PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g86_No17 hlm. 8-11
  • Mengapa Allah Membiarkan Penderitaan?

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Mengapa Allah Membiarkan Penderitaan?
  • Sedarlah!—1986 (No. 17)
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Manusia—’Unik dalam Hal Jahat’?
  • ”Kesalahan Itu Mereka Buat Sendiri”
  • Mengapa Penderitaan Dibiarkan?
  • Sebuah Pola Telah Ditetapkan
  • Penderitaan Umat Manusia​—Mengapa Allah Mengizinkannya?
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1994
  • Sengketa yang Melibatkan Saudara
    Perdamaian dan Keamanan Sejati—Bagaimana Memperolehnya?
  • Suatu Sengketa Yang Menyangkut Saudara
    Perdamaian dan Keamanan yang Sejati—Dari Sumber Manakah?
  • Kerajaan Itu—Mengapa ’Datangnya’ Begitu Lama?
    ”Datanglah Kerajaanmu”
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1986 (No. 17)
g86_No17 hlm. 8-11

Mengapa Allah Membiarkan Penderitaan?

”Makhluk-makhluk manusia bersifat unik dalam hal dapat menjadi jahat, karena mereka unik dalam hal menyadari apa yang mereka lakukan dan dalam membuat pilihan menurut kemauan sendiri.”—Arnold Toynbee, sejarawan, Mankind and Mother Earth.

KITA semua membuat pilihan menurut kemauan sendiri. Kita melakukan hal itu setiap hari. Sebagian besar dari keputusan kita ada hubungannya dengan hal-hal yang sepele dalam kehidupan sehari-hari—apa yang akan dimakan, diminum, dikenakan, ke mana kita akan pergi. Namun ada keputusan-keputusan yang mempunyai akibat yang lebih serius dan dapat mempengaruhi kita selama sisa hidup kita—atau bahkan dapat memperpendek kehidupan kita.

Bila seorang dokter menganjurkan suatu operasi, kita perlu segera membuat pilihan. Apakah risiko yang harus ditanggung ada gunanya? Betapa berpengalaman dan dapat diandalkan ahli bedah itu? Apakah operasi itu akan memperpanjang atau memperpendek kehidupan saya? Keputusan yang serius harus dibuat.

Pada jaman dulu dalam sejarah, pilihan yang diambil menurut kemauan sendiri telah mempengaruhi umat manusia sejak waktu itu. Dan keputusan-keputusan tersebut langsung berkaitan dengan pertanyaan kita, Mengapa Allah membiarkan penderitaan?

Manusia—’Unik dalam Hal Jahat’?

Kisah Alkitab tentang sejarah yang mula-mula menunjukkan bahwa manusia bukanlah makhluk ciptaan pertama yang cerdas dan mempunyai kehendak bebas serta kesanggupan untuk memilih. Manusia, sebenarnya, juga bukan yang pertama ataupun ”unik dalam hal dapat menjadi jahat”. Suatu bentuk kehidupan yang lebih tinggi sudah ada sebelumnya—yang ”hampir sama seperti Allah”, makhluk-makhluk roh, yang juga disebut malaikat.—Mazmur 8:5.

Salah satu dari makhluk-makhluk yang ”hampir sama seperti Allah” ini, yang jumlahnya jutaan, melihat adanya kesempatan untuk menjadi penguasa—allah yang sesungguhnya bagi pria dan wanita pertama itu, dan bukan Yehuwa Pencipta mereka. Dengan menggunakan kehendak bebasnya, ia sengaja berdusta kepada wanita itu, untuk membujuk dia dan, melalui dia, membujuk suaminya agar tidak taat kepada Allah. Secara tidak langsung ia mengatakan bahwa Allah adalah pendusta dan penipu. Ia mengatakan kepada wanita itu bahwa dengan berpikir dan bertindak bebas ia tidak akan mati, seperti dikatakan Allah, tetapi menegaskan, ”Kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.”—Kejadian 3:1-5.

Dengan haluan tindakannya, pribadi yang hampir seperti Allah ini memulai pemberontakan melawan pemerintahan Allah—pemberontakan yang disaksikan oleh jutaan malaikat. Dengan cara demikian pelaksanaan kedaulatan yang sah menjadi suatu sengketa universal. Malaikat yang menentang itu menjadi musuh Allah, yang diterjemahkan dari bahasa Ibrani yakni ”Setan”. Dengan meragukan kebenaran Allah, Setan juga menjadi pemfitnah yang pertama, yang diterjemahkan dari bahasa Yunani yakni ”Iblis”. Pemberontakan pada awal mula ini memulai suatu rantai kejadian yang menimbulkan penderitaan manusia. ’Cara bagaimana?’ anda mungkin bertanya.

”Kesalahan Itu Mereka Buat Sendiri”

Pria dan wanita pertama mempunyai harapan kehidupan sempurna yang kekal dalam suatu lingkungan firdaus, yang akhirnya mereka, bersama anak-anak mereka, akan perluas sampai meliputi seluruh bumi. Namun harapan itu bergantung atas keloyalan mereka kepada Allah. Ketidaktaatan memperkenalkan sebuah unsur genetika yang baru—ketidaksempurnaan dan kematian—yang akan diteruskan kepada generasi-generasi mendatang. Apa yang terjadi?—Kejadian 2:15-17.

Rasul Paulus menjelaskan keadaannya dengan sederhana sekali, yaitu ”oleh ketidaktaatan satu orang [Adam] semua orang telah menjadi orang berdosa” dan ”maut telah berkuasa oleh satu orang itu”. (Roma 5:17-19) Dengan menolak kedaulatan Allah, Adam dan Hawa telah menggiring umat manusia pada jalan yang menuju penderitaan, penyakit, dan kematian. Sama seperti dikatakan Musa mengenai Israel, demikian pula tentang umat manusia pada umumnya dapat dikatakan, ”Mereka sendiri telah bertindak menghancurkan diri sendiri; mereka bukan anak-anaknya, kesalahan itu mereka buat sendiri. Suatu generasi yang bengkok dan sesat.”—Ulangan 32:5.

Akibatnya, manusia memilih untuk bebas dari Allah dan berpaling dari pemerintahan-Nya. Namun kepada apakah mereka berpaling? Sadar atau tidak, mereka telah menundukkan diri kepada kekuasaan dari ’ilah sistem ini yang telah membutakan pikiran dari orang-orang yang tidak percaya’. (2 Korintus 4:4, NW) Mereka menjadi alat dalam tangan si Iblis, ”bapa segala dusta”. (Yohanes 8:44) Hal ini mereka lakukan dengan memilih pemerintahan politik dan agama bikinan manusia yang telah menimbulkan kebencian, bencana, dan penderitaan. Tidak mengherankan bahwa Alkitab mengatakan, Setan si Iblis ”menyesatkan [”menipu”, BIS] seluruh dunia”.—Wahyu 12:9.

Mengapa Penderitaan Dibiarkan?

Mengapa Yehuwa tidak menghentikan pemberontakan itu sejak semula dengan langsung membinasakan Setan pada waktu itu di Eden? Sebagai Yang Mahakuasa, Ia pasti mempunyai kekuasaan untuk melakukan hal itu. Namun, Setan bukan menantang kekuatan Allah melainkan, cara Allah menjalankan kekuasaan itu. Dengan menyangkal hukum Allah yang telah dinyatakan, Setan sebenarnya menganggap bahwa cara Allah memerintah itu salah dan sebenarnya bukan untuk kefaedahan makhluk-makhlukNya. Setan juga menyatakan bahwa jika manusia diuji, ia tidak akan tetap loyal kepada Allah. (Ayub, pasal 1 dan 2) Bagaimana tantangan itu dapat dihadapi dan diselesaikan sekali untuk selama-lamanya?

Mungkin kita dapat membandingkan cara Allah berurusan dengan umat manusia yang sesat dengan anak yang hilang, atau pemboros, dalam salah satu perumpamaan Yesus. Yesus menceritakan tentang seorang pria yang mempunyai dua anak laki-laki, dan anak yang lebih muda menuntut bagiannya dari warisan pada waktu ayahnya masih hidup. Ia ingin bebas, meninggalkan rumah dan membuktikan bahwa ia dapat berdiri sendiri. Sang ayah bisa saja langsung bertindak dengan menolak permintaan anaknya dan mengurung dia dalam sebuah kamar supaya tidak dapat pergi. Apakah hal itu ada manfaat yang akan berkesan untuk waktu yang lama? Tidak, karena si anak merasa terpaksa tinggal di rumah. Selain itu, ini berarti tidak mengakui haknya untuk menjalankan kehendak bebasnya. Jadi apa yang dilakukan sang ayah?

Yesus menjelaskan, ”Ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka. Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya.” Keadaannya menjadi begitu buruk sehingga anak orang Yahudi ini harus mencari upah sebagai gembala babi. Meskipun ada makanan untuk babi-babi, ia sendiri tidak mempunyai makanan. Yesus melanjutkan, ”Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan.” Maka, apa yang dilakukannya? Ia memutuskan untuk pulang dengan penuh penyesalan dan menyerahkan dirinya kepada belas kasihan ayahnya.—Lukas 15:11-32.

Nah, apa yang telah membuat pria muda itu menyadari keadaannya? Waktu dan pengalaman. Sang ayah tidak mengambil tindakan yang drastis tetapi memberikan waktu supaya anaknya melihat betapa bodoh haluannya. Benar, anak itu menderita selama mengalami hal-hal tersebut, tetapi ini membuatnya insaf.

Sebuah Pola Telah Ditetapkan

Sama seperti putra dalam perumpamaan itu, orangtua manusia kita yang pertama memilih haluan ingin bebas dari Allah. Memang, tidak seperti anak yang hilang itu, Adam dan Hawa tidak pernah kembali kepada Bapa mereka, tetapi karena haluan pemberontakan mereka, umat manusia telah dilibatkan ke dalam suatu sengketa yang hanya dapat diselesaikan, di depan mata makhluk-makhluk cerdas yang kelihatan maupun tidak kelihatan, dengan membiarkan waktu berlalu. Kini, setelah 6.000 tahun bebas dari Allah dan pemerintahanNya, apa yang telah dibuktikan? Seperti dikatakan nabi Yeremia, ”Aku tahu, ya [Yehuwa], bahwa manusia tidak berkuasa untuk menentukan jalannya, dan orang yang berjalan tidak berkuasa untuk menetapkan langkahnya.” (Yeremia 10:23) Sejarah manusia menunjukkan bahwa ”orang yang satu menguasai orang yang lain hingga ia celaka”. Sama seperti anak yang hilang itu, banyak orang yang menyadari hal ini berpaling kepada Bapa surgawi mereka untuk mendapatkan pengajaran, membuktikan Setan pendusta ketika menyatakan bahwa ia dapat memalingkan semua orang sehingga tidak melayani Allah.—Pengkhotbah 8:9.

Yehuwa akan segera bertindak melawan Setan yang tidak mau bertobat dan mereka yang mendukung haluannya yang ingin bebas, dengan demikian mengakhiri pemberontakan beserta semua akibatnya. Cukup banyak waktu telah berlalu agar suatu pola dapat ditetapkan untuk abad-abad yang akan datang. Dengan adanya pola ini Yehuwa tidak perlu lagi mengijinkan pemberontakan apapun di masa depan, di alam yang kelihatan ataupun tidak kelihatan. Waktu dan pengalaman telah menunjukkan bahwa Setan maupun manusia, terpisah dari Allah, tidak dapat menjalankan kekuasaan dengan cara yang benar.—Wahyu 16:14-16; 20:1-3.

Memang, sementara ini umat manusia harus menanggung penderitaan yang sangat besar dan sering kali kematian sebelum waktunya. Namun Yehuwa juga berjanji untuk mengganti kerugian. Bagaimana? Seperti dikatakan rasul Paulus, ”Aku menaruh pengharapan kepada Allah, . . . bahwa akan ada kebangkitan semua orang mati, baik orang-orang yang benar maupun orang-orang yang tidak benar.” (Kisah 24:15) Kebangkitan dari orang-orang mati dengan kesempatan untuk suatu kehidupan yang sempurna di bumi akan merupakan suatu tindakan belas kasihan yang luhur. Setelah itu setiap orang akan dapat memperlihatkan penghargaan untuk karunia kehidupan yang sejati.

Di bawah penyelenggaraan dari ”langit yang baru dan bumi yang baru”, semua penderitaan yang ada sebelumnya, sedikit demi sedikit akan dilupakan, digantikan oleh berkat-berkat dari kehidupan yang menghasilkan buah, bahagia dan kekal. Seperti dikatakan Alkitab, ”Hal-hal yang dahulu tidak akan diingat lagi, dan tidak akan timbul lagi dalam hati.” (Yesaya 65:17; 2 Petrus 3:13; Wahyu 21:1-4) Tetapi bagaimana kita dapat yakin bahwa hal ini tidak mustahil? Perubahan-perubahan apa harus terjadi agar perdamaian yang kekal menjadi kenyataan?

[Blurb di hlm. 9]

Manusia bukanlah ciptaan Allah yang pertama, yang cerdas, dengan kehendak bebas dan kesanggupan untuk memilih

[Blurb di hlm. 9]

Ketidaktaatan memperkenalkan suatu unsur baru

[Gambar di hlm. 10]

Waktu dan pengalaman membuat anak yang hilang ini menyadari ketergantungannya kepada ayahnya, demikian pula dewasa ini banyak orang akhirnya mengaku bahwa mereka membutuhkan Allah

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan