PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g90_No36 hlm. 6-7
  • Perubahan Norma-Norma Seiring dengan Jalannya Sejarah

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Perubahan Norma-Norma Seiring dengan Jalannya Sejarah
  • Sedarlah!—1990 (No. 36)
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Berbagai Norma di Waktu Lampau
  • Standar Moral yang Berbeda-beda Dewasa Ini
  • Manusia Telah Membentuk Norma-Norma Moralnya Sendiri
  • Tahu yang Benar dan Salah
    Sadarlah!—2019
  • Terombang-ambing di Lautan Nilai-Nilai Moral yang Terus Berubah
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2007
  • Moral Menuju ke Mana?
    Sedarlah!—1993
  • Norma-Norma Moral yang Menghasilkan Kebahagiaan
    Sedarlah!—1990 (No. 36)
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1990 (No. 36)
g90_No36 hlm. 6-7

Perubahan Norma-Norma Seiring dengan Jalannya Sejarah

”SUATU sistem aturan yang diikuti (atau harus diikuti) seseorang dalam kehidupan pribadinya dan kehidupan sosialnya.” Itulah definisi yang diberikan Encyclopædia Universalis bahasa Perancis untuk kata ”moral”.

Definisi ini sebenarnya berlaku bagi setiap orang. Ini termasuk orang beriman yang menaati prinsip-prinsip agamanya dan juga orang yang tidak menganut sistem etika atau agama apapun namun mempunyai prinsip-prinsip tertentu yang membimbing kehidupannya. Bahkan orang-orang anarkis, yang menyatakan ’tidak mempunyai Allah maupun majikan’, menentukan norma-normanya sendiri, bukan hanya hak untuk membuat keputusan sendiri.

Namun apa dasar dari norma-norma ini? Berdasarkan apakah pilihan-pilihan moral ini dibuat? Apakah ini berubah bersama dengan waktu?

Berbagai Norma di Waktu Lampau

”Spartan” adalah sebuah kata yang digunakan dalam banyak bahasa untuk menggambarkan kurangnya kenyamanan. Istilah ini memaksudkan keadaan sulit yang dialami warga-warga muda dari kota kuno Sparta di Yunani selama masa pendidikan mereka. Dipisahkan dari orang-tua sejak kecil, mereka harus belajar kepatuhan yang mutlak. Tujuan pendidikan ini adalah untuk menjadikan mereka prajurit-prajurit teladan.

Orang-orang lain mengikuti norma-norma yang lain. Misalnya, bangsa Israel kuno mempunyai kaidah hukum yang diberikan Allah kepada Musa. Hukum-hukum itu termasuk peraturan mengenai makanan, fisik, moral dan kerohanian. Orang Israel harus beribadat kepada Allah Yehuwa saja.

Sehubungan dengan moralitas seksual, Hukum Musa dengan tegas mengutuk percabulan, perzinahan, homoseksualitas, dan hubungan seksual dengan binatang (bestiality). Tujuannya adalah untuk memisahkan orang Israel dari bangsa-bangsa tetangga mereka, bukan hanya secara agama tetapi juga secara moral. Hal ini disebabkan banyak orang di sekitar Israel mempraktikkan penyembahan seks yang keji dan bobrok, termasuk pelacuran pria dan wanita di kuil-kuil. Beberapa bahkan mempersembahkan anak-anak mereka sendiri sebagai korban kepada dewa-dewa palsu mereka.

Pada abad pertama M., sebuah dekrit dari konsili rasul-rasul dan penatua-penatua Kristiani di Yerusalem menginstruksikan agar umat Kristiani mengikuti moralitas seksual yang pada dasarnya sama dengan orang-orang Yahudi, yaitu untuk ’menjauhi percabulan’. Menurut Dictionnaire de la Bible karya Vigouroux, instruksi ini sangat berharga, karena percabulan merupakan praktik yang umum di kalangan orang non-Yahudi pada waktu itu.—Kisah 15:29.

Ada berbagai standar moral sepanjang sejarah, yang diselingi dengan masa toleransi dan masa peraturan etis yang lebih keras secara silih berganti. Homoseksualitas, yang sangat dikutuk pada Abad Pertengahan, agak ditoleransi selama masa Renaissanse di Eropa. Di Swiss, pada waktu Calvin tinggal di Jenewa selama masa Reformasi, ia membuka suatu masa kekakuan moral yang tidak mengenal kompromi. Sebaliknya, kira-kira 200 tahun kemudian, Revolusi Perancis mengesahkan norma-norma yang sebelumnya telah ditolak. Mereka mendukung ”kebebasan moral” yang baru dan mempermudah proses perceraian.

Standar Moral yang Berbeda-beda Dewasa Ini

Dewasa ini, bahkan dalam masyarakat yang sama, orang-orang mempunyai standar moral yang berbeda-beda. Ada yang mendukung aturan moral yang keras, sedangkan yang lain menganjurkan ”kebebasan” moral.

Kaidah-kaidah moral berubah dengan cepat. ”Bagi kebanyakan orang Perancis, perzinahan mempunyai arti yang tepat. Ini bersifat negatif dan bertentangan dengan moral yang baik,” kata buku bahasa Perancis Francoscopie. Namun, sumber yang sama mencatat bahwa bagi banyak orang lain ”ketidaksetiaan dalam perkawinan tidak lagi dipandang sebagai pelarian melainkan sebagai hak, hak yang tidak perlu mempertanyakan kasih-sayang pasangan itu terhadap satu sama lain, tetapi sebaliknya, hal itu seharusnya bahkan memperkaya dan memperkuat kasih-sayang itu”.

Juga dalam hal aborsi, norma-norma etika telah berubah dengan cepat. Sementara aborsi masih merupakan tindak kriminal di beberapa negeri, hal itu ditoleransi—bahkan dituntut—di negeri-negeri lain. Menarik untuk memperhatikan bahwa French Medical Association (Asosiasi Dokter-Dokter Perancis) menganggap aborsi sebagai tindak kriminal sampai hal itu disahkan pada tahun 1974. Dewasa ini, banyak orang Perancis menganggap hal itu dapat diterima secara moral.

Namun, apakah dasar dari etika moral seperti itu? Apakah norma-norma moral kita sepatutnya hanya bersifat relatif dan berubah-ubah menurut keadaan?

Manusia Telah Membentuk Norma-Norma Moralnya Sendiri

Selama berabad-abad, para filsuf mengemukakan banyak gagasan dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Beberapa mengusulkan ’kaidah moral universal’ namun tidak bisa sependapat mengenai definisi moral siapa yang harus dijadikan standar.

Yang lain merasa bahwa keprihatinan terhadap sesama harus membimbing tingkah laku seseorang. Tetapi apa yang dalam anggapan seseorang adalah keprihatinan yang sepatutnya terhadap orang lain mungkin tidak dianggap demikian oleh individu lain. Sebagai contoh, selama berabad-abad banyak pemilik budak menganggap memberi makanan dan perumahan kepada budak-budak mereka sebagai rasa prihatin yang sepatutnya, namun budak-budak tersebut merasa bahwa rasa prihatin yang sepatutnya seharusnya menghasilkan kebebasan mereka dari perbudakan.

Tidak diragukan bahwa banyaknya pandangan yang sering kali saling bertentangan dari para filsuf mengenai norma-norma moral telah membingungkan banyak orang. Ide-ide mereka tidak menghasilkan standar moralitas yang sama bagi semua, juga pemikiran filosofis mereka tidak menghasilkan perdamaian dan persatuan bagi keluarga manusia. Kalaupun ada, ide-ide mereka yang banyak dan bertentangan itu telah menyebabkan semakin banyak orang mengambil kesimpulan bahwa standar moralitas diri sendiri adalah sama baiknya dengan yang dikemukaKan oleh ”para ahli”.

Maka banyak orang dewasa ini menganut pandangan filsuf Perancis Jean-Paul Sartre, yang berpendapat bahwa seseorang harus menjadi hakim sendiri sehubungan dengan masalah moral. Cara berpikir demikian bahkan telah dianut oleh banyak pengunjung gereja. Kalangan berwenang Katolik, misalnya, merasa khawatir karena banyak orang Katolik tidak lagi mengikuti ajaran gereja mengenai masalah seksual dan menggunakan kontrasepsi yang dikutuk oleh gereja.

Pelajaran yang diperoleh dari sejarah adalah bahwa berbagai kaidah moral telah dibentuk oleh manusia, namun pada waktunya kaidah sedemikian diragukan, diganti, atau dilupakan. Tetapi, prinsip-prinsip Alkitab yang disebutkan sebelumnya dalam artikel ini, tidak bergantung pada ulah para filsuf ataupun masyarakat yang berubah-ubah. Seberapa berhargakah prinsip-prinsip Alkitab itu dewasa ini? Apakah mungkin untuk mengikutinya?

[Blurb di hlm. 7]

”KETIDAKSETIAAN DALAM PERKAWINAN TIDAK LAGI DIPANDANG SEBAGAI PELARIAN MELAINKAN SEBAGAI HAK”

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan