa Chichewa) mengadakan surat-menyurat dengan Lembaga dan mengorganisasi kebaktian wilayah dan kebaktian distrik. Mereka mengumpulkan laporan dari seluruh kamp dan secara periodik bertemu dengan para penatua di kampung-kampung. Mereka juga mengawasi pekerjaan dari 11 wilayah. Tanggung jawab mereka berat, khususnya demikian karena hubungan yang genting antara saudara-saudara dengan para pejabat pemerintah.
Mengabar dan Menjadikan Murid di Kamp-Kamp
Sejumlah besar orang yang berminat dan siswa-siswa Alkitab yang menyertai saudara-saudara di Milange pada tahun 1975 dibaptis pada bulan November 1976.
Banyak saudara yang sebelumnya adalah perintis biasa terus mengabar sampai mereka dipenjarakan dan dipindahkan ke kamp-kamp. Tetapi kepada siapa mereka mengabar? Pada mulanya mereka belajar bersama orang-orang yang belum dibaptis, termasuk anak-anak dari saudara-saudara. Suatu keluarga dengan banyak anak dianggap sebagai ”daerah yang bagus”. Orang-tua belajar dengan beberapa anak, dan selebihnya dibagi di antara para penyiar lajang. Dengan cara ini banyak yang tetap aktif dalam pekerjaan menjadikan murid.
Akan tetapi, ini tidaklah cukup bagi orang-orang yang benar-benar memiliki semangat menginjil. Seorang perintis yang bergairah mulai menjajaki wilayah di luar kamp-kamp. Tentu saja, ada risikonya karena pembatasan yang diberlakukan oleh kalangan berwenang di kamp. Ia menyadari bahwa ia harus mempersiapkan beberapa dalih untuk meninggalkan kamp. Apa yang dapat ia gunakan? Dengan berdoa memohon petunjuk Yehuwa, ia memutuskan untuk menjual garam dan barang-barang konsumen lainnya kepada orang-orang di luar kamp. Ia meminta harga yang tinggi untuk menghindari transaksi yang sesungguhnya, sementara menciptakan kesempatan untuk memberi kesaksian. Cara ini menjadi terkenal. Pada waktunya banyak dari antara ”penjaja” ini dapat terlihat menawarkan barang-barang mereka di luar kamp. Menjangkau wilayah yang tersebar mencakup menempuh perjalanan jarak jauh, pergi pada waktu fajar dan kembali pada malam hari. Hanya ada sedikit ”tumbuh-tumbuhan” untuk begitu banyak ”belalang”. Tetapi dengan cara ini, banyak orang yang tinggal di daerah tersebut belajar kebenaran.
”Pusat Produksi Zambézia”
Karena pekerjaan yang tekun dari ”siswa-siswa pendidikan ulang” yang rajin ini dan hujan yang limpah membasahi daerah tersebut, hasil pertanian berlimpah ruah. Saksi-Saksi di kamp mendapat panen jagung, beras, singkong, padi-padian, ubi jalar, tebu, buncis, dan buah-buah setempat seperti mafura (sebuah pohon yang menghasilkan buah yang menyerupai kapsul yang bijinya menghasilkan bahan yang berlemak mirip mentega coklat yang digunakan untuk sabun dan lilin) yang berlimpah-limpah. Lumbung milik Lingkungan Carico melimpah. Unggas dan binatang kecil yang dipelihara seperti ayam, bebek, burung merpati, kelinci, dan babi memperkaya makanan mereka dengan protein. Kelaparan yang pernah mereka alami pada mulanya menjadi bagian dari masa lalu. Sebaliknya, selebihnya dari negeri itu mengalami kekurangan makanan yang paling hebat dalam sejarah.—Bandingkan Amos 4:7.
Mengakui cerita keberhasilan pertanian ini, gubernur menyebut daerah kamp ini ”Pusat Produksi Zambézia”. Dengan pendapatan yang diperoleh dari menjual kelebihan hasil bumi, saudara-saudara dapat memperoleh pakaian dan bahkan beberapa radio dan sepeda. Meskipun sebagai tahanan, mereka diperlengkapi dengan baik karena kerajinan mereka. Mereka dengan teliti memenuhi hukum pajak pemerintah; sesungguhnya, mereka berada di antara pembayar pajak terbesar di daerah tersebut. Selaras dengan standar-standar Alkitab, kesadaran membayar pajak, bahkan di bawah keadaan-keadaan ini, merupakan salah satu persyaratan bagi seseorang yang dipertimbangkan untuk hak istimewa apa pun di dalam sidang.—Rm. 13:7; 1 Tim. 3:1, 8, 9.
Pertukaran Budaya
Di Carico telah terjadi pertukaran timbal balik sehubungan dengan keterampilan dan kebudayaan. Banyak yang belajar keterampilan baru, seperti menembok, pekerjaan kayu, dan memahat kayu. Bersama-sama mereka mengembangkan kecakapan dalam membuat perkakas, bekerja di pengecoran besi, membuat mebel yang bermutu, dan sebagainya. Selain memperoleh keuntungan secara pribadi karena keterampilan yang dipelajari atau diperhalus, mereka menciptakan sumber pendapatan yang lain lagi.
Tantangan terbesar dalam pertukaran budaya mencakup bahasa. Orang-orang Mozambik belajar bahasa Chichewa, yang digunakan oleh orang-orang Malawi. Ini menjadi bahasa utama yang digunakan di kamp, dan kebanyakan lektur yang tersedia adalah dalam bahasa Chichewa. Secara perlahan dan menyenangkan, orang-orang Malawi juga belajar bahasa Tsonga dan variasinya, yang digunakan di sebelah selatan Mozambik. Banyak juga yang belajar bahasa Inggris dan Portugis, yang ternyata berharga bagi mereka di kemudian hari dalam hak istimewa dinas yang khusus. Seorang penatua mengenang, ”Kami bisa saja bertemu dengan seorang saudara atau saudari yang berbicara dalam bahasa kami dengan fasih, tanpa mengetahui apakah ia orang Mozambik atau orang Malawi.”
Bagaimana Makanan Rohani Sampai ke Kamp-Kamp?
Ini datang dari Zambia melalui Malawi. Dengan cara bagaimana? Seorang pengawas wilayah menjawab, ”Hanya Yehuwa yang tahu.” Di kamp-kamp, Panitia O.N. menugaskan seorang Malawi yang masih muda, banyak dari antara mereka adalah perintis, untuk menyeberangi perbatasan dengan sepeda dan, di lokasi yang ditentukan, bertemu dengan orang yang telah diutus untuk menyampaikan surat-surat dan lektur. Dengan cara ini sidang-sidang dibekali dengan makanan rohani yang tepat waktu.
Selain itu, anggota Panitia O.N. akan menyeberangi perbatasan dan mengadakan perjalanan ke Zambia atau Zimbabwe untuk memperoleh manfaat dari kunjungan tahunan pengawas zona yang diutus oleh Badan Pimpinan. Dengan cara ini dan cara-cara lain, saudara-saudara di Carico memelihara ikatan yang kuat dengan organisasi Yehuwa yang kelihatan dan kemudian tetap bersatu dalam ibadat-Nya.
Perhimpunan-perhimpunan sidang membutuhkan pengaturan khusus. Karena saudara-saudara terus-menerus diawasi, banyak perhimpunan diadakan pada waktu subuh atau lebih awal. Mereka yang hadir berkumpul di luar, seolah-olah sedang makan bubur di halaman, sementara sang pembicara berada di dalam rumah. Beberapa perhimpunan diadakan di palung sungai atau di dalam gua alam. Akan tetapi, persiapan untuk suatu kebaktian mencakup lebih banyak pekerjaan.
Kebaktian—Bagaimana Diorganisasi
Setelah menerima dari Lembaga semua bahan untuk acara, Panitia O.N. akan menarik diri ke Kampung No. 9 selama beberapa minggu. Di tempat yang relatif terpencil ini, mereka bekerja sepanjang malam di bawah sinar lentera, menerjemahkan rangka khotbah, merekam drama, dan menentukan para pembicara. Yang khususnya berguna adalah mesin penggandaan manual yang mereka terima dari Zimbabwe. Pekerjaan mereka tidak akan berhenti sampai seluruh acara untuk rangkaian enam kebaktian selesai.
Selain itu, satu tim ditugaskan untuk mendapatkan dan menyiapkan lokasi yang cocok untuk digunakan sebagai tempat kebaktian. Ini mungkin terletak di lereng gunung atau di dalam hutan, tetapi tidak kurang dari sepuluh kilometer jauhnya dari kamp. Segala sesuatu harus dilakukan tanpa sepengetahuan pihak yang berwenang atau ”para pemberontak”. Radio portabel yang kecil dipinjam, dan dengan radio ini tata suara dipersiapkan untuk hadirin sejumlah lebih dari 3.000 orang. Selalu ada sebuah sungai kecil di dekat situ, untuk kolam pembaptisan yang dipersiapkan dengan membuat bendungan. Panggung, ruangan, pembersihan, pemeliharaan, semuanya diurus sebelumnya. Akhirnya, tempat kebaktian tersedia—di lokasi yang berbeda setiap tahunnya.
Suatu pengaturan dilakukan sehingga memungkinkan semua orang di kampung-kampung dapat hadir. Ini berfungsi dengan baik karena saudara-saudara mempertunjukkan semangat kerja sama yang sangat bagus. Tidak semua dari antara mereka dapat hadir pada waktu bersamaan; kampung yang sunyi sepi akan menarik perhatian pihak yang berwenang. Oleh karena itu, tetangga bergiliran—satu keluarga hadir dalam satu hari, sementara keluarga lainnya hadir pada hari berikutnya. Keluarga yang tinggal akan berjalan-jalan di rumah tetangga; dengan demikian, tidak ada orang yang memperhatikan bahwa keluarga tersebut sedang pergi. Apakah ini berarti bahwa beberapa orang kehilangan bagian-bagian kebaktian? Tidak, karena acara setiap hari kebaktian dipersembahkan dua kali. Maka, kebaktian distrik tiga hari akan berlangsung selama enam hari; dan kebaktian wilayah dua hari, berlangsung empat hari.
Suatu jaringan petugas tata tertib yang waspada memungkinkan suatu rantai komunikasi. Jangkauannya mulai dari pusat administrasi kamp sampai ke tempat kebaktian, dengan menempatkan seorang pria di setiap 500 meter. Gerakan apa pun yang mencurigakan yang mungkin dapat merupakan ancaman terhadap kebaktian membuat jalur komunikasi ini bereaksi, menyampaikan pesan 30 atau 40 kilometer hanya dalam waktu 30 menit. Ini meluangkan cukup waktu bagi pengurus kebaktian tersebut untuk mengambil keputusan. Ini dapat berarti berakhirnya kebaktian dan bersembunyi di hutan.
José Bana, seorang penatua dari Beira, mengenang, ”Pada suatu peristiwa seorang polisi memperingatkan kami malam sebelumnya bahwa mereka sudah mengetahui tentang kebaktian kami dan berniat membubarkannya. Masalah ini dibawa kepada saudara-saudara yang bertanggung jawab. Haruskah mereka membatalkan kebaktian? Mereka berdoa kepada Yehuwa dan memutuskan untuk menunggu sampai pagi berikutnya. Jawabannya tiba—hujan sangat lebat sepanjang malam menyebabkan meluapnya Sungai Munduzi, mengubahnya menjadi lautan. Karena polisi berada di sisi seberang sungai, setiap orang dapat menghadiri kebaktian, tanpa perlu seorang pun tertinggal dan tanpa perlu rantai komunikasi manusia. Kami menyanyikan lagu-lagu Kerajaan sepuas-puasnya.”
Kemurtadan dan Kampung No. 10
Suatu gerakan yang membangkitkan banyak kesulitan dimulai oleh suatu kelompok yang murtad yang menyebut diri mereka ”yang terurap”. Bersumber terutama dari kampung-kampung Malawi, kelompok ini menyatakan bahwa ”zaman para penatua” telah berakhir pada tahun 1975 dan bahwa mereka, sebagai ”yang terurap”, harus menjadi orang-orang yang mengambil pimpinan. Bahan dalam buku Lembaga, Life Everlasting—In Freedom of the Sons of God (Kehidupan Abadi—Dalam Kemerdekaan Putra-Putra Allah) sangat membantu beberapa orang yang ragu-ragu untuk memahami apa yang tercakup dalam pengurapan yang sejati. Tetapi pengaruh kemurtadan menyebar, dan banyak yang mendengarkan mereka disesatkan. Sebagai bagian dari doktrin mereka, mereka mengatakan bahwa tidak perlu mengirim laporan-laporan ke Lembaga. Mereka sekadar melemparkan ini ke udara setelah memanjatkan doa.
Diperkirakan sekitar 500 orang dipecat sebagai hasil dari pengaruh kemurtadan ini. Mereka memutuskan menurut kemauan mereka sendiri, dan dengan izin dari pihak yang berwenang, untuk membangun kampung mereka sendiri. Ini menjadi Kampung No. 10. Belakangan, pemimpin gerakan tersebut dilayani oleh rombongan wanita muda, yang banyak dari antara mereka melahirkan anak-anak baginya.
Kampung No. 10 dan kelompoknya terus ada sepanjang sisa periode kehidupan di kamp tersebut. Mereka menyebabkan banyak kesukaran bagi saudara-saudara yang setia. Beberapa yang pada mulanya terpengaruh untuk bergabung dengan kelompok tersebut belakangan bertobat dan kembali ke organisasi Yehuwa. Masyarakat yang murtad akhirnya dibubarkan sewaktu kehidupan di kamp-kamp diakhiri.
”Kamp Adalah Penjara Kami, dan Rumah Adalah Sel Kami”
Sampai permulaan tahun 1983, kehidupan di kamp-kamp memiliki persamaan tertentu dengan kehidupan normal. Akan tetapi, saudara-saudara kita tidak melupakan bahwa mereka adalah tahanan. Memang benar bahwa beberapa, dengan cara mereka sendiri, mengatur untuk kembali ke kota-kota mereka. Yang lainnya datang dan pergi. Akan tetapi, masyarakat itu secara keseluruhan tetap tinggal. Sudah sewajarnya bahwa mereka merindukan rumah tempat tinggal mereka sebelumnya. Mereka saling berkiriman surat melalui kantor pos atau dengan perantaraan beberapa saudara yang dengan berani mengunjungi kamp untuk bertemu sanak saudara dan teman-teman lama—meskipun beberapa dari saudara-saudara ini tertangkap dan dipenjarakan.
Xavier Dengo biasa merenung, ”Kalian orang-orang Malawi adalah pengungsi, tetapi kami adalah tahanan. Kamp adalah penjara kami, dan rumah adalah sel kami.” Akan tetapi, sebenarnya situasi saudara-saudara Malawi kita sangat mirip. Kehidupan normal apa pun yang tampaknya dijalani di kampung-kampung tersebut segera akan berakhir dengan tiba-tiba.
Penyerbuan Bersenjata Mendatangkan Kepanikan dan Kematian
Pada permulaan tahun 1983, anggota bersenjata dari gerakan pertahanan mulai menyerbu wilayah Carico, memaksa komandan dari pusat administrasi mencari perlindungan ke distrik yang terletak di Milange, 30 kilometer jauhnya. Selama periode yang relatif singkat, saudara-saudara tampaknya dapat bernapas lega, meskipun mereka masih berada di bawah pengawasan pihak yang berwenang.
Akan tetapi, tragedi menghantam pada tanggal 7 Oktober 1984, sementara persiapan untuk kebaktian distrik sedang dituntaskan. Gerombolan bersenjata mendekat dari arah timur. Sewaktu mereka berjalan melalui Kampung No. 9, mereka meninggalkan bekas jejak mereka berupa kepanikan, darah, dan kematian. Setelah membunuh Saudara Mutola di Kampung Malawi No. 7, mereka membunuh Augusto Novela di Kampung Mozambik No. 4. Di Kampung Mozambik No. 5, Saudara Muthemba dikejutkan oleh bunyi senjata api. Sewaktu ia melihat mayat seorang saudara di tanah, ia berteriak kepada Yehuwa memohon bantuan. Orang-orang bersenjata membakar dan merampok rumah-rumah. Pria, wanita, dan anak-anak lari berhamburan ke segala arah, dengan putus asa mencari perlindungan. Serangan kekerasan ini hanya merupakan pendahuluan dari lebih banyak yang akan terjadi. Setelah melintasi seluruh kamp, gerombolan tersebut memilih daerah tepat di sebelah utara Kampung No. 1 untuk mendirikan markas mereka.
Pada hari-hari berikutnya mereka mengadakan serangan setiap hari ke kamp-kamp—merampok, membakar rumah-rumah, dan membunuh. Pada salah satu peristiwa ini, mereka membunuh enam orang Saksi-Saksi Malawi, termasuk istri dari Fideli Ndalama, seorang pengawas wilayah.
Yang lainnya dipenjarakan di markas gerombolan tersebut. Pemuda-pemuda khususnya menjadi sasaran upaya pengerahan secara paksa ke dalam gerakan militer mereka. Banyak pemuda melarikan diri dari kampung dan bersembunyi di machamba (ladang yang mereka garap), dan anggota-anggota keluarga membawakan mereka makanan. Wanita-wanita muda dikerahkan sebagai tukang masak, tetapi kemudian para penyerbu berupaya memaksa wanita-wanita ini melayani mereka sebagai ”gula-gula”. Hilda Banze adalah salah seorang yang menolak paksaan demikian, dan akibatnya, ia dipukuli dengan begitu kejam lalu ia dibiarkan agar meninggal. Syukurlah, ia sembuh.
Gerombolan bersenjata menuntut agar penduduk menyediakan kebutuhan mereka dan membawakan peralatan mereka. Saudara-saudara mendapati permintaan ini bertentangan dengan kedudukan mereka dalam kenetralan Kristen dan karena itu mereka menolak. Penolakan mereka ditanggapi dengan amukan. Kenetralan dan hak-hak asasi tidak mendapat tempat di dunia yang terpencil tempat pemukulan dan senjata merupakan satu-satunya hukum yang berlaku. Kira-kira 30 saudara tewas selama periode yang bergolak ini. Salah satu dari antaranya adalah Alberto Chissano, yang menolak memberikan dukungan apa pun dan berupaya menjelaskan, ”Saya tidak ambil bagian dalam politik, dan itulah alasannya mengapa saya dibawa ke sini dari Maputo. Saya menolak sebelumnya, dan ini tidak akan berubah sedikit pun sekarang.” (Bandingkan Yohanes 18:36.) Hal ini sangat tidak menyenangkan bagi para penindas, yang dengan marah sekali menyeretnya pergi. Mengetahui apa yang pasti akan terjadi, Saudara Chissano mengucapkan selamat tinggal kepada saudara-saudara dengan air muka dari iman yang teguh. ”Sampai dunia baru” adalah kata-katanya yang terakhir sebelum dipukuli secara kejam dan dilukai sampai mati. Saudara-saudara dalam tim medis berupaya menyelamatkannya, tetapi sia-sia. Benar-benar ”sampai dunia baru”, karena bahkan ancaman kematian tidak dapat mematahkan imannya.—Kis. 24:15.
Dibebaskan dari Perapian yang Bernyala-nyala
Sesuatu harus dilakukan untuk meredakan ketegangan yang tak tertahankan. Panitia O.N. bertemu dengan para penatua dan pelayan sidang untuk membahas caranya mencoba berdialog dengan gerakan pertahanan. Akan tetapi, pria-pria dari gerakan pertahanan sudah mengirim suatu undangan kepada semua orang di daerah tersebut untuk datang ke markas mereka. Para penatua memutuskan untuk pergi bersama sekelompok besar Saksi yang secara sukarela menemani mereka. Dua saudara ditunjuk untuk berbicara atas nama seluruh kampung. Isaque Maruli, salah seorang pembicara yang ditunjuk, singgah ke rumahnya untuk memberi tahu istrinya yang masih muda dan untuk berpamitan. Khawatir dengan apa yang mungkin terjadi, sang istri berupaya mencegahnya. Ia berbicara dengan nada menghibur dan menanyakan, ”Apakah sangkamu kita bisa bertahan sampai sekarang karena kecerdikan di pihak kita? Dan apakah kaupikir kita lebih penting daripada saudara-saudara kita yang lain?” Istrinya diam-diam menunjukkan persetujuannya. Mereka berdoa bersama dan kemudian mengucapkan selamat berpisah.
Yang hadir di pertemuan itu tidak hanya Saksi-Saksi tetapi juga yang bukan Saksi yang rela mendukung gerakan bersenjata. Akan tetapi, saudara-saudara berjumlah kira-kira 300 orang, melebihi yang lainnya. Itu merupakan pertemuan yang panas, karena orang-orang meneriakkan slogan-slogan politik dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Suatu pengumuman dibuat, ”Hari ini kita akan meneriakkan ’Viva Renamo’ [Resistência Nacional de Moçambique (Pertahanan Nasional Mozambik), gerakan yang berjuang melawan pemerintah Frelimo] sampai daun-daun berguguran dari pohon-pohon ini.” Sang komandan, para tentara dan orang-orang yang bukan Saksi menjadi tidak sabar karena saudara-saudara tetap diam. Seorang komisaris politik yang memimpin jalannya pertemuan tersebut menjelaskan ideologi dari gerakannya. Ia memberi tahu tentang keputusan dari komando tertinggi untuk membongkar kampung-kampung dan memerintahkan setiap orang untuk berpencar dan tinggal di antara machamba. Kemudian ia memberikan kesempatan kepada mereka yang hadir untuk menyatakan diri. Saudara-saudara kita menjelaskan posisi mereka yang netral. Mereka berharap agar alasan mereka untuk tidak ambil bagian dalam menyediakan makanan, membawakan peralatan, dan lain sebagainya, dapat dimengerti. Mengenai dibubarkannya kampung-kampung tersebut, mereka telah dipaksa melakukan ini.
Sang komandan sama sekali tidak menyukai tanggapan yang berani dari saudara-saudara, tetapi untunglah, komisaris lebih memahami. Ia menenangkan komandan dan menyuruh saudara-saudara pergi dengan tenang. Dengan demikian mereka keluar hidup-hidup dari apa yang mereka lukiskan sebagai ”perapian yang bernyala-nyala”. (Bandingkan Daniel 3:26, 27.) Namun kedamaian tidak dijamin. Satu-satunya peristiwa yang sangat mengguncangkan terjadi beberapa hari kemudian.
Pembantaian di Kampung No. 7
Meskipun matahari bersinar, hari Minggu, 14 Oktober 1984, berubah menjadi hari yang suram di Carico. Pagi-pagi sekali, saudara-saudara mengadakan perhimpunan sidang mereka, setelah itu beberapa orang mendatangi kampung-kampung untuk mengambil perbekalan yang tertinggal sebelum dengan cepat kembali ke rumah mereka yang baru di ladang. Tanpa peringatan, suatu kelompok bersenjata meninggalkan markas mereka dan berjalan ke arah Kampung Mozambik No. 7. Mereka menangkap seorang saudara yang berada di daerah pinggiran Kampung No. 5 dan menuntut, ”Tunjukkan kepada kami jalan ke Kampung No. 7; kamu akan menyaksikan seperti apakah perang itu.” Setibanya di kampung tersebut, mereka mengumpulkan semua orang yang ada di sana. Mereka menyuruh orang-orang duduk dalam lingkaran, menurut urutan nomor kampung mereka. Kemudian interogasi dimulai.
”Siapa yang memukul dan merampok mudjiba [seorang pengintai tak bersenjata atau informan] kami?” tuntut mereka. Saudara-saudara, yang tidak mengerti apa yang pria-pria tersebut bicarakan, menjawab bahwa mereka tidak tahu. ”Baik, jika tak seorang pun yang mau bicara, kami akan memberi contoh dari pria ini yang duduk di depan.” Dan mereka menembak seorang saudara di kening dari jarak dekat. Setiap orang gemetar. Pertanyaan tersebut diulangi berkali-kali, setiap kali dengan korban baru yang menunggu ditembak. Para wanita, yang menggendong bayi mereka, dipaksa untuk menyaksikan eksekusi yang kejam sekali terhadap suami mereka, seperti Saudari Salomina, yang menyaksikan suaminya, Bernardino, meninggal. Wanita-wanita juga dibunuh. Leia Bila, istri dari Luis Bila, yang telah meninggal karena serangan jantung di kamp dekat Lichinga, adalah salah seorang dari antara mereka, dan demikianlah anak-anaknya yang masih kecil menjadi yatim piatu. Orang-orang muda juga tidak dikecualikan dari eksekusi tersebut, seperti Fernando Timbane, yang bahkan setelah ditembak, berdoa kepada Yehuwa dan berupaya menganjurkan yang lainnya.
Ketika sepuluh korban secara brutal telah dieksekusi, suatu perselisihan muncul di antara para eksekutor, yang mengakhiri mimpi buruk. Atas perintah mereka, Saudara Nguenha, yang mestinya menjadi korban ke-11, bangkit dari ”kursi maut”. Ia menceritakan kembali, ”Saya berdoa kepada Yehuwa agar memelihara keluarga saya yang masih hidup, karena hari-hari saya akan berakhir. Kemudian saya berdiri dan merasakan keberanian yang luar biasa. Baru belakangan saya merasakan guncangan secara emosi.”
Mereka yang masih hidup kemudian dipaksa untuk membakar rumah-rumah yang masih ada di kampung. Sebelum pergi, pria-pria yang bersenjata memperingatkan, ”Kami datang dengan perintah untuk membunuh 50 orang dari antara kalian, tetapi ini sudah cukup. Mereka tidak boleh dikubur. Kami akan terus mengawasi, dan jika ada mayat yang hilang, sepuluh lagi akan mati sebagai pengganti tiap-tiap mayat yang hilang.” Sungguh perintah yang ganjil dan mengerikan!
Dengan bunyi tembakan yang menggema di daerah tersebut, dan seraya kabar-kabar menyebar kepada orang-orang yang berhasil selamat, suatu gelombang kepanikan baru melanda kampung-kampung. Dengan putus asa saudara-saudara melarikan diri ke hutan dan gunung-gunung. Baru belakangan diketahui bahwa pertanyaan-pertanyaan menuduh yang telah memicu pembantaian ditimbulkan oleh seseorang yang dipecat yang ingin bergabung dengan gerakan pertahanan. Ia juga menjadi pencuri. Ia membuat tuduhan-tuduhan palsu terhadap saudara-saudara di kampungnya sendiri dalam upaya mencari perkenan dan kepercayaan dari kelompok tersebut. Belakangan, sewaktu kelompok tersebut mengetahui bahwa mereka telah dikelabui, mereka menahan otak penipuan ini dan membunuhnya dengan cara yang sangat kejam.
Pembubaran Dimulai
Seluruh Lingkungan Carico sedang berdukacita dan bingung. Para penatua, juga dengan air mata, mencoba menghibur keluarga-keluarga yang sedang berkabung karena kehilangan orang-orang yang dikasihi pada waktu pembantaian. Gagasan untuk tetap tinggal di daerah itu tak dapat dipertahankan. Oleh karena itu, pembubaran secara wajar, mulai terjadi. Sidang-sidang secara terpadu mencari tempat-tempat yang cukup jauh, hingga 30 kilometer jauhnya, tempat mereka dapat merasa lebih aman. Beberapa memutuskan untuk tetap tinggal di sekitar machamba. Maka, pekerjaan para penatua yang tergabung dalam Panitia O.N. menjadi dobel. Mereka harus berjalan berkilo-kilometer untuk memastikan persatuan serta keamanan rohani dan jasmani dari kawanan di semua sidang yang sangat terpencar.
Kabar-kabar mengenai keadaan berbahaya yang menyedihkan ini sampai ke kantor cabang Zimbabwe, yang kemudian mengatur agar anggota-anggota kantor cabang mengunjungi saudara-saudara dan membina mereka. Mereka juga berkonsultasi dengan Badan Pimpinan di Brooklyn mengenai kebutuhan akan makanan, pakaian, dan obat-obatan di kamp-kamp di Milange. Karena sangat prihatin akan kesejahteraan saudara-saudara, Badan Pimpinan memberikan instruksi agar menggunakan sumber-sumber finansial yang tersedia untuk mengurus kebutuhan mereka, termasuk, jika dianggap bijaksana, untuk membuat penyediaan bagi mereka untuk meninggalkan daerah Milange dan kembali ke kampung halaman mereka. Pilihan tersebut tampaknya benar-benar bijaksana.
Mendekati awal tahun 1985, para anggota Panitia O.N., sebagaimana mereka lakukan setiap tahun, meninggalkan Milange untuk bertemu dengan pengawas zona yang telah diutus oleh Badan Pimpinan. Don Adams berada di sana dari Brooklyn. Dalam pertemuan yang melibatkan Panitia Kantor Cabang Zambia dan Kantor Cabang Zimbabwe, para anggota Panitia O.N. mengemukakan keprihatinan mereka sehubungan dengan Lingkungan Carico. Mereka dinasihati untuk mempertimbangkan apakah bijaksana untuk tetap tinggal di Carico. Perhatian ditarik kepada prinsip Alkitab yang terdapat di Amsal 22:3, ”Kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia.” Dengan prinsip ini dalam pikiran, mereka kembali ke kamp.
Pergi? Bagaimana? Dan ke Mana?
Nasihat tersebut segera disampaikan kepada sidang-sidang. Beberapa orang cepat bertindak menurut nasihat ini, seperti kasus João José, seorang saudara lajang yang belakangan ikut ambil bagian dalam pembangunan fasilitas kantor cabang Zambia dan kantor cabang Mozambik. Bersama kelompok saudara lain, ia menyeberang perbatasan ke Malawi dan kemudian ke Zambia tanpa kesulitan berarti.
Akan tetapi, situasi tidaklah mudah bagi yang lainnya. Banyak keluarga memiliki anak-anak kecil untuk dipertimbangkan. Para anggota gerakan pertahanan terus-menerus mengawasi jalan-jalan, dan siapa pun yang bepergian di jalan itu menjadi sasaran serangan. Perbatasan dengan Malawi memiliki tantangan lainnya, khususnya bagi saudara-saudara Malawi, karena Saksi-Saksi Yehuwa masih dianggap hina dan dicari-cari di sana. Karena itu, pertanyaan yang meresahkan adalah: Bagaimana mereka akan pergi? Ke mana mereka akan pergi? Selama bertahun-tahun mereka tinggal di hutan dan tanpa dokumen apa pun, bagaimana mereka dapat menyeberangi perbatasan? ”Kami juga tidak tahu,” adalah tanggapan anggota-anggota dari Panitia O.N., dalam pertemuan yang menjadi sangat menegangkan bagi semua penatua. ”Satu hal yang pasti—kita harus berpencar,” mereka menegaskan. Mereka menyimpulkan, ”Setiap orang hendaknya memanjatkan doa, membuat rencana, dan bertindak.”—Bandingkan 2 Tawarikh 20:12.
Selama bulan-bulan berikutnya, ini menjadi tema utama dari perhimpunan-perhimpunan. Mayoritas penatua mendukung gagasan untuk pergi dan menganjurkan saudara-saudara untuk melaksanakannya. Yang lainnya memutuskan untuk tinggal. Akhirnya, suatu eksodus secara terpencar-pencar dimulai. Saudara-saudara Malawi yang membuat upaya untuk pulang ke rumah dihalangi di perbatasan karena alasan-alasan lama dan harus kembali. Ini mengecilkan antusiasme orang-orang yang memutuskan untuk pergi dan menguatkan argumen dari orang-orang yang memilih untuk tinggal. Suatu ”undangan” untuk ”pertemuan penting” lainnya di markas militer terbukti menjadi faktor yang menentukan bagi semua.
Eksodus secara Massal
Pada tanggal 13 September 1985, hanya dua hari sebelum pertemuan diumumkan, Saudara Muthemba, Saudara Matola, dan Saudara Chicomo, tiga anggota yang masih ada dari Panitia O.N. bertemu sekali lagi. Apa yang hendak mereka sarankan kepada saudara-saudara berkenaan dengan ”undangan” tersebut? Pertemuan tersebut berlangsung sepanjang malam. Setelah banyak berdoa dan berpikir secara mendalam, mereka memutuskan, ”Kita harus melarikan diri besok malam.” Segera, sejauh mungkin, mereka menyebarkan berita tentang keputusan dan juga tentang waktu dan tempat untuk bertemu. Sidang-sidang yang setuju untuk pergi tiba. Inilah tindakan terakhir dari Panitia O.N. di kamp-kamp.
Dimulai pada pukul 8.30 malam, setelah memanjatkan doa, saudara-saudara mengadakan eksodus yang sudah ditentukan. Kepergian mereka dirahasiakan dengan baik terhadap para tentara dan ”para pemberontak”. Tertangkap berarti malapetaka. Diselimuti kegelapan malam, setiap sidang menghabiskan waktu selama 15 menit untuk keluar, setiap keluarga diberikan waktu selama 2 menit. Satu lapis barisan yang panjang bergerak secara senyap menerobos hutan, tanpa seorang pun tahu apa yang akan terjadi pada waktu fajar di perbatasan dengan Malawi, jika mereka memang berhasil mencapainya. Gembala-gembala rohani dari Panitia O.N. adalah yang terakhir pergi, pada pukul 1.00 dini hari.—Kis. 20:28.
Setelah berjalan kira-kira 40 kilometer, Filipe Matola tidak berdaya karena kelelahan akibat tidak tidur selama dua hari. Ia tidur sejenak di samping jalan kecil sementara menunggu orang-orang lanjut usia yang terakhir lewat. Kita hanya dapat membayangkan betapa sukacitanya ia sewaktu ”keponakan”-nya, Ernesto Muchanga, lari dari barisan depan, dengan kabar baik, ”’Paman’, saudara-saudara diterima masuk ke Malawi!” ”Ini suatu contoh,” Matola menjelaskan, ”tentang bagaimana Yehuwa membuka jalan, sewaktu tampaknya tidak ada jalan keluar, seperti di Laut Merah.”—Kel. 14:21, 22; lihat Mazmur 31:22-25.
Selama beberapa bulan kemudian, mereka mengalami bagaimana rasanya tinggal di kamp-kamp pengungsi di Malawi dan Zambia, sebelum kembali ke Mozambik dan pulang ke kota-kota mereka sendiri. Tetapi apa yang terjadi dengan orang-orang yang tetap berada di daerah Carico?
Orang-Orang yang Tetap Tinggal
Keputusan dari Panitia O.N. tidak mencapai semua sidang yang tersebar sebelum eksodus dimulai. Beberapa orang yang mendengar pengumuman tersebut memutuskan untuk tinggal dan pergi ke pertemuan di markas militer. Sidang Maxaquene, bersama dengan orang-orang lain, tidak mendengar pengumuman tersebut tetapi sudah memutuskan untuk melarikan diri. Sebelum pergi ke pertemuan tersebut, saudara-saudara ini meninggalkan keluarga-keluarga mereka dalam keadaan siap untuk melarikan diri. Sekitar 500 saudara datang ke pertemuan tersebut. Pertemuan itu singkat dan langsung ke intinya. Sang komandan mengatakan, ”Telah diputuskan oleh atasan kami bahwa semua yang hadir harus datang ke markas utama daerah kami. Itu adalah perjalanan yang jauh. Kalian akan menetap di sana selama tiga bulan.” Dan perjalanan dimulai pada saat itu juga.
Mengambil kesempatan dari kurang waspadanya para tentara, saudara-saudara yang telah memutuskan untuk melarikan diri menyelinap lalu kabur. Mereka mengumpulkan keluarga-keluarga mereka dan melarikan diri melalui jalan mana pun yang mereka dapat lalui ke perbatasan Malawi. Yang lainnya, entah karena tunduk kepada perintah-perintah dari gerakan bersenjata atau karena kurangnya kesempatan, memulai perjalanan ke arah barat daya ke markas di Morrumbala, tiba di sana beberapa hari kemudian. Sekali di sana, mereka berada di bawah tekanan lebih lanjut untuk mendukung gerakan. Penolakan mereka menyebabkan beberapa penganiayaan dan pemukulan yang tak terhitung banyaknya, selama waktu itu setidaknya satu saudara tewas. Tiga bulan kemudian mereka akhirnya diizinkan kembali ke rumah mereka.
Banyak yang terus tinggal di daerah Carico, sepenuhnya berada di bawah pengawasan gerakan pertahanan. Mereka mendapati diri mereka terasing dari sisa organisasi Yehuwa selama tujuh tahun berikutnya. Kelompok mereka cukup besar, terdiri dari kira-kira 40 sidang. Apakah mereka tetap bertahan secara rohani? Apakah kasih mereka akan Allah cukup kuat untuk menjaga mereka agar tidak mengalah kepada perasaan putus asa? Kita akan kembali kepada mereka nanti.
Kamp-Kamp Pengungsi di Malawi dan Zambia
Tidak semua yang melarikan diri dari Carico dengan segera diterima di Malawi. Sidang Maxaquene, setelah menyeberangi perbatasan dan sewaktu sedang beristirahat, kedapatan oleh polisi-polisi Malawi dan diperintahkan untuk kembali. Saudara-saudara memohon kepada polisi, menjelaskan bahwa mereka melarikan diri dari peperangan di daerah tempat mereka tinggal. Polisi tidak merasa simpatik. Karena tampaknya tidak ada pilihan lain dan karena perasaan putus asa, seseorang berteriak, ”Ayo kita menangis, Saudara-Saudara!” Itulah tepatnya yang mereka lakukan, dan begitu kerasnya sehingga menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka. Polisi itu merasa malu dan meminta agar mereka berhenti. Seorang saudari memohon, ”Paling tidak biarkan kami menyiapkan sedikit makanan untuk anak-anak.” Polisi menyerah kepada permintaannya, mengatakan bahwa mereka akan kembali kemudian. Syukurlah, mereka tidak pernah kembali. Belakangan, seseorang dari pihak yang berwenang datang membantu Saksi-Saksi, membawakan makanan dan mengantar mereka ke kamp pengungsi tempat saudara-saudara lainnya berada.
Saksi-Saksi Yehuwa Mozambik kini membanjiri kamp-kamp pengungsi di Malawi. Pemerintah Malawi menerima mereka sebagai pengungsi perang. Palang Merah Internasional menyediakan bantuan, membawa persediaan untuk membebaskan keadaan tak enak dan kesulitan yang disebabkan oleh keadaan buruk dari kamp-kamp yang terbuka. Beberapa orang pergi ke Zambia, tempat mereka dibawa ke kamp pengungsi lainnya. Filipe Matola dan Fernando Muthemba kini bekerja bersama para anggota Panitia Negeri Malawi, mencari saudara-saudara Mozambik di kamp-kamp ini untuk menyediakan bagi mereka penghiburan rohani dan bantuan finansial yang telah diatur oleh Badan Pimpinan.
Pada tanggal 12 Januari 1986, A. D. Schroeder, seorang anggota Badan Pimpinan, memberikan anjuran secara rohani dan juga pernyataan kasih yang hangat dari Badan Pimpinan kepada saudara-saudara tersebut. Meskipun tidak dapat memasuki kamp, ia menyampaikan ceramah di Zambia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Chichewa, direkam, dan kemudian dibawa ke kamp-kamp di mana saudara-saudara Mozambik ditempatkan.
Secara bertahap para pengungsi ini dibantu untuk memperoleh tempat perhentian mereka yang berikutnya—di Mozambik. Bagi banyak saudara perhentian ini adalah Moatize, di Propinsi Tete. Ya, di Mozambik suatu perubahan terjadi sehubungan dengan sikap pemerintah terhadap Saksi-Saksi Yehuwa, meskipun tidak semua pejabat setempat memberikan buktinya.
Kembali ke Mozambik
Rombongan demi rombongan secara perlahan mulai mengalir ke kota praja ke sebelah timur kota Tete. Kendaraan-kendaraan gandeng yang ditinggalkan yang sebelumnya digunakan sebagai toilet umum, digunakan untuk tempat tinggal mereka. Setelah dibersihkan, banyak dari antaranya digunakan untuk Peringatan kematian Kristus pada tanggal 24 Maret 1986.
Saudara-saudara dari seluruh Mozambik menunggu di sana selama berbulan-bulan tanpa mengetahui bagaimana mereka akan diangkut kembali ke tempat-tempat asal mereka. Penantian ini memiliki kesengsaraannya sendiri. Mereka berupaya untuk merancang beberapa bentuk pekerjaan untuk menyokong diri mereka sendiri atau untuk menabung uang untuk membeli tiket pesawat, tetapi tanpa banyak hasil. Karena perang, perjalanan melalui jalan darat tidaklah mungkin. Mereka tidak selalu diperlakukan dengan baik oleh pihak berwenang setempat, yang masih berupaya mendesak mereka untuk ikut meneriakkan slogan-slogan politik. Terhadap upaya ini saudara-saudara dengan berani menjawab, ”Kami dibawa ke Carico karena masalah ini. Di sana kami menjalani masa hukuman kami dan diserahkan kepada belas kasihan dari para penyerang yang bersenjata. Kami melarikan diri dengan cara kami sendiri. Apa lagi yang kalian inginkan dari kami?” Mendapat tanggapan ini mereka dibiarkan. Akan tetapi, orang-orang muda terus dianiaya dan dipenjarakan dalam upaya mengerahkan mereka ke dalam pasukan pemerintah untuk memerangi pemberontakan bersenjata yang berkelanjutan di daerah tersebut. Banyak saudara muda menggunakan cara-cara cerdik apa pun untuk dapat melarikan diri dan bersembunyi.
Panitia di Malawi memutuskan bahwa Fernando Muthemba harus pergi ke Tete untuk menyediakan bantuan bagi saudara-saudara di sana. Sewaktu Saudara Muthemba tiba di Moatize, pihak yang berwenang memutuskan untuk memeriksa kopornya. Tepat pada waktunya, saudara-saudara dapat menyelamatkan lektur-lektur yang dimilikinya. Maka sewaktu polisi menggeledah tas-tasnya, apa yang mereka temukan? ”Hanya rombengan,” katanya. Polisi yang kecewa bertanya, ”Cuma ini?” Ya, cuma itu. Itulah seluruh bawaan seorang pria yang memikul tanggung jawab yang demikian berat di kamp. Seperti setiap orang lainnya, ia telah kembali dilucuti dari semua barang yang ia miliki. Sebenarnya, pada waktu itu, penampilan fisik saudara-saudara sama sekali tidak menyenangkan—kotor, berpakaian compang-camping, kelaparan, dan jelas-jelas mengalami perlakuan kejam. Mereka cocok benar dengan gambaran yang diilhamkan sehubungan dengan banyak hamba Allah masa lalu, ”Mereka mengembara dengan kulit domba, dengan kulit kambing, sementara mereka dalam keadaan kekurangan, . . . di bawah perlakuan kejam; dan dunia tidak layak akan mereka. Mereka mengembara di gurun-gurun . . . dan gua-gua dan liang-liang di bumi!”—Ibr. 11:37, 38.
-
-
MozambikBuku Kegiatan Saksi-Saksi Yehuwa 1996
-
-
[Gambar di hlm. 140, 141]
Di kamp pengungsi Carico, saudara-saudara kita, (1) memotong kayu dan (2) menginjak-injak tanah liat untuk membuat batu bata, sementara (3) saudari-saudari mengangkut air. (4) Mereka menemukan cara-cara untuk mengadakan kebaktian. (5) Xavier Dengo, (6) Filipe Matola, dan (7) Francisco Zunguza membantu memenuhi pengawasan rohani di sini sebagai pengawas wilayah. (8) Balai Kerajaan yang dibangun di sini oleh Saksi-Saksi Malawi masih digunakan
-